Jumat, 29 November 2013

Simpang Tanpa Hilang

 "Akan sangat menyedihkan saat kau harus memilih satu dan kehilangan satu. Bagaimana jika tak ada satupun yang hilang? Bisa? Atau bagaimana jika aku memilih aku saja yang hilang Tuhan. Tapi kenyataannya kita tak pernah memilih satu untuk kehilangan satu. Saat ini kita memilih untuk menyelesaikan dan mendapat sama tanpa jarak dan waktu yang menganggu. Persimpangan ini adalah titik awal cita-cinta untuk bahagia besar yang lebih nyata. Setelah itu kembali bersama. Rengkuh tak akan lagi ada lepas dari tanganku."

 Pernah berada di persimpangan yang mengharuskanmu berjalan tak bergandengan?. Bukan karena berpisah tapi karena lorong-lorong yang di laluinya begitu kecil, sangat sempit. Pernah berada dalam pilihan, harus memilih satu walau untuk sementara waktu?. Persimpangan adalah hal yang tak ingin kita temui saat kita tersesat dan tak tau arah. Tapi aku tau, kami tau arah saat memilih bersimpangan saat ini. Aku tau ini sementara waktu. Untuk semua cita-cinta yang akan dimatangkan dulu. Mengejar massa depan, lakukan yang bisa dilakukan. Dan tak bersimpang kembali kemudian hari.

 Awal persimpangan ini cukup berat, rasanya hari sebelum kita pergi. Aku tak ingi bergerak atau apapun dari sana, ingin tidur manja di pelukanmu. Membiarkan waktu gelap lagi, membiarkan matahari tenggelam dan aku tidur dalam pelukan itu tanpa habis. Lalu kita tetap memutuskan pergi sementara, aku ingin melihat langkahmu. Jadi aku putuskan untuk aku yang mengantarmu lebih dulu. Terminal Leuwi panjang, pukul 1 siang. Setelah kita mengulur waktu, dan pesawatku yang terancam hilang. Iya sebelum sampai ketempat mengantarmu, kita berdua sama-sama mengulur waktu. " Seakan jangan, jangan pergi dulu " nyatanya aku dan kamu tak pernah jauh. Setela kita disana, kamu mencari kendaraan yang bisa membawa tubuhmu ketujuan, tak ada satupun awalnya. Dan tetiba ada 1 yang meneriakimu. Masuklah tapi langsung jalan. Entah kekacauan apa di hatiku, mengantarkanmu dan kamu harus langsung hilang di dalam besi besar itu. Jelas aku tidak biasa. Kau memelukku, setelah aku mencium punggung tangan kuat itu, punggung tangan yang merengkuh tubuh ini. Menopang lemah-lemahku, sayang kau yang terhebat. Kau berlari kencang seakan mengejar massa depan, berlari lebih kencang dan hilang di dalamnya. Aku tau kau melihatku menangis dari kaca jendela penuh debu, aku tau kau tak sanggup melangkah saat itu. Begitupun aku!

 Aku kembali ke taxi dengan gamang meminta bapak supir mengantarkanku kebandara. Sepanjang jalan kuperhatikan semua, semuanya. Aku akan merindukan semuanya. Tapi kami akan kembali dan menua disini. Semua jalan kota ini adalah saksi 2 pasang kaki saling mengawasi diri, 2 pasang kaki berjalan hati-hati untuk saling melindungi. Aku tiba di bandara, masuk kedalam setelah mengurus semuanya dan duduk manis diruang tunggu. Tuhan bisa kembalikan waktu ke 3 jam lalu. Bisa batalkan semuanya, biar saja kami begini asal bersama. Itu isi doaku!. Tiba saatnya aku yang terbang, pergi dari tempat yang menjaga kami. Gamang!

 Persimpangan ini memang bukan perpisahan, aku tau. Tak ada niat kita saling melepaskan. Aku tau. Namun aku? Terlalu lemah untuk terbiasa tanpamu. Aku tau ini semua untuk bahagia kita nanti yang lebih tenang, tanpa berpikir harus apa dan harus apa. Tanpa bertingkai kehabisan rupiah dan bingung mendiamkan perut. Aku tau ini harus di lewati untuk sesuatu yang lebih, aku selalu menangis saat ingin memulai tidur. Mengingat lengan dan dada bidangmu, harum khas tubuhmu dan usapan-usapan lembut di kepalaku. Aku begitu rindu. Kita akan kembali, sebentar lagi. Saat semua terkumpul, dan menua dengan bahagia. Kita akan kembali merona untuk semua kisah yang tak ada celah tak ada pisah, aku ingin mati dalam genggamanmu. Mengkerut dan tua didalam rumah kayu. Setiap malam berdoa dengan tangan-tangan renta untuk terbangun dan tetap masih bersama. Aku ingin menua, setelah semua jarak ini kita habisi. Aku ingin bersamamu lagi, dan kita harus kuat hadapi saat ini. Apapun, kita sudah lalui. Dan ini adalah ujian ke sekian dan pasti kita sudah biasa melingkari jawaban-jawaban dengan pola meski tak sama. Tak ada apapun, tak ada pisah hanya batas jarak waktu. Langitmu dan aku masih satu. Tak ada apapun yang tak terhadapi, jika itu masih bersamamu. Jika hatimu masih selalu menegaskan aku milikmu. Tak ada satu pun yang harus bersimpang tanpa kembali.

Rabu, 27 November 2013

Tubuh-Tubuh Puisi yang Patah

Tubuh-tubuh puisiku patah
Saat marahmu tumpah
Wajahku memerah
Menahan malu yang ada dikepala.

Mungkin mencintai dengan ketulusan adalah sesuatu yang berlebihan.
Tapi kataku cinta memang tidak pernah tau perhitungan
Dia tidak paham matematika atau ekonomi dan semacamnya
Yang dia tau mencintaimu tanpa jeda tanpa celah.

Lalu tubuh-tubuh puisiku patah
Saat hinaan meruah
Hatiku pedih tak lagi tau nasehat petuah

Tuhan sakit
Sakit sekali Tuhan
Lalu apa dan bagaimana aku bertahan
Telinga ini masih saja tetap mendengar
Sakit iya sakit
Membekas teramat dalam
Teramat sangat
Diam pun ikut-ikutan menyengat
Mataku kembali hangat
Tangisan pada tubuh-tubuh puisi lagi-lagi patah

Selasa, 26 November 2013

Batas

" Untuk semua kisah terlarangku, aku mencintaimu walau tak pernah menemukan garis restu itu "
    
                          

*Soleluna, Bandung*
27 okt 2013, 17.00wib
  

" Ann.. Aku, hmmm aku... Aku masih sayang sama kamu, aku mau kita balikan kayak dulu "

 Rendy mengungkapkan perasaannya pada Ann. Ann masih diam, sudah yang ke 7 dalam bulan ini Rendy kembali menyatakan isi hatinya ingin kembali pada cinta mereka dulu. Entah harus menjelaskan berapa kali lagi agar lelaki itu bisa mengerti.

" Aku gak bisa Ren, aku gak bisa. Berapa kali lagi aku harus menolak dan mengatakan hal yang sama?."

"Kenapa? Kenapa ga di coba? Kita bisa, aku mohon terima aku lagi".

 Dalam hati Aan sedikit luluh. Tapi bagaimanapun mereka sudah tidak mungkin kembali seperti dulu.

" Rendy, dengar baik-baik. Aku sudah menikah, jadi ini tidak mungkin. Aku tidak bisa memulai lagi. Aku tidak bisa kembali, kita tidak bisa kembali".



*Dago pakar, Bandung*
28 okt 2013, 07.30wib                        

 "Tok...tok" ketukan pintu terdengar. Ann membuka pintu rumahnya. Rendy!

 "Andra, aku cinta sama kamu. Aku tau kita bisa kembali dari pada kehilangan kamu aku lebih baik mati." Ucapan rendy di akhiri dengan tembakan di kepalanya sendiri.




Senin, 25 November 2013

Efek Rumah Kaca - DESEMBER


Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi
Dibalik awan hitam
Smoga ada yang menerangi sisi gelap ini,
Menanti..
Seperti pelangi setia menunggu hujan reda

Aku selalu suka sehabis hujan dibulan desember,
Di bulan desember

Sampai nanti ketika hujan tak lagi
Meneteskan duka meretas luka
Sampai hujan memulihkan luka

Tentang Luka

Lalu pada siapa sepi-sepiku mengadu
Saat kamu tak lagi ingin mendengarkan ku
Lalu pada siapa kata-kataku berteduh
Saat itu sudah mulai menjenuhkan mu

" Terkadang ada orang yang lebih mendengarkanmu. Dari pada orang yang kau harap mendengarkan mu "

Lalu pada tangisan yang seperti apa lagi aku meraung
Apa harus mengemis dulu untuk memasukan suaraku sampai ke telingamu?
Atau harus nadiku teriris agar kamu paham bagaimana sakitnya di telantarkan saat banyak tangan ingin melindungimu?
Aku dengan semua marahku yang tersimpan
Dan kamu dengan semua ketidak perdulianmu yang terus begitu

Harusnya kamu sadar bagaimana hati ini penuh untuk memuja satu nama dibawah Tuhan dan orangtua ku
Tapi kamu beku, seperti es yang membuat setiap jengkal otakku kaku.

Tamparan itu di hatiku, sayang.
Sakitnya disini
Mana bisa kau lihat
Jika luka mungkin bisa kau obati
Tapi hati yang sembuh bentuknya tetap tak pernah sama lagi

Ibu Guru

" Bersiap... Beri salam... Selamat hari guru, Bu. " Teriak kami serempak lalu menghambur, mencium punggung tangan yang penuh kerut itu. Berapa lama punggung tanganmu tak kucium batinku.

 Mata Bu Leni berkaca-kaca saat salam itu kami ucapkan di depan rumahnya. Dia guruku, guru tertua di sekolahku dulu. Oh Ibu, pengabdianmu tak sepadan dengan penghargaan yang kau dapat. Istilah pahlawan tanpa tanda jasa melekat erat pada tubuh-tubuh tua milikmu.

 Beliau sudah pensiun, tapi masih sering datang ke sekolah untuk mengajar, masih juga membuka les sore di rumahnya. Bagaimanapun mendidik sudah jadi jiwa untuk raga tuanya, tak berbagi ilmu sehari seperti tak makan katanya. Tawa lepas siang ini memang terlihat seakan tanpa beban, tapi pundak-pundak lemah yang membungkuk itu bukti betapa berat beban yang dipikulnya selama ini.

 Masuk kedalam rumahnya, kami mendapati papan tulis dan sekotak kapur tulis, tumpukan buku, jam tua, kursi usang dan televisi yang entah masih berfungsi atau tidak. Hanya ada satu kamar, satu kamar mandi dan sebuah dapur sempit.
" Kami memasak makanan kesukaan ibu. ", kataku riang. Kaca-kaca di matanya kembali mengulang.Ibu aku tau, ibu sedang tidak begitu baik. Ada perasaan bergejolak yang tersembunyi di linang-linang mata kaca tua itu.

 Ibu mengapa kau begini, hidup di gang sempit dengan rumah kredit yang belum lunas.

" Bapak sudah pergi dulu, kalau ada bapak ibu mungkin tidak begini."

Itu katamu masih dengan senyum dan keiklasan yang sama, entah apa yang membuatmu menjawab hal itu setelah untaian tanya hatiku tentang keadaannya. Mungkin ibu membaca tanda tanya dalam tatap-tatap mata kami.

 Ibu guruku punya rumah, rumah yang dikuasai anaknya. Rumah hasil jerih payahnya dulu dengan almarhum suaminya, rumah tempat dia membesarkan putri dan putranya. Dia memang diperbolehkan tinggal disana, tapi lebih memilih hidup sendiri tanpa mau merepotkan anak-anaknya. Entah sikap apa yang ditunjukan putrinya sehingga ibu lebih memilih sendiri memikul lelah-letihnya yang masih belum juga berhenti.

" Ibu sudah tua, apa tidak kesepian sendiri begini? " tanya salah satu temanku.

" Datanglah sesekali kemari, agar ibu tidak sepi. "

Tuhan, hatiku begitu nyeri mendengar jawaban yang terlontar, tertelan pahit begini. Betapa kami anak-anak didiknya ini tidak tau balas budi, sampai ia harus meminta kedatangan kami. Betapa tidak kami sadari bagaimana pahlawan ini hidup dalam sepi. Permintaan kecil yang menusuk hati. Siang ini langit haru mendengar pintamu. Mendung dan hujan pun seakan menangisi kesepian-kesepianmu, Ibu guruku.

 Sebelum kembali salah satu temanku mendadak menyanyikan lagu ini, kami mengikuti


"Terima kasihku, ku ucapkan
Pada guruku yang tulus
Ilmu yang berguna
Slalu di limpahkan
Untuk bekalku nanti

Setiap hariku di bimbingnya
Agar tumbuhlah bakatku
Kan ku ingat slalu nasihat guruku
Trima kasihku ucapkan"


Tangis ibu tumpah, kami pun ikut ruah.

" Selamat Hari Guru Nasional. Pahlawan tanpa tanda jasa. Tanpa guru kami masih buta, engkau lilin penerang dunia yang terlupa "


Sabtu, 23 November 2013

Sembunyi Sayang

Lalu aku bingung untuk melangkah
Meniup-niup lilin yang mana lagi
Bukan untuk matikan kisah
Tapi untuk lebih gelapkan
Malam lebih gelap lagi.
Agar jarak dan waktu tak mencurimu kembali dari sini

Sembunyi sayang, sembunyilah didalam
Jangan keluar, aku tak mau kau dicuri lagi walau sebentar
Disini sayang, masuklah kemari
Nikmati saja jangan pergi lagi

Lilin

Malam ini, aku mencintaimu beratus ribu kali lagi. Entah berapa banyak dalam satu hari kau mampu membuatku jatuh cinta berulang-ulang tanpa henti. Entah bagaimana menyiratkan kesempurnaan malam-malam denganmu. Ingatan tak pernah kosong, kau selalu mampu membawaku jatuh dalam suasana seakan aku wanita satu-satunya di dunia yang harus diperlakukan seperti ini. Seakan hanya aku yang terlahir sebagai wanita, dan satu-satunya hal yang harus kau jaga. Mencintaimu tidak mudah, tapi jatuh cinta padamu bukan hal yang susah. Aku harus melawan wanita-wanita yang coba-coba mendapatkan lilin dalam gelapnya makan malam. Iya, kau indah, mewah namun sederhana. Kau lilin, aku mencintaimu dalam gelap-gelap malamku. Cahaya datang pun kau tak pernah bisa ku hilangkan. Lalu entah bagaimana lagi caraku memujamu Lelaki? Kau terlalu mampu memabukanku sebagai dewi. Kau lilin, mewah namun sederhana. Gelapku indah, kau lilin. Aku mencintaimu, tak hanya pada makan malam dan hujan ini. Tapi aku mencintaimu sampai malam kembali mengulang-ulang pagi.



Aku mencintaimu R.S

Jumat, 22 November 2013

Tak Berkolerasi

Lalu tiba hari dimana hujan tak dingin lagi. Hari dimana pelukan tak pernah kita sudahi. Mencintaimu adalah satu dari tidak banyak hal yang hatiku Amin-i

Bagaimana ketulusan menjadi tiang-tiang penyanggahnya. Bagaimana tangisan jadi nada dalam tiap doa-doa. Bagaimana daun-daun pada pohon dijalan yang kita lewati berubah warna
Dan bunga-bunga rindu tanganmu memetiknya.

Aku tak perduli seberapa sulit jalan yang kulalui
Bersamamu adalah hal yang selalu mudah dilewati. Entah berenang dalam api atau tenggelam dalam batu-batu es beku, aku tak pernah tau tepi. logika dan hati yang selalu tak berkolerasi. Seperti itu aku mematikan logika saat mencintaimu.

Kamis, 21 November 2013

Ambigu

Langit mendung, kenapa?
Apa ada tangis nanti yang tumpah tak terbendung.
Apa ada kesedihan yang disimpan dalam diam?
Ada hati yang sakit tak tertahan?

Langit mendung, kenapa?
Coba cerita, keluarkan luka
Tak bisa?

Langit mendung kenapa?
Warnamu kelabu, aku lebih suka jingga pada burat senja ungu
Saat mendung kau terlihat dungu

Jika hujan, hujanlah
Jika tumpah, tumpahlah
Jika biru, birulah
Jangan begini, jangan kelabu
Aku muak dengan ambigu.

Lampu Malam

" Lampu-lampu malam; adalah salah satu hal yang juga aku sukai setelah kamu dan hujan. Mata ini selalu manja melihat warna-warna pedar yang membaur kecil-kecil, sesekali mencoba-coba menghitung berapa banyak lampu-lampu kota yang menyebar. Dari lampu-lampu ini tenang memang sangat sederhana, hanya banyak yang tak tau caranya. Lampu-lampu malam pun mengajarkan aku sadar untuk beberapa hal. Iya! " 
 
 Aku terbiasa keluar malam hari, menyetir sendirian hanya untuk menenangkan hati. Menikmati udara dingin malam, tidak dengan buka jendela (cukup berbahaya). Karena malam akan tetap dingin tanpa harus tertepa angin. Dingin dengan sunyi yang kau lewati, sendiri. Kemacetan menghilang, orang-orang satu-satu di jalanan, entah kenapa kesedihan terkesan lebih tajam saat malam datang. 
 
 Lampu-lampu malam ini ramai, tapi mereka memberi kesan kesepian. Seperti ditengah ramai pun tetap suara itu tak ada, berbicara jadi hal yang percuma. Seakan mengatakan orang-orang hanya punya mata tanpa telinga. Kurasa itu monolognya. Iya, seperti kata lampu sekarang manusia memang begitu, ya?. Punya mata melihat kesedihan, kesakitan, penderitaan sesama tapi menutup telinga dari 'permintaan tolong' dan 'tangisan-tangisan berharapan kosong', malah ada yang lebih tega memberi janji yang sama kosong dan dari awal sudah berniat dengan kesadaran penuh untuk tidak menepatinya. Ada juga beberapa manusia merasa dirinya sendiri adalah sesuatu yang lebih pantas kenyang dari pada mereka yang mencari makan sampai harus berjalan kayang. Mati-matian maksudku. 
 
 Lampu malam yang sepi tau? ada bagian kecil hati yang kadang teriris pada tanya yang di lontarkan sendiri, bagaimana nanti? Apa hidup kedepan akan semakin lebih sulit dari ini, bukan sulit yang sejujurnya harus takut kita hadapi. Tapi takut kesibukan dunia membuat kita ikut buta hati. Takut sibuk mencari kenyang sendiri. Tanpa sempat berpikir dan menikmati pikiran yang akur dengan perasaan seperti ini, iya mengunakan hati atau sebutlah saja sedikit keperdulian, bolehlah.
  
 Ada hal yang mungkin beberapa kita tidak sadari, saat dititip tangan oleh Tuhan, bukannya dia menjadikan 'memberi' sebagai salah satu tugas yang harus kita lakoni?. Tapi seringnya hanya berbagi pada saat lebih. Lalu memberi pada saat cukup, bukan pada saat dibutuhkan. Berjabat kita pada satu yang sulit untuk sama-sama merasakan sakit agar pantas menyandang sebutan 'manusia'. Jangan tulikan mata, butakan telinga. Jangan ubah semua pemberian tidak pada harusnya, jangan ubah fungsi mata dan telinga. Mata tetap untuk melihat, telinga tetap untuk mendengar, jangan buta dan tulikan mereka. Jangan mau jadi bagian yang ikut bersikap apatis pada kehidupan dan sekelilingnya. Akan sakit jika tuhan membalas apatis, bagaimana kalau dia mulai menghitung-hitung nafas? Mati kita. Harusnya kita takut pada kelebihan, karena disana waktu Tuhan menguji kemampuan matematika kita. Bisakah berhitung seperti dia? Atau serakah untuk sendawa-sendawa kenyang perut kita.




" Kemenangan, kekenyangan, kenyamanan yang harusnya bukan milikmu (sendiri) itu menyakitkan jika kau mulai belajar mengunakan perasaan. Berbagi adalah cara merayu Tuhan untuk tak bosan memberimu lagi".

Selasa, 19 November 2013

" Tua Dalam Cermin "

 ASING. Perempuan itu asing di mataku. Bagaimana bisa dia begitu menghafal gerak-gerikku? Siapa dia? Wanita tua dengan wajah penuh gurat-gurat luka; antara iba dan bingung. Aku benar-benar tak mengenalinya. Kulihat sekelilingku, ruangan begitu berdebu, tak biasanya ibu membiarkan rumah sekotor ini. Lalu aku kembali bertatapan dengan wanita tua tadi, mencoba menerka-nerka berapa banyak rambut putih yang merimbun di kepalanya. Ingin kutanyakan padanya tentang keberadaan orang tuaku, tapi mimik wajah tua itu sama bingungnya dengan wajahku. Mungkin lebih baik tak perlu kutanyakan, karena tak mungkin ada jawaban darinya yakinku.
 Lalu, aku punya pertanyaan lain; apakah perang telah usai? Peraduan otakku yang bingung kembali bertanya-tanya tanpa tahu kemana harus mencari jawaban. Kenapa tak lagi terdengar ledakan, tangisan dan suara senjata? Apakah perang sudah berhenti? Bukankah sebelum tertidur aku kesakitan? wajahku terkena serpihan granat salah lempar? Tapi setidaknya sekarang tak perih dan tak panas lagi. Pasti ibu yang mengobati.
 Ah, sepertinya aku tertidur terlalu lama, jadi? hanya aku dan wanita tua dalam cermin ini yang tersisa sebagai penanda perang usai. Baiklah hanya kami!

Kraaakk!!!

"Kraakkkkk"
Patah. Gadis kecil dengan hati yang patah. Keluar dari ruang tata usaha sekolah, "Teguran lagi".
 Ia berjalan kaki menuju tempat ibadah untuk berdoa.
Semoga ayah pulang. Uang sekolahku belum di bayar, hanya itu isi hatinya.
 Sesampai di mushalla, dikenakan mukena lusuhnya. Selesai shalat ia berdoa. "Ya allah mukena ini lusuh, tambalan di mana-mana, warna putihnya pun sudah tak ada, Tapi aku selalu berdoa padamu untuk hal-hal yang ku minta baru. Bolehkan?"

Senin, 18 November 2013

Untuk Lelaki (Milikku) Inisial R.S

Untuk mencintaimu aku suka membunuh logika ku.
Karena hatiku sudah benar menempatkan namamu di dalamnya.
Menjadikan peran utama dalam setiap doa.

Jumat, 15 November 2013

Toples Kunang-Kunang

Aku minta bintang
Kamu beri setoples kunang-kunang
Dia hiasi malam
Cukup terang untuk di pandang
mataku berlinang
Merindukanmu semua kenangan genang
Sayang peluk aku
Hapus jarak antara mata mu dan aku
Sayang peluk aku
Aku menunggu tak jemu-jemu

Aku kembali minta bintang
Tapi lagi-lagi kamu cuma punya setoples kunang-kunang
Aku terima
Aku tau itu rasa sayang

Sekarang aku berhenti minta bintang
Karena ternyata hati kamu lebih terang


Rabu, 13 November 2013

Daun Kehujanan

Daun kehujanan
Dia kedinginan
Dia kejatuhan
Dia lepas pegangan
Daun kehujanan dia menangis sesegukan
Dia bosan ditelantarkan
Dia rindu pelukan
Ranting patah
Dia jatuh
Dia terbang
Dia mengambang
Daun kehujanan
Besok hari kering
Warnamu menguning
Mati perlahan
Pelan-pelan
Daun kehujanan
Kemarin malam kedinginan

Petak Umpet Ayah

"...28,...29,...30. Pada hitungan ke 30, Aku mulai mencari ayah." "

 Aku menutup mata bersembunyi dibalik pohon sambil berhitung, ini giliranku jaga. Baiklah ayah sudah sembunyi, aku mencari. "Ayah!!" Teriakku di balik tembok belakang, Tidak ada disini. Aku kembali mencari, ku padangi rimbunan bunga yang bergerak. Baiklah, ayah pasti disana. Aku mengendap perlahan. "Ayah ketemu", tidak ada.

"Ayah ... Ayah... Dimana, hujan lelah. Hujan sudah cari ayah dimana-mana kenapa masih sembunyi"

 Aku terduduk sesaat berpikir kemana ayah, dimana ayah sembunyi sambil memandangi pohon mangga yang dulu kami tanami bersama, sudah besar.

"Ayah! Ayah dimana"

Handphoneku berbunyi

"hai sayang, apa kabar nak?. Maaf minggu ini ayah tidak bisa pulang, masih ada pekerjaan yang harus di selesaikan"

Diam, ayah tidak ada disini. Dia belum pulang.

Jumat, 01 November 2013

Panggil dia kupu-kupu

Panggil saja dia kupu-kupu
Siang dia mencari, malam dia coba memacari.
Bukan tanpa alasan atau kepuasan diri.
Tapi untuk perut-perut kosong anak-anaknya yang meminta nasi.

Panggil saja dia kupu-kupu
Lelah pun dia pasrah, tidak mengeluh dengan senyum bibir tanpa lesu.
Agar anak-anaknya bisa minum susu.

Panggil saja dia kupu-kupu
Tak jarang dia pulang membawa biru.
Bekas di dada, lengan atau bagian manapun.
Tak jarang!

Dia kupu-kupu, ya benar.
Apa? Kenapa? Jika ada pilihan dia pun tak mau begitu.
Dia kupu-kupu, ya benar.
Apa? Kenapa? Jika ada pilihan dia pun malu.
Dia kupu-kupu, ya benar
Apa? Kenapa? Jangan pandang dia seperti debu bakaran "asu"

Putar otakmu, putar otakku. Mereka manusia, mereka sama seperti kita. Ulurkan tanganmu, ulurkan tanganku.
Bantu mereka, bantu kupu-kupu.
Mereka punyak hak untuk hidup baru

Bumi Hujan

Dear kekasihku Bumi,

 kalau sebuah awan bisa berjalan beririgan dengan angin tanpa harus menimbulkan petir. Kenapa hujan harus hancur untuk menyetuh bumi?. Saat aku mencintai bumi, artinya aku membiarkan diriku hancur menghantamnya, pecah membelah dan menyerap di dalamnya, memberikan dia beribu tahun kehidupan baru dan menghabiskan hidupku dalam satu waktu tuk mencintainya.
 Aku bahagia menjadi hujan yang membasahi kekeringan tanah bumi ku, Aku bahagia menjadi hujan yang memberinya minum saat matahari mencakar-cakar tubuhnya, Aku bahagia menjadi hujan dan menghancurkan diriku hanya dalam satu waktu untuk mencintai bumi. Kamu bumiku!