Rabu, 05 November 2014

November: 3 Menjelang 4

Hai, laki-laki, kabarnya kau pergi meninggalkan gadis kecil yang tak beribu 22 tahun ini? Kabarnya kau pergi memenuhi buku nasib, atau surat gores takdir? Maaf tak bisa mengantarmu, ayah.

Aku ingin pulang, sangat ingin pulang, membawamu ke tanah sulawesi kita, membawamu ke tempat ibu, tempat impian, tempat dia menyatu dengan bumi dan menjadi bagian dari banyak sekali tumbuhan. Setelah mati kita memang hidup lagi, aku percaya, tubuh kita menjadi bagian dari tumbuhan menjadi bagian dari gemuk-gemuk cacing, beranak pinak dan bertambah banyak. Aku ingin sekali pulang, ayah. Ingin, tapi kau tak mau menunggu, atau barangkali kau mau, tapi Tuhan tak sabar ingin bersamamu.

Engkau, ayah. Diciptakan dari tanah dan kembali ke tanah. Kau pulang ke rumah istrimu yang menunggu 22 tahun lalu. Pulang ke rumah dekat ladang, tanah hijau. Jawa tak lagi tempat, kuperjuangkan rumah untukmu. Sulawesi.


Ayah, bagaimana rasanya tak lagi merasa sakit? Lega? Bahagia? Sedih tak? kau lihat gadismu yang tak beribu kini pun tak berayah? Tapi sekarang aku lebih kuat, jauh-jauh sangat kuat. Hampir tak pecah, jika Tuhan tak kehendak, hampir tak goyah, jika Tuhan tak kehendak, hampir tak merasakan pedih, jika Tuhan tak kehendak.

Ayah, oh, Ayah tak pernah kau nyanyikan aku "nina bobo" kau titipkan namaku sebagai hujan, untuk menyirami kalian.

Ayah, oh, ayah, tak pernah kau peluk aku lama, tak pernah kau lihat mataku dalam. Kau bicara mengawang, melihat pada segala arah tapi tidak padaku, tahu aku tahu, tahu sekali aku, itu pedih, melihat gadismu besar sendirian, itu pedih, tahu aku tahu.

Melihat mata yang serupa istri yang kau cinta yang meninggalkanmu beban seorang gadis yang tak tahu harus kau apakan. Tahu aku tahu, pedih, saat namaku mengingatkanmu pada kesedihan.

Tak lagi ada kuat tabahmu oh puisi sapardi, hujanku lebih badai, hujan gadis kecil yang novembernya duka. Tak ada, oh tak ada sapardi. Hujanku bukan November rainnya Gun N Rose, bukan pula air mata Ibrahim sebelum menyembelih Ismail. Hujanku badai, badai yang kuat. Tak menghancurkan, tapi menebar bibit hidup baru, menyemai biji, menebar serbuk-serbuk sari.

Ayah, jalanlah. Aku menyusul nanti saat penuh sudah janjiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar