Selasa, 31 Desember 2013

Rancau Kacau : Rindu

 Harusnya tadi malam kamu bersamaku, atau harusnya tadi malam aku yang bersamamu. Harusnya tadi malam kita bersama. Tapi nyatanya tadi malam kita saling merindukan tapi bukan-bukan, mungkin hanya aku yang rindu. Aku tidak tahu tentang hatimu. Jarak terasa, pergantian tahun tanpa melihat senyuman, atau sekedar sebentar berpelukan, malam tahun lalu bukannya kita bersama. Malam tahun baru tadi aku di sebuah tempat dan kamu di sebuah tempat. Kita terpisah jarak, muak.
 Lalu pengertian yang bagaimana lagi yang mampu mengerti hati-hati yang rindu dalam enggan untuk mengakui? Beberapa hari ini kita sama-sama dirudung emosi, kamu dengan marahmu. Aku dengan sensitif dan airmataku. Kita rindu, kita hanya rindu. Aku mulai menduga-duga, malam tadi kemana kamu, dengan siapa, memakai baju apa, setampan apa? Semua tanyaku keluarkan dalam kepala. Lalu malam tadi seberapa malas aku berdadan, aku memakai gaun yang luarbiasa biasa saja. Aku rindu tahu? Bisa peluk aku atau kita harus sama-sama berdoa lagi. Bisa genggam tanganku?. Terkadang aku kesulitan mengertimu, kesulitan mencari pengertianmu. Kamu pun kesulitan di sana aku tahu, kesulitan setiap aku menangis, sulit untuk menghapus airmataku, sulit untuk memeluk tubuhku. Kalau begitu malam tadi kita lagi-lagi berdoa lagi ya, Selamat Tahun Baru 2014. Cintai aku tanpa akhir.

Minggu, 15 Desember 2013

Yang Tersisa Dari Cinderella

Dentang bel waktu mengabarkan malam pada usia sebelas.
Di ranjang itu, antara aku dan ayah, ada kesepian yang berdiri tanpa pembatas.
Tapi kau, Ayah, tlah menghalau kesepianku dan rindu dengan dongeng masa lalu.
Sekiranya kesepian masih mampu ditangguhkan; pada nama ibu setebal buku.

Ayah, dongengkan padaku; seorang wanita yang pernah kau sebut Cinderella dalam cintamu.
Yang seharusnya pula kucintai dia sebagai Ibu.
Adakah kesepian telah mencair sejak kita kehilangan?

Nak, Cinderella itu cintaku …

Ayah, ceritakan padaku; tentang wanita yang kau sebutkan padaku sebagai Ibu.
Yang kini masih tersimpan rapi di laci ingatanmu.
Adakah jejak langkahnya telah menjadi kristal di jalanan kenangan?

Nak, Cinderella itu Ibumu …

Kini aku berjalan menyusuri kota kenangan dengan langkah dari sepatu kacamu yang tersisa.
Sebab, di sepatu itu kutemukan pantulan cinta dari sebagian langkah kakimu di surga.

Ibu, kau tetaplah nama setebal buku dongeng tentang cinta.
Aku, ayah dan segala tentangmu tetap hidup sebagai cerita.


Puisi dari: http://Kopigenic.wordpress.com
Twitter: @kopigenic

Sabtu, 14 Desember 2013

Sebelum Pindah

 Sebelum pindah aku sempat bermain-main dengan waktu, mungkin dia marah padaku dan terus mengganti dirinya dengan waktu-waktu yang baru. Dan aku selalu berkawan dengan waktu baru tanpa sempat berkenalan dulu, karena mereka terus berganti dan berganti tidak pernah mau sebentar berhenti. Mereka terus berpindah.

 Setelah itu terjadi saat ini banyak kata "seharusnya" yang keluar dikepalaku. Satu seharusnya saja, aku rasa cukup dan memang dibutuhkan untuk kesadaran pada satu waktu.
Tapi "seharusnya-seharusnya" yang lain hanya membunuh waktu yang lain lagi. Penyesalan itu tidak berguna yang berguna itu perubahan. Menyesal, menangis dan me-yang lainnya lah pada detik ini lalu setelah itu berhenti dan berpikir sesuatu yang baru pada menit itu. Bagaimana memperbaiki yang lalu. Karena kenyataannya sesuatu tidak pernah bisa terulang sama untuk kedua kali, sematang apapun aku coba melakukannya.

  Dari banyak hal, kamu salah satu hal yang aku syukuri. Membuat sedikit (banyak) kesadaranku berfungsi setiap hari. Aku sering mengulang kalimat ini untuk melunakan kebebalan isi kepalaku sendiri " bangun dari mimpi mungkin sulit, tapi akan lebih kesulitan lagi saat kita tetap tertidur dan terbangun dengan tubuh menua, merenta".

 "Penyesalan" dan kata "seharusnya" hanya akan semakin membunuh waktu jika kamu lakukan berkali-kali dan bertubi-tubi tanpa berniat untuk melangkah PINDAH dari waktu yang tidak pernah kembali. Aku selalu ragu untuk pindah awalnya, pindah dari apapun, kegiatanku yang mungkin tidak seharusnya aku. Tapi apa yang kita pertahankan saat rumah adalah kontrakan yang memiliki massa tenggang dan kita tidak diizinkan mengontrak lagi oleh si pemiliknya? Tidak ada kan? selain pindah dan menetap. Indah!

#17hari #SebelumPindah

Senin, 09 Desember 2013

Peri Hujan

Via menghitung bunyi tik..tik.. Diatas atap rumahnya. Hujan turun lagi sore ini. Dia selalu gagal dalam perihal menghitung hujan, jelas saja mereka selalu datang keroyokan. Via selalu tak sabar menunggu hujan berhenti. Bukan karena dia tidak menyukainya, tapi karena dia tidak sabar ingin melihat peri kecil disela-sela kelopak jarum asoka yang katanya selalu muncul sehabis hujan.

 "Ibu-ibu, Via pernah lihat bu, dibalik bunga jarum itu ada peri dengan sayap kecil bu" yakinnya pada ibu.

Wanita yang di panggil dengan sebutan ibu itu pun hanya tertawa. " Tidak ada peri sayang, tidak pernah ada yang namanya peri nak" selalu itu yang ibu jawab. Membuat via cemberut dan semakin bertekad untuk menunjukannya.

Hujan berhenti via berlari kehalaman depan, kerimbunan asoka yang di yakininya tempat peri-peri meminum sari dari bunga jarum. Ketemu! Dimasukannya peri kedalam botol kaca bekas sirup. Dibawanya kedepan ibu.

"Ibu ini peri"

" Via itu bukan peri nak, itu pelangi "

Minggu, 08 Desember 2013

Entah...!

Mungkin perkara mencintaimu
ini dianggap berlebihan
Hanya karena aku tak tau caranya hitung-hitungan
Tapi apa salah?
Aku rasa tidak ada manusia yang mau kekurangan

Lama

Pada menit keberapa aku mencintaimu
dan pada untuk selamanya
aku menaruh hatiku disitu
Aku begitu mencintaimu
Hanya itu dan tak mampu kurang lagi
Melebihkannya mungkin aku masih mau


Sabtu, 07 Desember 2013

Bunuh Lagi

 Tika berlari kedapur dengan membabi buta, disambarnya pisau dapur tua yang terletak diatas kayu telenan bawang lembab. Lalu segera dia kembali berlari kedepan. Amarah memenuhi wajahnya, dia ingin segera menusuk lambung lelaki yang begitu dibencinya kini. Lelaki itu suami Tika, biasa dia panggil dengan sebutan abang.

 Dicari kesegala penjuru, tak juga abang ketemu. Entah dimana lelaki yang melarikan uangnya berkali-kali itu sembunyi. Ulah terakhir kali; anaknya yang bungsu dijual untuk mengisi perut mereka yang sudah kosong dua hari, dua anak lagi sudah pula disewakan sebagai properti untuk tetangganya yang berprofesi sebagai pengemis dipasar sukajadi. Semua hal itu dilakukan dengan paksaan dan tamparan di wajah Tika jika dia melawan mengiyakan mau suaminya.

"Lelaki biadab, kubunuh kau lagi!." rutuk Tika dalam hati.

 Tika kesal! Diam, berpikir dan bertanya-tanya sendiri dimana lelaki yang dicarinya ini bisa dia temui, lalu Tika senyum menyeringai . "Lelaki itu pasti sembunyi didalam tanah lagi" tanya nya terjawab. Cepat-cepat dibongkarnya timbunan tanah belakang rumah untuk ketiga kali dalam satu minggu ini.

" Ketemu kau! Mati lagi kau ku tusuk lagi kau, mati lagi kau, mana anakku! Mana uangku bangsat!" Tika kembali menikam-nikam perut lelaki yang sudah tak bernyawa dari 5 hari lalu. Setelah puas ia tertegun memandang jasad yang sudah membusuk dan berbau tanah, jasad lelaki yang begitu dia cintai dulu, kini pun masih walau ada rasa benci. Dikecupnya kening lelaki itu. Kemudian kembali ditimbunnya dalam-dalam.

" Diam-diam saja disana, nanti kubunuh lagi." Kata Tika sambil beranjak pergi.

Kabar Buruk

" Jika setelah mati memang ada reinkarnasi, aku mau jadi benda mati agar tidak mati lagi "

 itu isi kepalanya Erna saat ini. Erna masih belum bisa memejam. Dikepalanya dipenuhi dengan cerita-cerita kematian. Dalam minggu ini sudah dua kabar buruk yang diterimanya, secara mendadak kemarin dan malam ini.

" Apa mati selalu begitu? Tanpa pesan tanpa tanda? Kenapa tidak permisi dulu. Setidaknya untuk aku bersiap-siap jika memang ada waktuku ". Hening, suara tik tok jam dikamarnya semakin terdengar. Sayup-sayup terdengar suara tangisan ibu. " Erna... Erna... Bagun nak! Jangan tinggalkan ibu nak ".

" Ya... Diantara dua kabar buruk itu, salah satunya ada kabarku."

Jumat, 06 Desember 2013

Ah, itu Aku!

 Hujan turun deras suaranya lebih mirip tangisan bayi yang haus mencari ASI. Rahmi masih duduk terpekur dipemakaman Linggar jati. Mencari-cari nama yang sudah dua hari tidak dia temui. Rahmi tidak putus asa, dia masih terus mencari sampai siang berganti malam, lalu malam kembali mengulang pagi.

" Dimana kamu, sudah tiga hari disini tapi tidak juga ada nisan bernamamu".

 Tidak sedikit pun dia ingin bertanya, pada penjaga makam atau beberapa pelayat disana. Di periksai-nya sendiri setiap tanah makam yang masih basah, di perhatikan nisan-nisan disana lekat-lekat satu persatu. Masih juga belum bertemu.

 Hari ke empat Rahmi tetap bertahan, tanpa lapar tanpa haus. Mencari nama yang tak juga ada, sampai akhirnya seorang pemuda datang dari desa sebelah menghampiri penjaga makam.

" Pak, jenazah Rahmi Zahara sudah di temukan pak. Terkubur di tembok kantor kelurahan desa kami."


"Ah, ketemu itu aku!"

Kamis, 05 Desember 2013

Sebelum Pukul Enam

 Dea menyusun rapi buku-bukunya, ia tampak terburu-buru. Entah apa yang menunggunya seakan begitu memburu.

 Bunyi bel sekolah pukul dua siang, Dea langsung bangkit dan beranjak dari kursinya. Dengan setengah berlari dia mengejar pintu pagar sekolah yang baru dibuka pak Rahmad penjaga sekolahnya.

 " Aku harus tiba" Dea menggumam dalam hati. Dea semakin mempercepat langkah. Menuju hal yang entah apa ditujunya.

 Tiba ditoko obat cina tua pinggir kota, pukul setengah tiga.

"Bu..Bu..."

Keluar dari dalam seorang nenek dengan uban penuh dikepala. Dia cukup mengenal Dea. Dea sempat bercerita tentang sakit yang dideritanya.

"Cari obat?"

"Obat yang harus saya minum sebelum pukul 6 bu"

" Sebentar "

Nenek tua kembali mencari-cari obat yang diminta Dea. Lalu membawakan kotak berwarna hijau tua.

"Ini, ingat minum sebelum pukul 6 atau kamu akan kembali mengulang sakitmu "

"Baiklah bu"

 Dea kembali bergegas, dia mengejar kembali sebelum pukul 6 untuk segera minum obat. Sesampai dirumah suasana masih sepi. Belum ada siapapun, ibu masih bekerja pukul 6 nanti dia akan kembali. Ayah tak pernah pulang lagi setelah tidur dipemakaman umum linggar jati. Dea sendiri!

 Dea menuang air putih dari dalam teko. Meminum obat sebelum pukul 6. Lima belas menit kemudian kepalanya mulai berputar. Semakin lama semakin kencang seperti mesin komedi putar. Darahnya terasa panas, mendidih naik kekepala, pembuluh darah seakan bergerak-gerak menuju pecah. Dea begitu menikmati setiap rasa seperti gorokan ditubuhnya. Tubuh Dea terguncang hebat seperti ayam yang disembelih lehernya. Saat membuka mata semua sakit hilang.
" Berhasil...aku pulih...aku pulih " dia tertawa lepas bahagia.

" Malam tak datang, syukurlah. Artinya lelaki-lelaki itu tidak akan kembali kemari untuk mengantar ibu dan meniduriku. Syukurlah, aku aman disini. Mereka tidak akan bisa melakukan apapun padaku. Selakanganku tidak akan pernah sakit lagi ".

 Dea tertidur panjang, sebelum pukul 6. Malam tidak pernah sempat lagi untuk datang menyakiti selangkangnya. Ibu menangis setengah mati dalam petang.

"Tak ada lagi uang, tak ada lagi uang" raung ibu terdengar tak riang.

Rabu, 04 Desember 2013

ah, Jalang!

Ah, jarak! Kenapa begitu jalang
Tak sudah-sudah juga rindu mau hilang
Semua resahku semakin menimbulkan gelisah-gelisah
Memaksa tubuh pasrah dengan waktu dan jarak jalang!
Ah jalang! Berkali-kali aku merutuki.
Ah jalang, kamu jarak tak tau diri.

Selasa, 03 Desember 2013

Telepon

" Disetiap bunyi telepon yang tut..tuutt..tuutt... Tersembunyi harapan yang menyangkut"

 Duh! Pembukaan macam apa itu. Tapi kenyataannya begitu. Entah kenapa di setiap bunyi "tutt.." Pada telepon, handpone atau semacamnya alat komunikasi. Selalu bisa bikin jantung kerasa berenti. Hal yang paling di benci setelah "tut.." Adalah harapan yang menyangkut dari nada operator yang mengatakan "Nomer yang anda tuju sedang sibuk...". Aku sendiri sering mematikan telepon sebelum suara operator merusak suasana hati serusak-rusaknya. Entah kenapa suara perempuan operator itu buat hati semakin gak tenang, mungkin karena tidak terangkat si telepon itu sendiri dan pikiran mulai memunculkan teka-teki gak penting yang bikin hati makin gak bisa kolerasi sama logika diri. Jadi matikan teleponmu sebelum terlambat. " Intinya gak melulu percaya sama juga dengan gak melulu curiga." Terkadang kita cemas dengan sesuatu yang terlalu kita buat-buat keadaannya.


(Ditulis saat emosi makan siang yang telat datang)

Hujan Desember


 Aku terbangun dan bahagia menikmati hujan, gerimis dan apapun semacamnya yang rintik. Rasa dingin meresap di balik-balik pori kepala. Ah menyenangkan! Bermain hujan adalah masih satu kebiasaan untukku saat dia datang. " Hujan di tengah Hujan" kata teman-teman.

 Aku sangat mencintai hujan, jelas aku mencintai aku diluar aku pun aku tetap mencintai hujan, intinya aku cinta hujan!.

 Kadang hujan dapat membantuku merefleksikan rekaman yang tersimpan dalam ingatan. Pernah juga ada yang bilang " hujan adalah perantara masadepan dan masalalu yang baik" aku suka bagian itu. Nyatanya hujan memang penyambung ingatan manusia untuk beberapa bagian yang kadang terlupa. Kesedihan dan kebahagiaan yang tak biasa berdatangan. Diam-diam, rintik-rintik, dingin di setiap jengkal pori tak perlu basah untuk rasakan dinginnya. Pandangi saja dan kamu dibawanya.

 Lagi yang aku suka dari hujan adalah peradaban yang berhenti sesaat. Manusia-manusia yang bahagia dan si pengerutu yang tak bisa apa-apa saat hujan datang. Semua seakan hidup dalam diam. Hujan juga tempat kamu terperangkap suara tangismu sendiri.

 Selepas hujan? Jangan coba-coba untuk melihat dalam genangan sisa hujan. Disana tempat kenangan bersemayam.

Bahagia Hari RABU

 Terimakasih Tuhan, aku masih bangun pagi ini dengan suara hujan dan nafas yang belum berhenti. Semoga disemua bagian bumi orang-orang terbangun bahagia seperti hatiku pagi ini.

 Terimakasih sayang, kamu selalu sempat menelponku di sela-sela aktifitas padatmu. Sebelum bekerja, saat ada waktu luang dan bahkan pulang kamu biarkan telponnya hidup untuk aku menemanimu sampai kerumah.

 Terimakasih apapun yang membuatku bahagia hari RABU!

Tak Habis Kamu

" Lalu dua pasang kaki berpacu maju, berjalan untuk setiap langkah-langkah kemenangan masa depan kita. Aku? Adalah si kaki yang tak putus asa mengikuti. Mencoba mengimbangi tapi tidak lebih dulu darimu. Iya, begitu salah satu caraku mencintaimu "

Awalnya jarak ini membunuhku, membuatku kesal dan tidak semangat menghadapi apapun yang terjadi. Kerap membuat ulah, tapi setelah lama aku kembali ingat pada kata-kata yang ku ucap sendiri berulang kali saat ragu mulai menyiksa diri. Kata-kata ini salah satu penguatku dalam prihal menunggu. 'Bumi berputar tulang rusuk tidak pernah tertukar'.

 Hubungan jarak jauh memang tidak mudah, tapi yang mudah itu bukannya tak menyenangkan? Dimana pembuktian kekuatan. Aku percaya ini ujian dan kita bisa bertahan. Aku mencitaimu dan sangat nyaman.

 Tidak berpeduli seberapa jauh kamu pergi, aku tau kaki itu akan kembali membawamu kesini. Iya, aku tau kamu tak pernah pergi. Hanya mengejar cita-cita kita, dan saat ini harus saling sendiri tapi tak pernah melepaskan hati. Berat, itu lah kenapa aku benci senja setelah kepergianmu ke kota itu. Aku merasa waktu bertahun-tahun lalu jadi sementara seperti senja.

 Saat kau tidak disisiku. Saat pertemuan jadi langka, dan berpatok pada bulan. Aku rindu. Airmata kita selalu jadi doa, bagaimana kita bedua tertimbun rindu dalam-dalam. Lalu pada malam-malam saling membayang pelukan yang biasa memenuhi setiap jengkal sayang. Tidak apa, ini tidak lama. Nanti kita kembali, mempersempit ruang. Menghangatkan rindu. Sudahlah, besok aku menulismu lagi sayang. Selamat tidur R.S :*

Senin, 02 Desember 2013

3 Desember

 Hujan 3 Desember serupa tangisan yang kusimpan diam-diam dalam-dalam di hatiku. Hujan yang merindukanmu tak ampun-ampun. Entahlah sayang, aku rindu. Lebih dari itu, lebih dari pengucapan kata yang tak pernah tentu. Aku rindu. Sudah begitu.

Jumat, 29 November 2013

Simpang Tanpa Hilang

 "Akan sangat menyedihkan saat kau harus memilih satu dan kehilangan satu. Bagaimana jika tak ada satupun yang hilang? Bisa? Atau bagaimana jika aku memilih aku saja yang hilang Tuhan. Tapi kenyataannya kita tak pernah memilih satu untuk kehilangan satu. Saat ini kita memilih untuk menyelesaikan dan mendapat sama tanpa jarak dan waktu yang menganggu. Persimpangan ini adalah titik awal cita-cinta untuk bahagia besar yang lebih nyata. Setelah itu kembali bersama. Rengkuh tak akan lagi ada lepas dari tanganku."

 Pernah berada di persimpangan yang mengharuskanmu berjalan tak bergandengan?. Bukan karena berpisah tapi karena lorong-lorong yang di laluinya begitu kecil, sangat sempit. Pernah berada dalam pilihan, harus memilih satu walau untuk sementara waktu?. Persimpangan adalah hal yang tak ingin kita temui saat kita tersesat dan tak tau arah. Tapi aku tau, kami tau arah saat memilih bersimpangan saat ini. Aku tau ini sementara waktu. Untuk semua cita-cinta yang akan dimatangkan dulu. Mengejar massa depan, lakukan yang bisa dilakukan. Dan tak bersimpang kembali kemudian hari.

 Awal persimpangan ini cukup berat, rasanya hari sebelum kita pergi. Aku tak ingi bergerak atau apapun dari sana, ingin tidur manja di pelukanmu. Membiarkan waktu gelap lagi, membiarkan matahari tenggelam dan aku tidur dalam pelukan itu tanpa habis. Lalu kita tetap memutuskan pergi sementara, aku ingin melihat langkahmu. Jadi aku putuskan untuk aku yang mengantarmu lebih dulu. Terminal Leuwi panjang, pukul 1 siang. Setelah kita mengulur waktu, dan pesawatku yang terancam hilang. Iya sebelum sampai ketempat mengantarmu, kita berdua sama-sama mengulur waktu. " Seakan jangan, jangan pergi dulu " nyatanya aku dan kamu tak pernah jauh. Setela kita disana, kamu mencari kendaraan yang bisa membawa tubuhmu ketujuan, tak ada satupun awalnya. Dan tetiba ada 1 yang meneriakimu. Masuklah tapi langsung jalan. Entah kekacauan apa di hatiku, mengantarkanmu dan kamu harus langsung hilang di dalam besi besar itu. Jelas aku tidak biasa. Kau memelukku, setelah aku mencium punggung tangan kuat itu, punggung tangan yang merengkuh tubuh ini. Menopang lemah-lemahku, sayang kau yang terhebat. Kau berlari kencang seakan mengejar massa depan, berlari lebih kencang dan hilang di dalamnya. Aku tau kau melihatku menangis dari kaca jendela penuh debu, aku tau kau tak sanggup melangkah saat itu. Begitupun aku!

 Aku kembali ke taxi dengan gamang meminta bapak supir mengantarkanku kebandara. Sepanjang jalan kuperhatikan semua, semuanya. Aku akan merindukan semuanya. Tapi kami akan kembali dan menua disini. Semua jalan kota ini adalah saksi 2 pasang kaki saling mengawasi diri, 2 pasang kaki berjalan hati-hati untuk saling melindungi. Aku tiba di bandara, masuk kedalam setelah mengurus semuanya dan duduk manis diruang tunggu. Tuhan bisa kembalikan waktu ke 3 jam lalu. Bisa batalkan semuanya, biar saja kami begini asal bersama. Itu isi doaku!. Tiba saatnya aku yang terbang, pergi dari tempat yang menjaga kami. Gamang!

 Persimpangan ini memang bukan perpisahan, aku tau. Tak ada niat kita saling melepaskan. Aku tau. Namun aku? Terlalu lemah untuk terbiasa tanpamu. Aku tau ini semua untuk bahagia kita nanti yang lebih tenang, tanpa berpikir harus apa dan harus apa. Tanpa bertingkai kehabisan rupiah dan bingung mendiamkan perut. Aku tau ini harus di lewati untuk sesuatu yang lebih, aku selalu menangis saat ingin memulai tidur. Mengingat lengan dan dada bidangmu, harum khas tubuhmu dan usapan-usapan lembut di kepalaku. Aku begitu rindu. Kita akan kembali, sebentar lagi. Saat semua terkumpul, dan menua dengan bahagia. Kita akan kembali merona untuk semua kisah yang tak ada celah tak ada pisah, aku ingin mati dalam genggamanmu. Mengkerut dan tua didalam rumah kayu. Setiap malam berdoa dengan tangan-tangan renta untuk terbangun dan tetap masih bersama. Aku ingin menua, setelah semua jarak ini kita habisi. Aku ingin bersamamu lagi, dan kita harus kuat hadapi saat ini. Apapun, kita sudah lalui. Dan ini adalah ujian ke sekian dan pasti kita sudah biasa melingkari jawaban-jawaban dengan pola meski tak sama. Tak ada apapun, tak ada pisah hanya batas jarak waktu. Langitmu dan aku masih satu. Tak ada apapun yang tak terhadapi, jika itu masih bersamamu. Jika hatimu masih selalu menegaskan aku milikmu. Tak ada satu pun yang harus bersimpang tanpa kembali.

Rabu, 27 November 2013

Tubuh-Tubuh Puisi yang Patah

Tubuh-tubuh puisiku patah
Saat marahmu tumpah
Wajahku memerah
Menahan malu yang ada dikepala.

Mungkin mencintai dengan ketulusan adalah sesuatu yang berlebihan.
Tapi kataku cinta memang tidak pernah tau perhitungan
Dia tidak paham matematika atau ekonomi dan semacamnya
Yang dia tau mencintaimu tanpa jeda tanpa celah.

Lalu tubuh-tubuh puisiku patah
Saat hinaan meruah
Hatiku pedih tak lagi tau nasehat petuah

Tuhan sakit
Sakit sekali Tuhan
Lalu apa dan bagaimana aku bertahan
Telinga ini masih saja tetap mendengar
Sakit iya sakit
Membekas teramat dalam
Teramat sangat
Diam pun ikut-ikutan menyengat
Mataku kembali hangat
Tangisan pada tubuh-tubuh puisi lagi-lagi patah

Selasa, 26 November 2013

Batas

" Untuk semua kisah terlarangku, aku mencintaimu walau tak pernah menemukan garis restu itu "
    
                          

*Soleluna, Bandung*
27 okt 2013, 17.00wib
  

" Ann.. Aku, hmmm aku... Aku masih sayang sama kamu, aku mau kita balikan kayak dulu "

 Rendy mengungkapkan perasaannya pada Ann. Ann masih diam, sudah yang ke 7 dalam bulan ini Rendy kembali menyatakan isi hatinya ingin kembali pada cinta mereka dulu. Entah harus menjelaskan berapa kali lagi agar lelaki itu bisa mengerti.

" Aku gak bisa Ren, aku gak bisa. Berapa kali lagi aku harus menolak dan mengatakan hal yang sama?."

"Kenapa? Kenapa ga di coba? Kita bisa, aku mohon terima aku lagi".

 Dalam hati Aan sedikit luluh. Tapi bagaimanapun mereka sudah tidak mungkin kembali seperti dulu.

" Rendy, dengar baik-baik. Aku sudah menikah, jadi ini tidak mungkin. Aku tidak bisa memulai lagi. Aku tidak bisa kembali, kita tidak bisa kembali".



*Dago pakar, Bandung*
28 okt 2013, 07.30wib                        

 "Tok...tok" ketukan pintu terdengar. Ann membuka pintu rumahnya. Rendy!

 "Andra, aku cinta sama kamu. Aku tau kita bisa kembali dari pada kehilangan kamu aku lebih baik mati." Ucapan rendy di akhiri dengan tembakan di kepalanya sendiri.




Senin, 25 November 2013

Efek Rumah Kaca - DESEMBER


Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi
Dibalik awan hitam
Smoga ada yang menerangi sisi gelap ini,
Menanti..
Seperti pelangi setia menunggu hujan reda

Aku selalu suka sehabis hujan dibulan desember,
Di bulan desember

Sampai nanti ketika hujan tak lagi
Meneteskan duka meretas luka
Sampai hujan memulihkan luka

Tentang Luka

Lalu pada siapa sepi-sepiku mengadu
Saat kamu tak lagi ingin mendengarkan ku
Lalu pada siapa kata-kataku berteduh
Saat itu sudah mulai menjenuhkan mu

" Terkadang ada orang yang lebih mendengarkanmu. Dari pada orang yang kau harap mendengarkan mu "

Lalu pada tangisan yang seperti apa lagi aku meraung
Apa harus mengemis dulu untuk memasukan suaraku sampai ke telingamu?
Atau harus nadiku teriris agar kamu paham bagaimana sakitnya di telantarkan saat banyak tangan ingin melindungimu?
Aku dengan semua marahku yang tersimpan
Dan kamu dengan semua ketidak perdulianmu yang terus begitu

Harusnya kamu sadar bagaimana hati ini penuh untuk memuja satu nama dibawah Tuhan dan orangtua ku
Tapi kamu beku, seperti es yang membuat setiap jengkal otakku kaku.

Tamparan itu di hatiku, sayang.
Sakitnya disini
Mana bisa kau lihat
Jika luka mungkin bisa kau obati
Tapi hati yang sembuh bentuknya tetap tak pernah sama lagi

Ibu Guru

" Bersiap... Beri salam... Selamat hari guru, Bu. " Teriak kami serempak lalu menghambur, mencium punggung tangan yang penuh kerut itu. Berapa lama punggung tanganmu tak kucium batinku.

 Mata Bu Leni berkaca-kaca saat salam itu kami ucapkan di depan rumahnya. Dia guruku, guru tertua di sekolahku dulu. Oh Ibu, pengabdianmu tak sepadan dengan penghargaan yang kau dapat. Istilah pahlawan tanpa tanda jasa melekat erat pada tubuh-tubuh tua milikmu.

 Beliau sudah pensiun, tapi masih sering datang ke sekolah untuk mengajar, masih juga membuka les sore di rumahnya. Bagaimanapun mendidik sudah jadi jiwa untuk raga tuanya, tak berbagi ilmu sehari seperti tak makan katanya. Tawa lepas siang ini memang terlihat seakan tanpa beban, tapi pundak-pundak lemah yang membungkuk itu bukti betapa berat beban yang dipikulnya selama ini.

 Masuk kedalam rumahnya, kami mendapati papan tulis dan sekotak kapur tulis, tumpukan buku, jam tua, kursi usang dan televisi yang entah masih berfungsi atau tidak. Hanya ada satu kamar, satu kamar mandi dan sebuah dapur sempit.
" Kami memasak makanan kesukaan ibu. ", kataku riang. Kaca-kaca di matanya kembali mengulang.Ibu aku tau, ibu sedang tidak begitu baik. Ada perasaan bergejolak yang tersembunyi di linang-linang mata kaca tua itu.

 Ibu mengapa kau begini, hidup di gang sempit dengan rumah kredit yang belum lunas.

" Bapak sudah pergi dulu, kalau ada bapak ibu mungkin tidak begini."

Itu katamu masih dengan senyum dan keiklasan yang sama, entah apa yang membuatmu menjawab hal itu setelah untaian tanya hatiku tentang keadaannya. Mungkin ibu membaca tanda tanya dalam tatap-tatap mata kami.

 Ibu guruku punya rumah, rumah yang dikuasai anaknya. Rumah hasil jerih payahnya dulu dengan almarhum suaminya, rumah tempat dia membesarkan putri dan putranya. Dia memang diperbolehkan tinggal disana, tapi lebih memilih hidup sendiri tanpa mau merepotkan anak-anaknya. Entah sikap apa yang ditunjukan putrinya sehingga ibu lebih memilih sendiri memikul lelah-letihnya yang masih belum juga berhenti.

" Ibu sudah tua, apa tidak kesepian sendiri begini? " tanya salah satu temanku.

" Datanglah sesekali kemari, agar ibu tidak sepi. "

Tuhan, hatiku begitu nyeri mendengar jawaban yang terlontar, tertelan pahit begini. Betapa kami anak-anak didiknya ini tidak tau balas budi, sampai ia harus meminta kedatangan kami. Betapa tidak kami sadari bagaimana pahlawan ini hidup dalam sepi. Permintaan kecil yang menusuk hati. Siang ini langit haru mendengar pintamu. Mendung dan hujan pun seakan menangisi kesepian-kesepianmu, Ibu guruku.

 Sebelum kembali salah satu temanku mendadak menyanyikan lagu ini, kami mengikuti


"Terima kasihku, ku ucapkan
Pada guruku yang tulus
Ilmu yang berguna
Slalu di limpahkan
Untuk bekalku nanti

Setiap hariku di bimbingnya
Agar tumbuhlah bakatku
Kan ku ingat slalu nasihat guruku
Trima kasihku ucapkan"


Tangis ibu tumpah, kami pun ikut ruah.

" Selamat Hari Guru Nasional. Pahlawan tanpa tanda jasa. Tanpa guru kami masih buta, engkau lilin penerang dunia yang terlupa "


Sabtu, 23 November 2013

Sembunyi Sayang

Lalu aku bingung untuk melangkah
Meniup-niup lilin yang mana lagi
Bukan untuk matikan kisah
Tapi untuk lebih gelapkan
Malam lebih gelap lagi.
Agar jarak dan waktu tak mencurimu kembali dari sini

Sembunyi sayang, sembunyilah didalam
Jangan keluar, aku tak mau kau dicuri lagi walau sebentar
Disini sayang, masuklah kemari
Nikmati saja jangan pergi lagi

Lilin

Malam ini, aku mencintaimu beratus ribu kali lagi. Entah berapa banyak dalam satu hari kau mampu membuatku jatuh cinta berulang-ulang tanpa henti. Entah bagaimana menyiratkan kesempurnaan malam-malam denganmu. Ingatan tak pernah kosong, kau selalu mampu membawaku jatuh dalam suasana seakan aku wanita satu-satunya di dunia yang harus diperlakukan seperti ini. Seakan hanya aku yang terlahir sebagai wanita, dan satu-satunya hal yang harus kau jaga. Mencintaimu tidak mudah, tapi jatuh cinta padamu bukan hal yang susah. Aku harus melawan wanita-wanita yang coba-coba mendapatkan lilin dalam gelapnya makan malam. Iya, kau indah, mewah namun sederhana. Kau lilin, aku mencintaimu dalam gelap-gelap malamku. Cahaya datang pun kau tak pernah bisa ku hilangkan. Lalu entah bagaimana lagi caraku memujamu Lelaki? Kau terlalu mampu memabukanku sebagai dewi. Kau lilin, mewah namun sederhana. Gelapku indah, kau lilin. Aku mencintaimu, tak hanya pada makan malam dan hujan ini. Tapi aku mencintaimu sampai malam kembali mengulang-ulang pagi.



Aku mencintaimu R.S

Jumat, 22 November 2013

Tak Berkolerasi

Lalu tiba hari dimana hujan tak dingin lagi. Hari dimana pelukan tak pernah kita sudahi. Mencintaimu adalah satu dari tidak banyak hal yang hatiku Amin-i

Bagaimana ketulusan menjadi tiang-tiang penyanggahnya. Bagaimana tangisan jadi nada dalam tiap doa-doa. Bagaimana daun-daun pada pohon dijalan yang kita lewati berubah warna
Dan bunga-bunga rindu tanganmu memetiknya.

Aku tak perduli seberapa sulit jalan yang kulalui
Bersamamu adalah hal yang selalu mudah dilewati. Entah berenang dalam api atau tenggelam dalam batu-batu es beku, aku tak pernah tau tepi. logika dan hati yang selalu tak berkolerasi. Seperti itu aku mematikan logika saat mencintaimu.

Kamis, 21 November 2013

Ambigu

Langit mendung, kenapa?
Apa ada tangis nanti yang tumpah tak terbendung.
Apa ada kesedihan yang disimpan dalam diam?
Ada hati yang sakit tak tertahan?

Langit mendung, kenapa?
Coba cerita, keluarkan luka
Tak bisa?

Langit mendung kenapa?
Warnamu kelabu, aku lebih suka jingga pada burat senja ungu
Saat mendung kau terlihat dungu

Jika hujan, hujanlah
Jika tumpah, tumpahlah
Jika biru, birulah
Jangan begini, jangan kelabu
Aku muak dengan ambigu.

Lampu Malam

" Lampu-lampu malam; adalah salah satu hal yang juga aku sukai setelah kamu dan hujan. Mata ini selalu manja melihat warna-warna pedar yang membaur kecil-kecil, sesekali mencoba-coba menghitung berapa banyak lampu-lampu kota yang menyebar. Dari lampu-lampu ini tenang memang sangat sederhana, hanya banyak yang tak tau caranya. Lampu-lampu malam pun mengajarkan aku sadar untuk beberapa hal. Iya! " 
 
 Aku terbiasa keluar malam hari, menyetir sendirian hanya untuk menenangkan hati. Menikmati udara dingin malam, tidak dengan buka jendela (cukup berbahaya). Karena malam akan tetap dingin tanpa harus tertepa angin. Dingin dengan sunyi yang kau lewati, sendiri. Kemacetan menghilang, orang-orang satu-satu di jalanan, entah kenapa kesedihan terkesan lebih tajam saat malam datang. 
 
 Lampu-lampu malam ini ramai, tapi mereka memberi kesan kesepian. Seperti ditengah ramai pun tetap suara itu tak ada, berbicara jadi hal yang percuma. Seakan mengatakan orang-orang hanya punya mata tanpa telinga. Kurasa itu monolognya. Iya, seperti kata lampu sekarang manusia memang begitu, ya?. Punya mata melihat kesedihan, kesakitan, penderitaan sesama tapi menutup telinga dari 'permintaan tolong' dan 'tangisan-tangisan berharapan kosong', malah ada yang lebih tega memberi janji yang sama kosong dan dari awal sudah berniat dengan kesadaran penuh untuk tidak menepatinya. Ada juga beberapa manusia merasa dirinya sendiri adalah sesuatu yang lebih pantas kenyang dari pada mereka yang mencari makan sampai harus berjalan kayang. Mati-matian maksudku. 
 
 Lampu malam yang sepi tau? ada bagian kecil hati yang kadang teriris pada tanya yang di lontarkan sendiri, bagaimana nanti? Apa hidup kedepan akan semakin lebih sulit dari ini, bukan sulit yang sejujurnya harus takut kita hadapi. Tapi takut kesibukan dunia membuat kita ikut buta hati. Takut sibuk mencari kenyang sendiri. Tanpa sempat berpikir dan menikmati pikiran yang akur dengan perasaan seperti ini, iya mengunakan hati atau sebutlah saja sedikit keperdulian, bolehlah.
  
 Ada hal yang mungkin beberapa kita tidak sadari, saat dititip tangan oleh Tuhan, bukannya dia menjadikan 'memberi' sebagai salah satu tugas yang harus kita lakoni?. Tapi seringnya hanya berbagi pada saat lebih. Lalu memberi pada saat cukup, bukan pada saat dibutuhkan. Berjabat kita pada satu yang sulit untuk sama-sama merasakan sakit agar pantas menyandang sebutan 'manusia'. Jangan tulikan mata, butakan telinga. Jangan ubah semua pemberian tidak pada harusnya, jangan ubah fungsi mata dan telinga. Mata tetap untuk melihat, telinga tetap untuk mendengar, jangan buta dan tulikan mereka. Jangan mau jadi bagian yang ikut bersikap apatis pada kehidupan dan sekelilingnya. Akan sakit jika tuhan membalas apatis, bagaimana kalau dia mulai menghitung-hitung nafas? Mati kita. Harusnya kita takut pada kelebihan, karena disana waktu Tuhan menguji kemampuan matematika kita. Bisakah berhitung seperti dia? Atau serakah untuk sendawa-sendawa kenyang perut kita.




" Kemenangan, kekenyangan, kenyamanan yang harusnya bukan milikmu (sendiri) itu menyakitkan jika kau mulai belajar mengunakan perasaan. Berbagi adalah cara merayu Tuhan untuk tak bosan memberimu lagi".

Selasa, 19 November 2013

" Tua Dalam Cermin "

 ASING. Perempuan itu asing di mataku. Bagaimana bisa dia begitu menghafal gerak-gerikku? Siapa dia? Wanita tua dengan wajah penuh gurat-gurat luka; antara iba dan bingung. Aku benar-benar tak mengenalinya. Kulihat sekelilingku, ruangan begitu berdebu, tak biasanya ibu membiarkan rumah sekotor ini. Lalu aku kembali bertatapan dengan wanita tua tadi, mencoba menerka-nerka berapa banyak rambut putih yang merimbun di kepalanya. Ingin kutanyakan padanya tentang keberadaan orang tuaku, tapi mimik wajah tua itu sama bingungnya dengan wajahku. Mungkin lebih baik tak perlu kutanyakan, karena tak mungkin ada jawaban darinya yakinku.
 Lalu, aku punya pertanyaan lain; apakah perang telah usai? Peraduan otakku yang bingung kembali bertanya-tanya tanpa tahu kemana harus mencari jawaban. Kenapa tak lagi terdengar ledakan, tangisan dan suara senjata? Apakah perang sudah berhenti? Bukankah sebelum tertidur aku kesakitan? wajahku terkena serpihan granat salah lempar? Tapi setidaknya sekarang tak perih dan tak panas lagi. Pasti ibu yang mengobati.
 Ah, sepertinya aku tertidur terlalu lama, jadi? hanya aku dan wanita tua dalam cermin ini yang tersisa sebagai penanda perang usai. Baiklah hanya kami!

Kraaakk!!!

"Kraakkkkk"
Patah. Gadis kecil dengan hati yang patah. Keluar dari ruang tata usaha sekolah, "Teguran lagi".
 Ia berjalan kaki menuju tempat ibadah untuk berdoa.
Semoga ayah pulang. Uang sekolahku belum di bayar, hanya itu isi hatinya.
 Sesampai di mushalla, dikenakan mukena lusuhnya. Selesai shalat ia berdoa. "Ya allah mukena ini lusuh, tambalan di mana-mana, warna putihnya pun sudah tak ada, Tapi aku selalu berdoa padamu untuk hal-hal yang ku minta baru. Bolehkan?"

Senin, 18 November 2013

Untuk Lelaki (Milikku) Inisial R.S

Untuk mencintaimu aku suka membunuh logika ku.
Karena hatiku sudah benar menempatkan namamu di dalamnya.
Menjadikan peran utama dalam setiap doa.

Jumat, 15 November 2013

Toples Kunang-Kunang

Aku minta bintang
Kamu beri setoples kunang-kunang
Dia hiasi malam
Cukup terang untuk di pandang
mataku berlinang
Merindukanmu semua kenangan genang
Sayang peluk aku
Hapus jarak antara mata mu dan aku
Sayang peluk aku
Aku menunggu tak jemu-jemu

Aku kembali minta bintang
Tapi lagi-lagi kamu cuma punya setoples kunang-kunang
Aku terima
Aku tau itu rasa sayang

Sekarang aku berhenti minta bintang
Karena ternyata hati kamu lebih terang


Rabu, 13 November 2013

Daun Kehujanan

Daun kehujanan
Dia kedinginan
Dia kejatuhan
Dia lepas pegangan
Daun kehujanan dia menangis sesegukan
Dia bosan ditelantarkan
Dia rindu pelukan
Ranting patah
Dia jatuh
Dia terbang
Dia mengambang
Daun kehujanan
Besok hari kering
Warnamu menguning
Mati perlahan
Pelan-pelan
Daun kehujanan
Kemarin malam kedinginan

Petak Umpet Ayah

"...28,...29,...30. Pada hitungan ke 30, Aku mulai mencari ayah." "

 Aku menutup mata bersembunyi dibalik pohon sambil berhitung, ini giliranku jaga. Baiklah ayah sudah sembunyi, aku mencari. "Ayah!!" Teriakku di balik tembok belakang, Tidak ada disini. Aku kembali mencari, ku padangi rimbunan bunga yang bergerak. Baiklah, ayah pasti disana. Aku mengendap perlahan. "Ayah ketemu", tidak ada.

"Ayah ... Ayah... Dimana, hujan lelah. Hujan sudah cari ayah dimana-mana kenapa masih sembunyi"

 Aku terduduk sesaat berpikir kemana ayah, dimana ayah sembunyi sambil memandangi pohon mangga yang dulu kami tanami bersama, sudah besar.

"Ayah! Ayah dimana"

Handphoneku berbunyi

"hai sayang, apa kabar nak?. Maaf minggu ini ayah tidak bisa pulang, masih ada pekerjaan yang harus di selesaikan"

Diam, ayah tidak ada disini. Dia belum pulang.

Jumat, 01 November 2013

Panggil dia kupu-kupu

Panggil saja dia kupu-kupu
Siang dia mencari, malam dia coba memacari.
Bukan tanpa alasan atau kepuasan diri.
Tapi untuk perut-perut kosong anak-anaknya yang meminta nasi.

Panggil saja dia kupu-kupu
Lelah pun dia pasrah, tidak mengeluh dengan senyum bibir tanpa lesu.
Agar anak-anaknya bisa minum susu.

Panggil saja dia kupu-kupu
Tak jarang dia pulang membawa biru.
Bekas di dada, lengan atau bagian manapun.
Tak jarang!

Dia kupu-kupu, ya benar.
Apa? Kenapa? Jika ada pilihan dia pun tak mau begitu.
Dia kupu-kupu, ya benar.
Apa? Kenapa? Jika ada pilihan dia pun malu.
Dia kupu-kupu, ya benar
Apa? Kenapa? Jangan pandang dia seperti debu bakaran "asu"

Putar otakmu, putar otakku. Mereka manusia, mereka sama seperti kita. Ulurkan tanganmu, ulurkan tanganku.
Bantu mereka, bantu kupu-kupu.
Mereka punyak hak untuk hidup baru

Bumi Hujan

Dear kekasihku Bumi,

 kalau sebuah awan bisa berjalan beririgan dengan angin tanpa harus menimbulkan petir. Kenapa hujan harus hancur untuk menyetuh bumi?. Saat aku mencintai bumi, artinya aku membiarkan diriku hancur menghantamnya, pecah membelah dan menyerap di dalamnya, memberikan dia beribu tahun kehidupan baru dan menghabiskan hidupku dalam satu waktu tuk mencintainya.
 Aku bahagia menjadi hujan yang membasahi kekeringan tanah bumi ku, Aku bahagia menjadi hujan yang memberinya minum saat matahari mencakar-cakar tubuhnya, Aku bahagia menjadi hujan dan menghancurkan diriku hanya dalam satu waktu untuk mencintai bumi. Kamu bumiku!

Rabu, 30 Oktober 2013

Pojok Sepi

Tuhan.. Mencintai terkadang sebuah kesalahan. Mungkin aku si lumpuh ini hambatan untuk dia berjalan, mungkin aku si bisu ini tak punya mulut dengan kata-kata yang menenangkan. Tapi aku bisa mendengar,melihat, merasa. Berdoa untukmu dari dalam.

Minggu, 27 Oktober 2013

Badut Taman Kota


" Dini hari ditemukan lelaki terkapar tak bernyawa. Tubuhnya disorot para pencari berita. Di tangannya terpatri tatto bentuk hati tepat di urat nadi " . Mati!
 Pasar malam belakang taman kota, seorang badut kehilangan harga dirinya. Ingin menangis, tapi uang membayarnya sebagai mesin penghasil gelak tawa.
 Kembali ke setengah jam silam. Dandanan tebal sembunyi wajah, aroma gulali, balon warna warni dan musik berisik, tapi justru matanya yang terusik. Pendengarannya serasa mati, badut itu sedang menghibur sepasang kekasih. Tawa sekitar pelan-pelan meredup, mata si badut panas berkedut, tulang-tulangnya gemetar. Rindu dalam dadanya mendekap maju. Dia ingat wanita pujaannya, kesayangannya. Taman hiburan terasa semakin kaku. Bisu!. Sepasang kekasih tadi masih asyik sibuk bermain rasa, digenggam mesra. Kontras!
 Mereka berlalu, badut duduk di kursi taman. Membuka ulang kotak masuk pesan di handphonenya. Tertera pesan dari kekasih hatinya, pacar pertamanya.

*Ibu* "Nak, sesudah belajar kelompok langsung pulang. Lalui jalan yang ramai. Ibu antar risoles dulu ke taman kota buat arisan bu Ratna , cari tambahan buat obat bapak. Mungkin agak sedikit malam pulangnya, hati-hati".

•Badut taman kota wajahmu dipenuhi topeng bahagia penutup duka.
•Badut taman kota kau penghasil tawa, menghibur mereka lepas dari lara.
•Badut taman kota, kemiskinan buat cerita ini tanpa perlu rekayasa tentang kesakitan hatimu tiada tara.
•Lalu siapa yang menghibur nanti saat duka dan harga dirimu yang dimatikan paksa?
•Akhirnya kau memilih menatto tanganmu dengan bentuk hati terpatri di urat nadi.

Jumat, 25 Oktober 2013

Menunggu

 Sebut saja dia gadis tanpa nama, karena sampai hari ini aku memang tidak pernah tau siapa namanya.
 Aku selalu bertemu dia di taman dekat sekolah, entah dia bersekolah di sekolah yang sama denganku, entah dari sekolah lain disekitar sini. Dia selalu terlihat mengunakan rok abu-abu dengan atasan yang terbalut jaket. Sampai hari ini aku tidak pernah tau siapa namanya, dan apa yang membuatnya menunggu ditaman itu. Yang aku tau wajahnya cukup manis, hanya dia tak pernah tersenyum sekalipun pada apapun yang melintas di hadapannya, seakan waktu berputar diantara peraduan otaknya. Dia hanya duduk berjam-jam, makan sesuatu dari kotak yang dia bawa, menyuap pelan. Terkadang mengerikan, tp sering buat aku penasaran. Dengan dia yang demikian. Sering kali aku ingin menyapa untuk sekedar bertukar nama. Tapi tidak, dia benar-benar seperti tidak perduli akan sekitar. Sibuk dengan entah apa didalam ingatan.
 Aku sempat berpikir dia ini gadis patah hati yang sedang menikmati sakit seakan cerita FTV remaja, tapi adakala nya aku pun dapat merasakan "larut" dalam pikirannya. Kenangan! Mungkin itu yang sedang ia nikmati, awalnya aku kira hanya beberapa hari dia begini. Tapi setelah aku sadari. Dia cukup serius bermain ingatan, hampir 1 bulan dia duduk disini, pulang, pergi dan datang kemari lagi.
 Entah bodoh atau apa, rasa penasaran ku membuat aku mengikutinya. Duduk disalah satu kursi taman itu, tidak dekat. Tapi cukup untuk melihat apa yang dikerjakannya. Ah..wajahnya datar, tapi jelas ada kesedihan yang dalam, tapi sering kali juga kudapati dia tersenyum tanpa beban. semakin membuatku berkelebat dengan tanda tanya, ada apa dengannya.

 Hari ini di jam yang sama, pukul 15.00 wib. Sepulang sekolah ku dapati lagi gadis itu duduk manis di kursi-kursi taman. Sore ini langit mendung, tampak akan turun hujan. Tapi aku tau dia tidak akan pergi meninggalkan tempat ini sebelum senja hilang. Ya.. dia memang tidak akan kebasahan, kursi-kursi taman ini memiliki atap. Bisa dikatakan mirip dengan halte pemberhentian, iya benar.. Pemberhentian kenangan untuk gadis tanpa nama.
 Aku ragu antara memilih pergi atau tetap ikut menunggu dengannya, ikut larut dalam entah apa antara kami. Akhirnya aku memilih tetap disini, bermain dengan ketidak jelasan penantian. Setengah jam dari aku ikut menunggu, hujan benar turun. Sedikit membasahiku. Tapi ada rasa yang aneh juga dalam diri, apa mungkin aku sudah benar-benar terbawa melodi. Aku teringat beberapa kenangan, dan kembali ku buang. Aku sedikit tau, salah satu yang membuatnya betah disini adalah memori yang terputar lagi.
Hari ini perjuanganku sedikit membuahkan hasil, gadis tanpa nama menoleh ke arahku. Kali ini dia seakan tau, aku duduk disini ini mencari tau. Jelas, aku ikut menunggu hujan dan tak pergi tadi saat mendung datang.
 Dia melihatku, tidak aneh. Itu anehnya kenapa dia tidak merasa aneh melihat orang duduk di taman berhari-hari, berjam-jam. Sedangkan buatku dia aneh. Aku bingung, antara ingin mulai pembicaraan atau tetap diam, sampai kapan?. Akhirnya aku mencoba, melambaikan tangan untuknya "hai.. Kamu. Boleh aku duduk disitu? Atap tempatku bocor. Aku sedikit kebasahan" kataku jujur. Dia membalas dengan gerakan tangan seperti memanggilku kesana, kata-kata ku memang jujur, tapi sedikit bodoh. Jika menunggu dibawah atap kursi aku kebasahan, menyebrang tempatnya pun demikian. Semoga dia tidak sadar.
 Aku berlari, mendatangi gadis itu. Sesampai disana aku langsung mengusap-usap tubuhku. Sedikit dingin!. "Hai aku Ruuni" ku ulurkan tanganku, dia mengulurkan tangannya sebagai jawaban sambil tersenyum. "Sedang apa menunggu apa" katanya lagi. Demi tuhan apa dia tak sadar pertanyaan itu lebih pantas jika ku todong padanya. Aku harus jawab apa. Aku tak tau apa yang harus kukatakan

. " Enggak..cuma suka duduk disini " kataku tanpa berpikir.

" Kamu sendiri? "

" Menunggu "

 Hanya itu yang terucapnya. Aku ingin bertanya lebih tapi takut menganggunya yang sedang sibuk dengan menunggu yang tak ku tau. Aku memilih diam dan tersenyum, tanpa menlanjutkan pembicaraan. Dalam hati sekantong tanya merekah lagi, apa yang ia tunggu?.
 Pukul 16.30 wib sudah 1 jam aku duduk bersebelahan dengan gadis tanpa nama. Dengan pembicaraan yang terhenti 60 menit lalu juga, seadaanya. Aku memulai lagi,

" Kamu sekolah disini juga? "

" Enggak... aku sekolah ditempat lain "

" Aku sering lihat kamu kemari, menunggu apa? "

"Sudah lama ya? Kamu mau tanya itu hahahaha"

Dia ternyata tidak semengerikan dugaanku, dia bisa tertawa. Membuat aku sedikit tenang dan ikut tertawa juga. Sampai akhirnya dia melanjutkan kata-katanya.

" Aku menunggu, hanya menunggu. Hujan datang, senja hilang, mengabadikan kenangan, mengulang, setelah gelap aku pulang. Suatu hari dia datang dan aku masih menunggu, aku menunggu. Dulu dia memangku ku disini, mungkin dia lupa aku gadis yang sama. Jadi aku disini sebagai pengingatnya, aku masih mau makan di taman, aku tidak suka tidur siang dengan segala kebosanan "

" Dia? " Tanyaku dalam hati, belum sempat aku menanyakannya dia sudah dulu bicara.

" Aku pulang dulu, sampai bertemu besok lagi "

" Iya, hati-hati. Aku juga kembali "

 Pembicaraanku terpotong disana, Sudah waktunya kami pulang, dalam perjalanan aku terdiam panjang, pertanyaan yang mengantung sama seperti jawabann. Sekantong tanya  tak sempatku keluarkan. Mungkin lain waktu, setelah kami lebih akrab. Tentu!


•Senja hilang, aku kembali pulang
•Petang datang, aku kembali hilang
•Aku ini apa sayang?
•Alang-alang tanpa bayang, Kesepian menggerayang.

              •BERSAMBUNG•


Malam yang kesal


 Aku marah bukan tanpa alasan, tapi untuk sebuah tamparan yang berkali-kali "ibu" berikan. Aku lelah jadi boneka. Aku lelah harus jadi barang rekayasa, pakai ini pakai itu. Aku ingin pakai yang kumiliki, jadi dan berdiri dengan tangan sendiri. Harga aku si cacat ini!
 Apa aku terlihat manja? Apa aku terlihat seperti gadis-gadis boneka yang menyebalkan di etalase mall? Aku tidak!. Aku memilih dengan buku-buku dan sketsa-sketsa gaun-gaunku. Aku memilih menjahit dan mengambar pola-pola baju. Aku bekerja walau sudah kau cukupi apa saja, aku bekerja untuk tau rasa seberapa susah kau!. Tapi? Kau lakukan apa? Memaksaku tanpa mau tau aku, tanpa tau bebanku, merasa aku bahagia tanpa ada waktu mengurusiku? Merasa aku bahagia tanpa tau rasanya jadi aku,

Ada waktu untuk sisir rambutku ibu? Tentu tidak pekerjaanmu menunggu :)

Kamis, 24 Oktober 2013

Pluviophile

Merasakan ketenangan saat rintik menyentuh setiap jengkal pori. Hujan itu ajaib melipat gandakan kebahagiaan dan menernak kesedihan. Kita dalam meresap di keduanya, sedih dan bahagia yang disesap bersamaan. :)

Pojok Sepi

siang

"Plaaakkk"

Kenapa? Kamu mau nya apa?

"Aku bosan, kan sudah aku bilang"

Seorang gadis sesegukan, sepi menampar ganas wajahnya. Kebosanan penantian mulai menganggu, tapi hati terpaku. Kembali memutuskan menunggu.

Rabu, 23 Oktober 2013

Negeri Seribu Mati

 Selamat pagi negeri seribu mati, jarang terlihat pelagi disini, Seringnya polisi berpangkat kecil ditembaki, Aktivis HAM yang diracuni dan juga tentang pengingat sejarah yang dipukuli. Disini juga ada kisah bunda putri yang lebih di tanggapi petinggi dari pada mengurus kami, anak pertiwi.
 Setiap pagi kami tidak cuma hirup asap polusi tapi juga asap korupsi. "masih butuh perumpamaan ternyata kita memang belum merdeka hanya puisi yang membebaskan diri, seolah ibu pertiwi masih tanah suci yang dimakan rakyat sendiri bukan ekspor-impor sana sini?"

 Wiji thukul pun habis sudah kiasan, anak istri di introgasi setelah lihat namanya di tv.
"Waktu aku jadi buronan politik
karena bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik
namaku diumumkan di koran-koran
rumahku digrebek --biniku diteror
dipanggil Koramil diinterogasi diintimidasi
(anakku --4 th-- melihatnya!)
masihkah kau membutuhkan perumpamaan
untuk mengatakan: AKU TIDAK MERDEKA" - Wiji thukul.


 Sempurna bumi kami saat ini, sempurna untuk tempat bunuh diri, mati sendiri, atau dibunuh tanpa bukti. Sempurna untuk menahan lapar dan makan nasi basi. Juga sempurna untuk minum limbah industri.

Tidak Ada Judul Untuk Ini

  Aku begitu tersipu, dalam semua doa hati ini tersenyum malu-malu, Tuan. Aku ingin menyapamu. Dengar? Kau dengar sapaan ku? Tadi dalam sujud itu aku menyapamu, pada Tuhanku, aku mengadu betapa hati ini tak boleh menyebut kata rindu. Aku menyapamu lewat tulisan kalbu, aksara yang kau pikir debu. Tak terlihat di matamu aku menahan amarah yang begitu besar. Sangat besar luar biasa besar pada jarak yang membelenggu. Tak tahan ingin aku berteriak rindu, tak bisa. Hati menahan, tak perlu ucapkan kata itu untuk kau tau. Cukup rasakan bagaimana bahu ini mencoba bersandar, bagaimana tulang-tulang ini menunggu gemetar, mencari kepastian cerita aku dan kau. Ntah dimana ,jalan-jalan yang tertapak dulu. Aku melewatinya tapi semua tak tampak sama?. Mengapa tanpamu dunia rasanya berbeda?. Ada apa dengan mata ku?. Ada apa dengan aku. Aku menunggu di tempat yang ku sebut pojok sepi, disana ku lukis wajahmu dengan tinta yang ku campur air mata hati, siapapun tak mau melihatnya. Lukisan itu terlalu hadirkan duka. Bagaimana setiap hari ku aduk kopi untukmu dan ku sedu sendiri, seakan kau yang menghabiskan seperti dulu, bagaimana untuk menjaga semua mawar yang kau beri dan dirimu pergi saat ini tak disisi, menuntut ilmu menambah isi.
 Kau tau bagaimana aku menahan untuk tidak menangis saat kau menelpon ku setiap bagun pagi atau tidur malam hari?. Bagaimana aku buang semua bantal dan kasur dari kamar ini?. Ruang batu kosong, hampa.
  Tak ada kau tak ada aku. Seperti itu yang ku rasa, ntah naif atau terlalu jatuh cinta. Aku selalu berduka saat kau tak ada, hari dan senyum ku seperti nya tercipta hanya untuk menyambut bahu dan tubuh mu yang ku cinta, Aku tak bisa
 berkata. Aku diam-diam cerita pada temanku, malam. Asap kopi dan rokok beradu satu dalam paru-paru si gadis yang menangis bisu, menatap televisi tanpa suara. Mulut saja yang bergerak tak terdengar apapun, seakan semua kata ikut tertelan dalam kesedihan yang melandaku. Aku rapuh sangat luar biasa rapuh!
 Cita-cita kita yang terlalu tinggi membuat kita saat ini harus saling sendiri, tuhan amini hubungan kami, (Ku mohon).

23 oktober 2013


  • Semakin malam semakin larut
  • di dadaku pelan-pelan berdenyut
  • Ada sesuatu yang terlalu terpaut
  • Rindu ini yang entah kapan tersambut


Aku rindu kau menemaniku, pagi, siang, petang, malam. Memeluk ringkih tubuh yang tertatih, semakin larut semakin aku membaut, semua penantian termetamorfosa romansa kalut. Lagu bermelankoli dengan sepi-sepi. Seakan hari esok tak ada lagi, dan lirik ini berakhir dengan "aku rindu bersandar padamu. Seperti semua waktu yang kumiliki dulu".

NO RAIN NO RAINBOW

... No Rain
... No Rainbow
 Tanpa hujan tak ada pelangi. Tanpa sulit, kau tak tau rasanya mudah. Tanpa sahabat? (Jangan bayangkan itu), Kau tau punya apapun, tak punya pahit tak punya manis, mengerikan!. Hujan sangat menyayangi pelangi, dia rela menangis hanya untuk dapat melihatnya melukis lazuardi.

... No Rain
... No Rainbow
 Setelah aku berhenti, pelangi adalah ganti. Menenangkan hati-hati yang sedang menikmati melankoli. Tanah basah, rumput basah, garis warna-warni dan secangkir kopi.Indah!
 
... No rain
... No Rainbow
 Setelah aku berhenti dunia ku mohon jangan menangis lagi, ku tinggalkan pelangi, jadikan warna dalam puisi. Aku mencintainya dan rela mati. Abadikan kisahku dalam bait-bait hati.

... No rain
... No rainbow
 Hujan dan pelangi sahabat tanpa batas hati, tanpa batas hari. Seberapa jauh aku pergi semakin dekat aku kembali.