Kamis, 31 Juli 2014

Dik MeL

Teruntuk kamu, seorang yang sudah aku anggap belahan diriku (bukan jiwa, untuk kamu aku ndak mau terlalu puitis) aku tahu saat ini kamu sedang mati rasa, tidak begitu sakit, dan sudah mulai terbiasa. Aku senang kamu mendengarku, dik mel. Tertawalah dik Mel, aku pun ngeli menulis tulisan ini. Tapi saat ini aku sedang ingin mengadu, lewat surat ini.

Aku sedang merasakan kebas. Tidak mati rasa tapi kebas. Kabar baiknya baru saja aku menangis. Tidak lama hanya sebentar. Dada kusesak, ada beberapa bagian yang terasa patah. Tidak tahu, di mana. Ada rasa sakit yang tiba-tiba berlipat ganda. Ada patah hati untuk hal yang kurahasiakan.

Aku membaca puisimu. Dan sialnya luka ini terbuka pada dadaku, aku marah. Maaf sebagai kakak yang tidak terlampau kuat menjagamu. Sehingga kamu harus mengulang sesuatu yang harusnya sudah kuwanti-wanti. Maaf kalau sakitmu menjadi. Tapi aku tahu, ini sudah sembuh. Ini sudah membaik, hanya sesal ini tumbuh kembali setelah membaca Diary digitalmu. Aku membayangkan senyum lebarmu terasa asin karena air matamu sendiri. Senyum anak gajah yang manis, semarah apapun sesakit apapun. Tetap jadi anak gajah yang tersenyum. Cepat (benar-benar) sembuh hatimu, dik Mel.


*brb ambil baskom*

Rabu, 30 Juli 2014

Mau Tidur Lagi

Aku duduk dengan secangkir kopi pahit di depanku. Dengan rasa yang tidak kalah pahit pula. Aku memandangi isi cangkirku, hitam kelam. Seperti rahasia yang di simpan dalam lorong-lorong gelap panjang. Seperti kau, yang sedang menutupi banyak hal.

Aku mencoba menenangkan getar-getirku. Mencoba menganggap ini bukan apa-apa. Kenyataannya aku patah hati. Dan kau lagi-lagi tidak peduli.

Banyak pesan di akun media sosial yang mencoba menghiburkan. Menganggu-ganggu agar pipiku geli dan tertarik-tarik untuk tersenyum.

Cuma bisa sebentar...

Selebihnya aku gila menunggumu. Aku menyesap kopiku, rasanya pahit. Tidak ada gula dan sedikit campuran garam seperti biasa. Iya ini hanya kopi dengan air panas, yang sangat panas. Mendidih semacam hatiku, mungkin.

Pahit belum cukup meredam. Walau aroma kopi sudah sedikit membuat hatiku tenang. Wanita tidak bisa tenang secepat dia gamang, memang.

Berjalan...

Menuju kamar mandi. Kaki-kaki kulemah. Aku malas. Aku ingin menyiram tubuhku dengan air dingin. Atau mungkin merendam kepalaku dalam bak sampai lagi-lagi kehabisan nafas.

Bukan, bukan bunuh diri.
Hanya ingin berhenti bernafas sebentar atau anggaplah ini latihan menjadi ikan.

Di depan pintu kamar mandi, aku terlalu malas membukannya. Menyebalkan.

Aku berbalik arah, berjalan lebih cepat menuju kamar. Kembali mencari pesanmu. Berharap melihat kabarmu. Masih tidak ada.

aku kembali pada tumpukan kapas besar. Aku mau tidur saja.

...

Aku terbangun dengan tidak baik-baik saja. Ada rasa berat memukul kepalaku, seperti habis kejatuhan godam raksasa. Aku mencari kamu dan pesanmu. Tidak ada.

Mungkin kau lupa atau sedang terlalu sibuk. Pagi ini aku mencoba tidak begitu peduli. Tapi justru jadinya aku mengirim pesan padamu bertubi-tubi.

Aku bangun dengan jengkel, berjalan menuju dapur. Mengambil gelas, dan mencari kotak kopi. Aku sedang ingin menambah pahit dalam dada. Getar-getar menyebalkan

Aku, Di Bawah Meja Kopimu

Kesedihan dalam dadaku sedang memuncak. Semacam bom waktu atau apapun yang meledak lainnya.

Udara menipis setiap kali ingatan memutar ke arahmu. Air mata mengenang, berkali-kali kuseka dan dia mengenang lagi.

Semacam kekecewaan bertubi-tubi, tentang kamu yang tidak pernah sadar akan kehilangan aku yang bersembunyi di bawah meja kopimu.


Aku dekat, di bawahmu. Bersembunyi di dekatmu. Berharap mendengar kehilanganmu tentang keberadaanku yang tidak terlihat.
Tapi yang terdengar justru ketidak pedulian. Kamu tidak peduli, bahkan tidak sadar kalau bangku depanmu kosong.

Bangku yang aku duduki tadi, saat kamu memalingkan wajah beberapa detik. Aku bersembunyi di kolong meja. Diam, menunggu. Aku tertidur, menunggu kepeduliamu. Lalu saat bangun kamu tidak lagi duduk di situ.

Aku yang gila mencarimu ke semua penjuru. Kamu tidak di situ. Aku mencarimu terus. Kamu tidak ada. Kamu meninggalkan aku, yang bersembunyi di dekatmu.

Kamu pulang lebih dulu, tanpa sadar kalau aku tidak ada bersamamu seperti saat kita pergi.

Aku diam...

Aku kembali masuk ke bawah meja kopi tempatku sembunyi tadi. Aku menunggumu lagi. Mengulang kekecewaanku lagi. Menghantam hatiku sendiri. Membiru lebamkan tubuhku. Aku melukai hatiku berkali-kali.

Waktu kehilangan cara mengusirku dari menunggumu. Sampai akhirnya aku tidak menemukan apapun. Aku diam...

Aku masih bersembunyi di dekatmu. Masih berharap mendengar kepedulianmu. Lama-lama aku kesal. Mencoba menghapus namamu, tapi tidak menghapusmu. Mencoba menghapus namamu. Bukan mengahapus rasaku.

Aku masih bersembunyi. Kali ini di balik punggungmu.

Selasa, 29 Juli 2014

Pikir Sendiri Judulnya

Mungkin kau tidak berpikir sebelum mulai menamparku. Aku bisa saja membalasmu, tapi aku diam. Bukan tidak bisa atau tidak mau, apalagi tidak tega. Dalam kamus hidupku hampir tidak ada kata tidak tega untuk berlaku buruk. Aku bukan seseorang yang berprilaku baik-baik amat, atau si pintar ngomong yang suka ngobral omongan yang sok benar. Hanya aku memilih diam, menyimpan dendamku dalam-dalam dan menghajarmu ribuan kali lipat dari tamparan ini. Tapi mungkin bisa jadi aku akan menjadi pemaaf yang baik, dan itu sangat jarang.

Harusnya kau berpikir sebelum mencari gara-gara dengan seorang pendendam yang baik sepertiku, tapi aku rasa otakmu terlalu tumpul. Kau pun pintar berpura-pura setelah segala kesalahanmu. Bodohnya kau kepura-puraanmu terlalu tipis untuk menutupinya dari mataku. Bedanya kita aku seseorang yang tidak bisa berpura-pura manis untuk membenci. Saat benci aku benci.

Sekarang perasaanku gamang, bukan memikirkanmu. Tapi memikirkan diriku. Aku tidak suka sakit hati. Aku lebih senang melihat kau yang sakit, dengan kepala pecah atau usus memburai. Atau jika aku bisa membunuhmu, akan aku sumpal mulutmu dengan rambut-rambut di kepala dan kemaluanmu, sampai kau mati kehabisan nafas dengan mata melotot.

Kenapa?

Karena agar kau tahu bagaimana sesak dadaku malam ini menahan marah dan mengumpati semua manusia di depanku. Agar kau tahu rasanya kehilangan nafas di udara bebas. Agar kau paham bagaimana geram gertak grahamku menahan ringam.

Aku tidak suka dibuat marah. Aku tidak suka. 

Senin, 28 Juli 2014

Kebas

Aku sedang baik-baiknya tidak begitu banyam meracau. Aku sedang dalam kondisi yang begitu baik, tidak begitu muak dan tidak begitu senang. Aku sedang sangat luarbiasa dengan diam dan rasa-rasa hambar dalam dada. Bukan mati rasa. Tapi kebas sementara.

Aku sedang sehat-sehatnya, sedang merasa tidak begitu rindu. Sedang gampangnya teralihkan dengan semua hal. Aku bisa tidak begitu memikirkanmu. Aku sedang dalam kondisi luarbiasa, tida begitu memusingkan semua hal yang biasanya membuat kepalaku berputar keras sekali.

Aku sedang dalam musim yang begitu tenang, tidak hujan, tidak panas, tidak kekeringan, tidak kebasahan. Bunga-bunga harum, tapi tidak pula sangat menyengat. Aku sedang dalam kondisi luarbiasa.

Aku seperti habis beku, tidak mencair. Tapi kebas. Tidak mati rasa. Hanya kebas sementara. Seperti kesemutan. Tidak bisa membedakan rasa. Begitu banyak geli. Hanya kebas. Aku sedang dalam kondisi menyenangkan. Hanya kebas.

Aku sedang dalam kondisi luarbiasa. Bukan mati rasa. Hanya kebas sementara. Selebihnya aku masih mencintaimu. Nanti-nanti. Aku sedang kebas saat ini. Selebihnya aku masih merindukanmu. Nanti-nanti. Tapi ya sekarang aku sedang kebas.

Aku masih mencintaimu. Nanti-nanti. Aku sedang kebas. Mungkin terlalu banyak dingin. Tapi aku tidak berharap panas atau hangat. Aku sedang dalam kondisi yang baik. Aku masih mencintaimu. Nanti-nanti. Tapi saat ini aku sedang kebas, sementara. Bukan mati rasa.

Sabtu, 26 Juli 2014

Parah

Akui saja, kalau mulutmu sendiri tidak bisa menjaga rahasiamu. Akui saja kalau kau tidak lagi bisa berahasia apa-apa dariku. Seperti aku dengan mulut diamku tapi justru mata yang mulai jalang menceritakan rahasia-rahasia hatiku yang jatuh cinta setiap hari padamu.

Aku menyusun rapi bait-bait yang anggaplah ini puisi atau surat-surat murahan yang sering kamu temu masa sekolah dulu. Bukan, ini bukan surat cinta. Ini sesuatu.

Semacam aku sering salah tingkah saat memikirkanmu. Mengangkat telponmu pun masih sering aku berdandan dulu.

Semacam aku bingung, tanganku terus mau menoreh entah apa-apa. Semacam aku ingin mengirimkan begitu banyak pesan. Aku ingin terus kau baca, aku ingin terus kau baca.

Semacam ingin menampar-namparmu setiap waktu. Aku rindu! Ingat aku!

Semacam aku tidak lagi bisa menguasai kewarasanku. Semacam kau begitu menyebalkan, semacam siang ini terlalu penuh rindu. Atau rindu selalu tidak kenal waktu saat berkaitan denganmu.

aku ingin jadi pakaian yang nanti kau pakai setiap hari. Aku ingin menjadi kulit yang menutupi setiap jengkalmu, aku ingin menjadi sesuatu yang entah apapun. Aku kacau lagi. Aku menulis sesuatu yang tak tentu lagi. Aku merindukanmu. Parah.

Sabtu, 19 Juli 2014

Kamu, Semesta Yang Aku Ciptakan Memenuhi Ruang-RuangKu

"Kamu satu dari banyak hal yang aku kekalkan dalam kepalaku. Sesuatu yang aku cari sesudah bangun dan sebelum tidurku. Seseorang yang selalu mendapatkan kabarku terlalu pagi, sebelum aku pergi, bahkan sebelum aku mandi, bahkan sebelum aku bangkit dari tempat tidurku, bahkan sebelum aku memulai apapun. Seseorang yang aku puja dengan massa yang memenuhi ruang-ruang kepala.."

Kamu seseuatu yang tidak pernah sama, sesuatu yang menyebalkan. Juga sesuatu yang membuat aku jatuh cinta, tertawa, bahagia, menangis, merindu dan jutaan rasa lain yang tidak bisa aku sebutkan satu-satu. Kamu sebagian besar diri yang aku jaga, bahkan dari pikiran-pikiran buruk yang akan melukai, dari tutur yang tidak sengaja bisa membuat kita bertikai dan menyakitkan hati.

"Kamu sesuatu yang tidak mudah. Kamu sesuatu yang mudah. Kamu segalanya..."

Kamu bahagia yang terdalam dan bahagia terluar. Kamu terlihat mata dan terasa hati. Meninggalkan detak-debar dalam dada. Kamu serupa mesin waktu yang bisa membawaku keseluruh massa, membuat aku mengingat semuanya, memutar-mutar aku di dalamnya, bersamamu. Kamu rangkaian kata yang tidak terhingga angka, kubaca dengan lantang sayang. Kamu terus menjadi sesuatu yang memenuhi semestaku. Kamu pusat titik rindu dan aku merotasimu.

Bisa terbayangkan bagaimana aku menganggapmu? Aku saja suka kacau mencoba-coba menerka seberapa dalam kedalaman perasaan yang ada dalam bongkahan daging yang dihimpit tulang-tulang rusukku. Aku gagal dalam menghitung jumlah. Dan aku malas untuk mengulanginya, aku mencintaimu dengan bertambah setiap harinya.

"Kamu, semesta yang kuciptakan memenuhi semua, dalam ruang-ruangku.."

Jumat, 18 Juli 2014

Cerpen Seno Gumira: Sepotong Senja Untuk Pacarku

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.

Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.

“Catat nomernya! Catat nomernya!”

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.

“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.

“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.

Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.

Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”

Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.

Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.

Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.

“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”

Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….

Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.

Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…

Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.

Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

–Cerpen Pililihan Kompas 1993

Rabu, 16 Juli 2014

Surat Benci Untuk Kalian

Dicintai kalian? Biasa saja. Apa yang luar biasa dari kalian? Kalian cuma orang-orang bodoh yang tertawa dengan lelucon yang sama berkali-kali, yang menangis dan marah saat salah satu tersakiti, yang terus dia di grup whatsapp dan melihat last seen satu sama lain.

Kalian biasa saja, tidak ada lebihnya, kekurangan penuh di mana-mana, sering menyebalkan, tidak pernah tepat waktu, bebal. Kalian biasa saja, tapi untukku ini sudah sempurna. Ada orang-orang yang bisa selalu membuat aku marah dan mengulang rindu berkali-kali ya kalian. Ada orang-orang yang membuat aku mengingat proses yang dulu juga aku jalani ya kalian. Ada orang-orang gila yang menggoceh tengah malam sendirian, bahkan si gila Dhika berbicara dan menetap terus di grup whatsapp pertama mengoceh tanpa ada yang mendengar. Si gila melda berhujan-hujan demi pulsa. Si gila gayung yang siap sedia setelah perang selesai. Si gila nini yang sekarang sibuk dan selalu dirindukan (gombal), si gila yani, ummi, yang entahlah... mungkin kotak tertawa memang benar-benar ada, manusia ini selalu konyol. Lalu bayu "we miss you" ini udah perwakilan kecil dari semua rindu kami yang entah harus gimana numpahinnya, makasih menjadi orang yang tetap tenang saat yang lain kebakaran. Aku sayang kalian, mungkin, ya sedikit.

Jadi kita pernah hujan-hujanan di dalam sana, mendengar cerita-cerita yang entah apa. Melontarkan kata-kata yang lebih kasar dari apapun untuk ditertawakan, berharap hp ummi error setiap kita semua lagi pada ngomong kotor.

Kita pernah berantem dan baikan, salutnya ya kita enggak pernah pergi. Aku bahkan pernah ngambek sama Dhika dan ngusir dia karena nggak pernah ngomong tapi dia enggak mau "kalau mau kick, gpp" cuma itu katanya.

Ummi, kita pernah telponan dan nangis-nangisan tengah malam, yes? Makasih udah jadi penenang dalam sakit-sakit yang sering muncul tiba-tiba.

Melda, entahlah. Ada banyak aku di dalam kamu, enggak keseluruhan, cuma cara mencintai kita sama (ummi bilang). Bedanya kamu masih bisa seperti ini dan aku yang sekarang sudah terlalu angkuh untuk mengakui, aku mengeraskan diri dan jika patah, patahannya pun sering mencapkan serpihan-serpihan sakit yang kacau. Ada banyak aku di kamu, dari cara kita mencintai. Aku harap kamu juga menemukan pelabuhan tanpa berpindah-pindah seperti aku, nanti.

Nini, cemungudh eah neng. Aku teh sayang pisan ke kamu. Secapek apapun semangat jangan kendor, makan dijaga, jangan lupa shalat dan doa. Dan jangan lupa ngabarin keadaan kamu. Seneng ya sama kerjaannya. Mudah rezeki :*

Gayung, yung rumah tetangga ke bakar dua minggu lalu, lu kemana?
"Maaf kak, tadi habis nimba pake besekan sayur yang bolong-bolong"
WESBIASYAAAA

Bayu, hallo tuan penyair. Inget dulu kita duel? Tapi endingnya aku jadi pasangan Yani Anisha malam itu dan kamu eng ing eng, sama ucup. Kamu kemana? Kami kangen kamu, kamu tahu sekarang sejak enggak ada kamu, aku enggak bisa puasa marah-marah soalnya si gayung nimba pake besek, kan dulu kamu yang suka ngademin kita, kamu kayak pohon bay, dilempar pake batu selalu membalas dengan buah walau kadang rantingnya sekalian. Hahahaha "we miss you"

Makasih kalian, aku bangga dicintai orang-orang yang enggak pernah mau melangkah pergi "se-bangsat-apa" berulah, tetap ada yang paham dan anggap "ah, biasa ini mah. Ah, entar juga adem sendiri" sampai tua ya.

Jumat, 11 Juli 2014

Sketsa Mimpi : #1



Rumah kayu sederhana, di tengah hutan atau di salah satu sudut kota kecil yang asing untuk kita, itu adalah mimpi yang pernah aku ucapkan, iya bukan? Aku ingin tinggal di tempat yang jauh dari kesibukan kita sekarang. Nanti saat kita mulai menua, tidak terlalu tua, tapi mungkin di usia sekitar awal empat puluhan. Aku ingin menghabiskan waktu denganmu, mengingat Tuhan, menghargai waktu. Bahkan aku berharap tinggal di tempat yang tidak ada listrik, bergelap-gelap berdua dalam doa, tidak perlu ada Tv, cukup suara kita, aku ingin penghujung waktu benar-benar mengisi hidupku denganmu. Mengganti hari-hari kita yang pernah dicuri kesibukan.

"Aku ingin tinggal di rumah kayu sederhana"

"Apa pun maumu"

"Aku ingin denganmu saja"

"Aku pun begitu"

Percakapan singkat yang manis. Aku rasa berbuka puasa dengan membaca pesan-pesanmu sudah sangat mengisi energiku, aku tidak tahu di antara kita siapa yang beruntung mendapatkan siapa, yang jelas kita berdua beruntung karena saling memiliki.

Ratus ribu jutaan sketsa mimpi yang terucap tak pernah putus aku aamiin--kan, kau tahu setinggi apa aku sandarkan cita-cita dan pengharapan pada pundakmu? Sangat tinggi. Aku yakin kau sangat kokoh untuk menampung mimpi-mimpiku. Mungkin aku seperti mesin reproduksi mimpi dan kau kenyataan yang berwujud, bisa kupeluk, dan menampar-namparku untuk terus mewujudkan semuanya. Aku ingin denganmu, dalam setiap doa ucap itu tak putus kupinta.

Aku ingin menikmati udara pagi, berjalan tanpa alas kaki, menyium aroma mawar pagi hari, memasak sayur-sayuran yang kita tanam di halaman belakang, berternak itik, ayam dan ikan. Sebulan sekali kita ke kota dengan mobil pick up untuk membeli perlengkapan rumah, perjalanan jauh dan tua yang menyenangkan. Sepanjang jalan menikmati lagu-lagu kini yang akan berubah jadi lagu-lagu nostalgia nanti. Menyambut senja bersama terpaan hangat aroma dandelion yang sederhana, Selepas makan malam, kita akan duduk di beranda, menelpon anak-cucu kita, menanyakan kabar mereka, melihat bintang, hujan, atau apapun yang diturunkan Tuhan untuk kita nikmati, mengisi dan terus mengisi. manis--sangat--manis.

Malam hari, menjelang tidur aku akan memelukmu erat, dengan balutan selimut hangat. Tertawa-tawa tentang apa-apa yang konyol, bercerita tentang hari-hari pernah sibuk yang membosankan. Merencanakan bangun pagi dan berjalan-jalan untuk kesehatan, menanyakan besok kau mau makan apa? Dan seperti yang sudah aku tahu, kau pasti akan menjawab, sambal goreng telur puyuh atau ayam goreng dan semua makanan yang bersambal. Sebelum tidur kita akan berdoa, untuk terus melihat satu sama lain sampai pagi datang dan datang dan datang mengulang hari, mengulang apapun yang terjadi denganmu, sampai kita benar-benar pergi pada perjalanan jauh yang lain.

Kamis, 10 Juli 2014

#KAMISAN 8 : Perlina - Neng Ai



Kejadian ini terjadi beberapa bulan lalu, saat aku pulang kampung ke suatu daerah sebelah barat Tasikmalaya. Ada satu tradisi di kampungku pada hari tertentu di beberapa bulan tertentu sekitar pukul 11-12 malam, anak-anak laki-laki dan bapak-bapak berpawai obor keliling desa. Dimulai dari gapura yang ada tepat di pintu masuk dan berakhir di kompleks perkuburan warga setempat.

Aku sempat bertanya pada Nini (panggilan untuk nenek) kenapa pawai ini harus diakhiri di perkuburan tua yang menyeramkan itu, kuburan di kampungku terkenal angker, hampir setiap kali mengadakan tradisi pawai obor keliling selalu ada yang kesurupan di daerah itu. Suhu di perkuburan pun sangat dingin, dingin yang mencekam, yang merindingkan bulu-bulu kudukmu, membuat kaku ujung kaki-kakimu dan membuat matamu selalu waspada pada setiap sudut.


"Rek kumaha ge sadaya jelema pasti maot, jadi panghuni kuburan keur ujung kahirupan, kari ngadagoan dinten amal jeung dosa urang dietang. Mantakna pawai obor teh diujungan di kompleks kuburan ujung desa" kata nini.


Dan benar kehidupan manusia berujung pada kematian. Mungkin tradisi ini sebuah penyadaran, untuk kita tetap menjaga apa-apa yang kita buat.

Kuburan di kampungku memang letaknya berbatasan dengan ujung desa, langsung dengan bukit-bukit dan hutan-hutan bambu lembab. Sekitar 1 minggu yang lalu, di sana ditemukan mayat Neng Ai, bunga desa yang terbunuh tragis, mulutnya sobek, tubuhnya penuh luka lebam, beberapa bagian wajahnya rusak akibat siraman air keras. Neng Ai, Kasihan betul Neng Ai, batinku. Padahal selama ini Neng Ai terkenal ramah dan baik, tidak pula memiliki musuh. Nasib buruk menimpanya saat dia memutuskan menikah dengan pejabat desa sebelah, Neng Ai mati dibunuh istri sah lelaki yang menikah sirih dengannya 7 bulan lalu. "Hah, kumaha jadi teringat Neng Ai kieu" aku tersetak dari lamunanku dan bergegas menuju kamar mandi untuk bersiap-siap mengikuti pawai obor nanti malam. Aku merasa ada sesuatu yang memantau setiap gerak-gerikku, sesuatu yang tidak terlihat.

*

Malam itu, udara dingin, wajar saja, sore tadi hujan menguyur bumi sangat deras. Pawai obor baru akan dimulai setelah pembacaan doa pembuka. Cahaya dari obor dan bunyi-bunyi kentongan yang dibawa warga, mengisi malam dingin desa. Kami mulai berjalan berkeliling. Sepanjang jalan aku sendiri sibuk mengabadikan gambar-gambar tradisi desa kami, tak ingin momen ini perlina begitu saja termakan zaman, tergerus waktu.

Setelah dua jam pawai obor, kami mulai memasuki kompleks perkuburan untuk penutupan pawai. Disekeliling kuburan terdapat hutan-hutan bambu lebat, lembab dan tinggi. Perasaanku mulai tak enak, aku memandang sekelilingku, semua masih biasa.

Acara penutupan dimulai, awalnya kami sama-sama berdoa yang dipimpin sesepuh desa, suasana sangat hening. Entah mengapa sedari tadi aku merasa ditatapi. Lalu sayup-sayup terdengar olehku potongan tembang Lingsir Wengi, aku tidak tahu dari mana asalnya. Pelan, tapi menyakitkan telinga.

"Lingsir wengi sliramu tumeking sirno, Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro..."

Aku melihat ke sebelahku, mang ujang masih saja merunduk berdoa, lalu aku memandang sekelilingku, tanpa sengaja mataku menangkap sesuatu di antara rimbun pepohonan bambu, sesuatu yang putih dan melayang. Aku langsung menunduk, jantungku berdetak keras sekali, dalam hati aku tak sudah berdoa, aku sangat takut saat itu. Tidak lama terdengar suara cekikikan wanita, merindingkan bulu kudukku. Aku melihat kembali ke arah mang ujang dan yang lain, mereka seakan tidak terganggu, seperti tidak mendengar apapun. Lalu entah kenapa, aku merasa tubuhku berat. Sangat berat dan panas, aarggghhh..kepalaku begitu sakit. Orang-orang sekelilingku menjauh, mereka membaca doa dan melihat-lihat ke arahku, aku merasa tubuhku semakin panas. Aku kembali mendengar suara cekikikan itu, semakin dekat. Astaga..! Aku mendengarnya dari mulutku, aku dengan tanganku yang bergerak-gerak seolah sedang merapikan rambut, aku merasakan tanganku membelai rambut yang sangat panjang menjuntai seperti berasal dari kepalaku. Sesepuh desa mendekat ke padaku, membacakan doa-doa yang semakin lama semakin membuatku panas. Kepala ini seperti tertusuk ribuan paku beton, sakit, sangat sakit. Lalu terdengar tangisan dan suara menyedihkan seorang wanita.


"Aku teh Neng Ai, pak. Aku teh Neng Ai... huhuhuhu" entah bagaimana suara wanita itu keluar dari mulutku, aku berbicara di luar keinginanku. €Tubuhku saat itu terasa sangat berat.

"Neng Ai, pulanglah, alammu bukan di sini. Jangan ganggu"


"Tolong, saya mau minta tolong. Tolong sampaikan ke ibu neng Ai minta maaf tidak mendengar ibu, tolong bilang ke ibu, neng Ai tidak pernah tenang sebelum ibu maafkan"


Akhirnya sesepuh desa memegang kepalaku. Aku meronta kuat, memaki-maki dan menatapnya tajam, tapi perlahan tubuhku merasa ringan dan pelan-pelan semua berputar, gelap dan semakin gelap.

*

Saat bangun, aku sudah berada di rumah, ramai sekali. Kata nini, aku sudah tertidur selama tiga hari, kadang menangis, tertawa, cekikikan terus menerus, ternyata aku keserupan arwah Neng Ai, ia menempati tubuhku selama tiga hari ini dan tadi sekitar dua jam yang lalu Neng Ai baru saja pergi, setelah ibu--nya datang dan memberikan maaf pada Neng Ai. Malam itu kami mengadakan doa bersama, untuk Neng Ai, agar tidak menganggu lagi.

Inspiresyen: Nightmare Side radio Ardan 105.9FM Bandung, setiap hari kamis dari pukul 22.00-24.00 wib. Bisa streaming lewat gadget kamu loh. Tapi ingat...Jangan prnah dengerin Nightmare Side sendirian, apalagi sama pacar orang. JANGAN! (Puas lo Ndra, Mus, Ky, PUAS LO? )

Minggu, 06 Juli 2014

Siluman Amoeba Dan Gelitik Rindu--Nya

"Iya, seperti ini lah perjalanan, duduk berjam-jam di dalam kendaraan beroda empat lalu membayangkan kamu yang ada di sampingku"

Saat mengembara pun aku masih berpikir tentangmu, aku rasa dari awal pertemuan kita debar ini tak pernah reda, kata teman-temanku usia kita sudah melebihi cicilan kredit sepeda motor, mesin cuci dan alat-alat apapun yang mereka sama kan tapi jelas beda ini kan kredit cinta sebelum naik pelaminan (Aamiin) sepanjang jalan ini aku berharap mengenggam tanganmu, tapi yang aku genggam sedari tadi hanya tanganku, kamu tak ada di sini, tapi hangatmu tak pernah lepas bahkan setelah beribu-ribu kali aku mandi, mengosok-gosok tubuh dengan sabun, pembersih lantai atau pemutih pakaian, tidak pernah hangatmu tidak pernah lepas.


"HUBUNGAN JARAK JAUH YANG MENDADAK SETELAH SEBELUMNYA LIMA LANGKAH ITU TAK HENTI-HENTINYA AKU KUTUK"


Kadang ada rasa senang, katanya saat hubungan ini diuji artinya semakin banyak susah senangnya artinya lagi semakin tidak gampang untuk saling melepas genggamannya, tapi tidak jarang juga aku mencaci-caci (dalam hati) pasangan yang tanpa sengaja bermanis-manis di depanku, dan saat kesadaran kembali. Aku pun sering seperti itu denganmu bukan? Dan mungkin ini juga yang dirasakan orang-orang yang tanpa pasangan atau sedang berjauhan dengan pasangannya dulu. Ternyata karma itu berputar sama, atau lebih pedih karena hati yang rasa beda-beda. Tapi setidaknya dari sini nanti aku bisa belajar mulai menjaga perasaan orang lain.


"JADI AKU MEMBUAT TULISAN KACAU INI SEBAGAI PENENANG HATI YANG RINDU SEDANG MELEBAR--MELEBUR DALAM DADA"


Rindu mendadak terlalu lebar terlalu penuh, dan mulutku mendadak terlalu malas untuk berbicara dengan teman-teman seperjalananku, sedari tadi aku mendengar mereka dengan telinga tembus, istilah guru-guru SMA zaman dulu saat anak-anak tidak menyimak pelajarannya "masuk kiri keluar kanan" aku tidak bisa menyimak satu pun obrolan teman-temanku, jari-jariku gatal mengirim pesan dan menekan-nekan nomermu. Tapi aku takut itu membuatmu harus berpikir lebih, ada sesuatu yang tidak beres di perjalananku, maka dari itu aku melanjutkan torehan kacau ini.


"RINDU BANGSAT SEJADI-JADI NYA SAAT JARAK MEMBELAH DIRI SEPERTI AMOEBA DAN MENIMBULKAN GELITIK-GELITIK RINDU, TAK KARU"


Kalian tahu amoeba? Makhluk kecil yang bisa membelah diri, ya itu lah kecilnya yang aku tahu. Tapi sialnya JARAK ini SI SETAN SERBA BISA, dia menjelma menjadi siluman amoeba, membelah sesukanya dan berternak rindu dalam hatiku, ujung-ujungnya mata semai airmata. Sial!


"GELITIK RINDU--GELITIK RINDU
BAGAIMANA KAU BISA LUCU
PADAHAL SANGAT MENYEBALKAN
MEMBUAT TERTAWA DAN MENANGIS
DALAM SATU WAKTU
GELITIK RINDU--GELITIK RINDU
COBA SURUH SI SETAN SERBA BISA
MENJELMA MENJADI PELUKAN
AGAR AKU BERHENTI MENGUTUKIMU"

Rabu, 02 Juli 2014

#KAMISAN 7 : Love Game - Ayunan



"Layla, Sayang. Layla, anak ibu yang
paling cantik. Layla, Sayang. Layla,
janganlah Layla bersedih...."

Seorang wanita yang usianya sekitar tiga puluhan, bernyanyi-nyanyi di taman komplek. Pandangan matanya kosong. Ia bernyanyi sambil menyebut-nyebut nama anaknya. Seorang gadis kecil yang kini sudah tiada.

"Laki-laki bangsat! Laki-laki keparat! Kubunuh kau! Kembalikan anakku! Kembalikan anakku!!" tangisnya memecah
senja, begitu kelam.
Beberapa mata menatapnya iba. Kepedihan seorang ibu akan kematian buah hatinya adalah serenade paling pedih.

*

Semoga pasanganku tidak pernah tahu apa yang berkecamuk dalam hatiku sekarang. Semoga dia tidak pernah tahu perasaanku telah membelah. Gadis itu, aku tidak bisa menghindar untuk memikirnya. Dia begitu berbeda dengan yang lain, memperlakukanku sangat lembut. Lelaki mana yang tidak suka kelembutan?

Aku begitu bahagia tiap senja dapat bertemu dengannya, meski kadang pula gelisah saat dia tidak menghampiri taman. Aku takut dia sakit. Takut dia tidak lagi ingin kemari. Takut aku
melukainya, karena itu dia tidak lagi mau bertemu aku.

Jatuh cinta dan bermain dalam cinta itu sangat mudah,
bahkan saat pasanganmu di samping pun kau bisa melakukannya. Sebab isi hati adalah rahasia.

Tapi gadis ini jauh lebih menarik dari dia yang menemani aku
bertahun-tahun. Ya, mungkin kalian pikir aku jahat. Mengkhianati pasanganku untuk seorang gadis yang baru satu bulan ini aku temui.
Namanya Layla. Dia baru pindah dari kota di mana kemacetan adalah jendela. Kota yang kemanapun kau memandang,
hamparan panjang kendaraan akan
terlihat. Debu dan asap adalah isi paru-paru makhluk kota itu. Layla tinggal tak jauh dari tempat tinggalku, taman bermain.

"Video game, A video game that allures me,
You can't block me. You're in
danger right now, join the video game, Love game...."


PERTEMUAN PERTAMA PADA SUATU SORE


Aku terayun-ayun setelah seorang anak lelaki gemuk menaikiku dengan kasar. Kadang dia berdiri dan meloncat-loncat.

Andai aku bisa melemparnya jauh
agar terjungkal mungkin sudah kulakukan. Aku pun terus-terus berdoa agar rantai pengaitku pada tiang lepas, agar
anak ini berhenti menyiksaku.
Aku melirik pasanganku yang diam dan tenang. Dia sangat kaku, tapi dia adalah pasanganku. Tuhan memberi dia untuk menemani hari-hariku.

Ayunanku berhenti, kulihat tangan kecil seorang gadis. Rambutnya panjang hitam diterpa cahaya senja, wanginya serupa permen karet atau wangi permen-permen enak lainnya.

Dia membersihkan aku dengan tangan lembutnya, menyapu-nyapu lembut. Aku merasakan desiran berbeda. Sesekali aku melirik
lagi pada Inka, begitulah kupanggil dia, pasanganku. Aku harap Inka tidak melihat rona-rona merah di serat-serat kayuku saat Layla menyentuh setiap
jengkalnya. Aku jatuh cinta, pada pemainku.

"Aku mengekalkan rasaku dalam senja
Pada warna emas di hamparan hitam rambut
dan aroma tubuh yang luar biasa
Aku jatuh cinta padamu
Bukan aku yang bermain, tapi kau yang
mempermainkanku
Bagaimana benda mati bisa merasa hidup
Kau pemain cinta yang luar biasa
Aku terjerat!"

*

Aku berdoa agar Layla tidak pernah dewasa. Sebelum dia, aku pernah patah hati pada pemainku, juga. Pada seorang gadis manis, berlesung pipi dalam.

Namanya Dhila. Dia gadis lucu, dulu sering bermain di sini, menemani aku, membersihkan serat-serat kayuku yang kadang diinjaki tapak-tapak sepatu
teman-temannya. Paling lucu dari dia adalah gadis manis itu sering membagi gulalinya, membuat aku merasakan cecap manis dan tak jarang tubuhku dikerubutin semut setelahnya. Dhila pergi. Dhila hanya menjadikan aku persinggahan masa kecilnya. Maka, aku harap Layla tidak pernah besar.

*

Hari ini aku menanti Layla, aku sudah tidak sabar ingin berayun-ayun bersamanya, melihat hamparan putih giginya, tawanya yang seakan bisa menetapkan langit tetap biru, dan genggamannya pada rantai-rantai dingin pengaitku.

Tapi hari ini Layla tak datang. Bahkan hari-hari selanjutnya pun tidak, hari selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya. Layla tidak pernah datang.

Sudah satu pekan dari hari terakhir dia bermain di taman ini, meninggalkan bercak darah di kayuku. Aku melirik Inka, tubuhnya sedikit berayun, masih
kaku, bahkan aku tidak bisa melihatnya tersenyum. Sama seperti dia yang tidak bisa melihatku tersenyum. Aku berharap Layla datang.


30 MENIT YANG MEMATAHKAN


"Kasian ya, Bu. Pasti ibunya terpukul
sekali...."

"Ya, jelas lah, Bu. Wong anak perempuan satu-satunya. Pintar, cantik, dan penurut. Saya aja yang baru bertetangga 1
bulan terasa kehilangan Layla.
Apalagi saya belum punya momongan. Sepi
saya dan suami pecah saat Layla di
sana. Dia anak yang baik, pasti diberikan
tempat yang baik pula."

"Iya, Bu. Tapi yang saya enggak habis
pikir, ya, kejadian meninggalnya
Layla. Tragis. Tega betul pelakunya ya,
Bu!"

Aku ingin tidak mempercayai percakapan dua ibu-ibu yang sedang menyuapi anaknya di taman bermain ini, 30 menit yang begitu mematahkanku. Layla meninggal.

Aku kira dia akan baik-baik saja setelah sore kelam itu. Seorang laki-laki dengan perawakan tinggi, berjambang, dengan rambut gondrong dengan mata merah
frustrasi. Ia memberi permen kepada Layla dan mencoba mengajak gadis itu ikut dengannya. Layla sempat menolak. Dia melawan, mencoba berteriak, tapi apa daya gadis kecil itu tak cukup kuat
melawan. Layla dengan pakaian yang dibuka paksa, di bawah tubuh seorang lelaki yang bertelanjang dari pinggang hingga mata kaki. Tubuh Layla didesak-desak oleh tubuh berat itu, terdengar suara Layla kesakitan.

Untuk pertama kali setelah aku berdiri bertahun-tahun sebagai ayunan, aku mengutuk diriku menjadi benda mati. Aku mengutuk posisiku yang menjorok ke dalam. Tidak ada yang bisa melihatnya
menyiksa cintaku.

Layla-ku diperkosa. Setelah puas berayun-ayun dengannya, lelaki itu mencampakkan Layla dari atas tubuhku--dengan ayunan sangat keras. Aku dan Inka adalah saksi bisu, melihat tubuh Layla jatuh berdebum di atas tanah. Kepalanya membentur batu, sedikit bercak
darah tertinggal di serat kayuku.
Laki-laki itu pergi, katanya ini
pembalasan untuk ibu Layla yang
memecatnya. Layla-ku diam, tertidur, dengan darah yang mengaliri kepala. Rambut-rambut hitamnya basah. Sampai beberapa orang menemukannya selepas azan Isya. Itu pertemuan terakhirku dengan Layla yang hidup. Tadinya aku berharap Layla baik-baik saja, tapi harapanku sudah
terjawab. Layla tidak baik-baik
saja dan kini dia sama seperti aku dan Inka, tanpa nyawa, tanpa kehangatan.

Aku masih sering mendengarnya tertawa, setiap malam. Dia masih sering duduk di sini, dengan tawanya yang menyeramkan. Mungkin merindingkan bulu-bulu kudukku, jika ada.

**