Jumat, 24 Januari 2014

Selasa, 07 Januari 2014

Punggung

"Aku mencintai apa saja tentangmu." Sinta mengecup punggung kekasihnya.

Kekasihnya tampak selalu tenang dalam dekapan Sinta. Sinta beranjak dari kasur, mematut dirinya di cermin, menyisir rambutnya, lalu mengulaskan pelembab bibir. Dia tersenyum memandang bayangan sempurnanya sendiri.

Pelan-pelan dia membuka pintu kamar lalu menutupnya tanpa suara. Dia tidak ingin kekasihnya terbangun. Setelah pintu tertutup, Sinta sedikit berjingkat menuju dapur.

"Reno pasti lelah. Suara sekecil apapun tidak boleh menganggunya..." Sinta bergumam kecil.

 Sesampainya di dapur, perempuan bermata serupa senja itu mulai membuka kulkas. Mengeluarkan Tofu, saus tiram, sawi putih, wortel, daun bawang, dan beberapa jenis makanan lainnya. 

"Sebelum Reno bangun, aku akan menyiapkan semua masakan kesukaannya..." Lagi-lagi bisikan yang mungkin hanya bisa didengar oleh angin.

Di rumah ini sangat banyak meja makan. Di atas meja-meja tersebut tersaji makanan-makanan yang--beberapa di antaranya--sudah membusuk dan bau.

Tapi Sinta selalu punya meja baru untuk menyajikan masakan kesukaan Reno.

Sinta memasak. Aroma tumisan bawang putih memenuhi ruangan. Sayur-sayur yang diambilnya tadi sudah dicincang rapi, siap diolah menjadi masakan-masakan nikmat. 

Setelah sekitar satu jam berlalu, semua masakan sudah selesai disajikan di meja makan barunya bersama Reno. 

"Waktunya membangunkan Reno!" teriak Sinta riang. Senyumnya merekah.

Sinta berjalan kembali ke kamarnya, membuka pintu. Dia menaiki tempat tidurnya, membelai-belai tubuh kekasihnya. Mengecup punggungnya lagi dan berbisik, "Sayang, sudah siang. Sudah waktunya makan. Kamu ini manja sekali...'

Tak ada suara balasan.

Sinta tersenyum lalu menggendong guling itu ke meja makan barunya. Dia lalu mendudukkannya pada salah satu kursi, mengambil makanan untuk dua piring. Dia lalu makan dengan lahap sambil sesekali tersenyum menghadap benda tak bergerak di depannya.

Setelah selesai dia kembali memeluk guling itu dari belakang kursi, mengecupnya seolah itu adalah sebuah punggung lelaki tegap, tampan, dan mapannya dulu.

Reno Baskoro. Lelaki yang harusnya menikahi Sinta setahun lalu. Lelaki yang kini bahkan jejaknya tak bisa dilacak. Entah di mana lelaki berpunggung kokoh itu.

Sinta kembali memeluk gulingnya, menggendongnya ke kamar, lalu menidurkannya di ranjang sambil menyelimutinya.

"Aku mencintai apa saja tentangmu, Reno. Selalu. Selamanya..." Sinta mengecup punggung guling yang dia anggap kekasihnya.