Sabtu, 28 Juni 2014

Fiksi Mini : Negara Hantu

AKU. Jatuh cinta ini mengangguku. Saat tanganmu justru meraba dada bukan hati.

HARUS. "Cepat pergi..!! Sebelum hujan ini membuatmu jadi batu", kata ibu.

MAWAR. "Bibirnya merah, dia sering pula kena marah suami, jika pulang tak bawa banyak uang"

TAKUT. "Bu, aku takut jika bapak gendut jadi presiden", "Tidak apa, nak. Arwah bapak akan melindungi kita, dan balas dendam pada penculiknya"

NEGARA HANTU. "Uang pajak ini buat apa bu?", "Untuk beli sajen buat hantu, nak"

PENCULIK. Aku benci orang gendut berkantong banyak itu. Mungkin di salah satu kantongnya ada kewarasan ayahku.

DEJAVU. "Sepertinya aku pernah melihatmu?", "iya, aku renkarnasi nenekmu"

BAHAGIA. Setelah menyakiti hati ibu, aku tidak perlu lagi melakukan apa-apa. Aku membatu.

TIDUR. "Selamat tidur, sayang", seorang wanita dengan uban penuh di kepala mengecup kening batu nisan tua.

LUPA. Kebanyakan bernyanyi "Lumpuhkanlah ingatanku" nenek jadi pikun.

MAKAN. "Bu, kenapa bapak itu gendut?"
"Karena dia banyak makan, nak"
"Aku juga banyak makan, bu"
"Kau makan banyak untuk dimakannya, nak"

PELANGI. "Hijau artinya jalan terus, kuning artinya hati-hati, kalau merah di kota ini artinya terobos"

DORAEMON. Menghilang, pintu ke mana saja diburu para pelaku LDR.

RUMPUT. Ibu menyiram rumput tetangga, seminggu tiga kali, setiap ayah shift malam.

PAGAR. Pagar mengeluh, dia tidak mau lagi jadi pagar. Sekarang tanaman sangar liar, katanya.

Rabu, 25 Juni 2014

#KAMISAN 6 : Martabak Telur - Wanita Simpanan

Mungkin kau belum pernah melihat aku sekacau ini, tapi yakinlah ini bukan kali pertama, kedua atau ketiga, ini adalah sesuatu yang berkali-kali aku alami, dulu dia yang sebelummu sudah mengetahui betul perangaiku. Aku lebih suka menikmati daging itu segar-segar, dari pada martabak telur petak kecil yang tidak pernah bisa aku sukai, bodohnya kau, kau selalu memberi aku makanan yang kau sukai tanpa peduli aku menikmatinya atau tidak.

Pagi ini, sialnya kau membiarkan aku sangat kacau, aku bermalas-malasan seharian sebagai simpanan yang selalu kau banggakan di depan teman-temanmu yang bermata sama cabul denganmu setiap memandangku, aku tahu kalian lelaki berbirahi binatang yang tidak akan puas walau kepuasan di bumi ini habis. Aku bermondar mandir berharap kau menuruti mau ku. Aku memandang-mandang ke arahmu, tapi kau sedang sibuk berbincang dengan rekan-rekan bisnismu itu. Memuakkan!. Harusnya kau tahu aku sudah lapar dan jenuh menunggumu, botak gemuk.

***

"Dia cantik bukan?", lelaki berperut buncit dengan kepala yang hampir botak, ya kau. Berbicara pada temanmu yang lagi-lagi memandangi aku dengan nafsu binatangnya.

"Sangat cantik, apa aku bisa menyentuhnya?"

"Tidak, dia hanya milikku..hahaha", kau tergelak puas. Aku jijik. Kau tau aku selalu mandi setiap kau selesai menyentuhku, setiap aku selesai memenuhi semua kepuasanmu. Bahkan jika bisa aku mandi setiap satu sentuhanmu mendarat di tubuhku, akan aku lakukan.

"Kau yakin tidak apa-apa menyimpannya di sini? Bagaimana jika istri dan anakmu tiba-tiba kembali dari luar negeri dan mendapatinya di sini"

"Biarlah, aku mencintainya, aku sangat senang melihatnya di rumahku. Menemani aku, walau terkadang perangainya tak menentu. Aku rasa dia bosan jadi simpanan"

"Hahahaha, bahkan macan betina pun tak rela dimadu, apalagi wanita-wanita kita"

"Hahahahaha, kau benar"

***

Tawa kalian mengelegar, dan aku semakin bosan. Ah menjijikan. Lelaki-lelaki tua cabul, jika aku punya kesempatan menumbuhkan taring dan cakarku lain waktu, akan kucabik-cabik daging segarmu lalu kusisakan sedikit daging untuk istrimu, agar dia bisa membuat martabak telur dan mengunyahmu juga karena telah menduakannya.


Ps: wahai lelaki-lelaki di seluruh penjuru bumi, jangan coba-coba memadu wanita-wanitamu kalau ndak pengen jadi martabak telor. ( ˘˘̯) 

Kamis, 19 Juni 2014

Aku Pungguk, Kamu Kue Bulan Dadar Yang Aku Rindu



Aku pungguk, kamu bulan. Aku pungguk yang bermimpi meraih bulan. Kenyataannya menaiki jenjang tertinggi pun pungguk tetap tidak bisa terbang meraih bulan. Pungguk cuma bisa duduk di atas sebatang pohon asam, memandang bulan yang seperti kue dadar, berharap jatuh ke tangannya dan menelannya bulat-bulat dalam perut. Manusia pasti pernah berharap, dan disetiap harapan kekecewaan bukan harga langka, pasti ada. Lalu saat kebahagiaanmu patah, kamu bisa apa selain merindu--nya utuh? Seperti aku sekarang. Ada sesuatu yang aku sebut saja 'RAHASIA' aku memimpikannya setiap waktu, mendoakannya, berharap dan ingin. Tapi pungguk tidak bisa terbang dan batang asam pun tak bisa sama rata dengan bulan, memanjat setinggi apapun tak bisa. Jadi aku menunggu, merindu, pungguk merindukan bulan. Semakin lama waktu berjalan semakin sadar aku ditampar waktu, setiap tik tok jam seperti menuduh-nuduhku.

"Kau pungguk, bisa tidak bercermin di air bersih. Liat siapa kamu apa bentukmu, mana sayapmu? Berani-beraninya bermimpi bulan jatuh ketanganmu"

Aku berjalan menuju air bersih, di sana terpatul rupa--ku. Ah, iya. Aku pungguk, tak punya sayap. Mungkin sekarang yang harus aku lakukan mencari batang asam yang cukup tinggi, yang lebih tinggi lagi dari yang kunaiki tadi atau pohon aren? Atau? Kalian tahu apalagi yang cukup tinggi menyamai bulan? Mimpi? Cuma mimpi yang bisa menyamai bulan. Iya, benar. Aku pungguk, kamu bulan.


#nowplaying Ada band--Haruskah ku mati karenamu ( (╥﹏╥) )

Selasa, 17 Juni 2014

#KAMISAN 5: Wishy Washy Atau Fleksibel?

Wishy washy mungkin cukup asing kedengarannya ya? Sama, tapi saya nggak kaget kalau tema-tema seperti ini dijadikan tantangan dari mami (teh nia) untuk peserta kamisan, karena mami memang salah satu kerumitan tiada tara yang hidup di dunia. Saat saya menulis ini pun saya masih dalam keadaan mencari-cari kebenaran cinta sejati (halah!) 

Secara definisi, arti dari Wishy Washy adalah "Lacking in strength of character or purpose; ineffective; weak in willpower. A dosser. Also a bit Flippy Floppy, Topsy Turvy even" (urbandictionary.com). Atau kalau diterjemahkan seperti, sesuatu yang lemah atas keyakinan sesuatu, plin plan, ya secara gampangnya wishy washy ini kita sebut si plin plan ya, lemah mempertahankan apa-apa yang dia yakini. Menurut salah satu artikel yang ditulis oleh Ubaydillah, AN dalam sebuah situs www.e-psikologi.com disebutkan antara lain :

Secara teori, plin-plan itu sering diartikan sebagai indecisiveness. Ini adalah ketidakmampuan kita dalam menentukan keputusan atau bersikap dengan alasan-alasan yang sangat tidak kuat. Orang plin-plan itu adalah orang yang gampang melakukan bongkar-pasang rencana, keputusan atau penyikapan.

Ciri-ciri orang plin plan:

1. Apa yang dikatakan berbeda dengan perbuatannya.

2. Sikapnya cepat berubah-ubah seketika pada waktu itu juga.

3. Mencari alasan-alasan, tetapi sangat berkesan menutupi sesuatu hal dibelakangnya.

4.Tidak mempunyai arah tujuan yang jelas, artinya mudah dipengaruhi oleh sugesti ataupun stimilus yang ada.

Si plin-plan ini dipahami sebagai lawan dari kepercayaan-diri (self-confidence) atau pede. Dalam teori kompetensi, ada sejumlah istilah yang pengertianya kira-kira sama dengan kepercayaan-diri ini.

Beberapa istilah itu antara lain adalah:

1. Decisiveness

2. Ego strength

3. Independence

4.Strong-self concept

5.Willing to take responsibility

Nah! Dari semua penjelasan di atas yang banyak sedikitnya saya kutip sana sini, saya nyimpulin kalau si wishy washy ini adalah orang yang rasa percaya dirinya kurang, sehingga gampang berubah arah dan terpengaruh apa-apa yang ada di sekitarnya.


Lalu, apa bedanya dengan FLEKSIBEL? Menurut Musashi dalam "The Book of Five Ring" yang dikutip oleh Ubaydillah mengatakan : fleksibel itu digambarkan seperti watak air. Musashi menjelaskannya dengan istilah ordered flexibility. Fleksibel di sini diartikan sebagai kapasitas untuk tetap menjadi diri sendiri dalam keadaan tetap bisa beradaptasi dengan lingkungan atau orang lain. Jadi dengan kata lain ya, si fleksibel ini manusia karet yang nggak mengubah apa yang ada dalam dirinya tapi bisa ikut beradaptasi dengan lingkungannya, tanpa harus melumer. Fleksibel ini jenis kekuatan yang sangat baik. Mempertahankan pendiriannya, tetapi juga pintar mengaplikasikannya dengan lingkungan. Tidak berbenturan dengan sekitar, tidak juga mengubah dirinya menjadi yang tidak dia inginkan, dapat beradaptasi, cepat tanggap dalam keadaan darurat sekalipun, tanpa kehilangan kendali merupakan ketrampilan yang signifikan dalam mencapai tujuan. Dengan bersikap fleksibel, kita mudah beradaptasi dengan lingkungan apapun dan dengan siapapun. Untuk menjadi fleksibel pun kita tidak harus merombak prinsip, kepribadian, tata rambut, maskara dan sebagainya (halah).




sumber

Kamis, 12 Juni 2014

#KAMISAN 4 : Halusinasi - Bianca

Dunia ini membuat aku melayang, tidak bisa kujabarkan satu per satu, sekumpulan perasaan yang tidak tergambar. Aku merasa ruh ku tertidur, bahkan disaat aku bangun. Aku berada dibanyak tempat, kadang di saat bersamaan. Bunga tidur atau kekosongan pikiran? Halusinasi atau delusi. Semua berbatas garis tipis yang tidak terlihat. Tapi kau jelas tahu, semua berbatas, semua terbatas. Atau aku rasa ini hanya sekedar penghayatan batin? suatu perasaan yang tidak bisa aku tangkap, pecah lalu membuat aku melayang lagi. Begitu seterusnya. Kadang suatu pagi aku terbangun dengan perasaan yang menyenangkan. Begitu menenangkan, tersenyum dan mimpi membawaku terbang. Bayangan itu berubah ke segmen berbeda.


***

Pagi ini, aku terbangun dan menemukan orang-orang yang sudah lama ingin kutemui, nenek dan kakek. Kami berbincang banyak tentang hari-hari selama tidak saling melihat. Mereka menceritakan banyak hal menyenangkan, ada juga beberapa yang membuatku sedih. Seperti sakit-sakit renta yang hanya mereka hadapi berdua. Orangtuaku, di mana mereka? Kenapa tidak menjenguk nenek? Aku bertanya. Lalu nenek dan kakek menjawab, kata mereka orangtuaku sudah 2 tahun meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Bagaimana aku bisa tidak mengingatnya.

Aku melakukan banyak hal seharian bersama nenek dan kakek. Berkebun, memasak, memijat mereka. Mimpi itu datang saat aku menyisir rambut nenek dengan uban penuh di kepala, rambut itu perlahan menghitam, tubuhnya mengecil, kerut-kerut waktu pada wajahnya menghilang. semua terjadi perlahan, semua melayang, semua berputar.

"Ibu, sudah selesai mengepang rambutku? Ibu kenapa melamun lagi. Aku akan terlambat ke sekolah, bu"

"I..iya"

Aku kembali mengepang rambutnya. Putri kecilku, Bianca. Matanya lincah, bibir tipisnya tidak pernah diam, kulit putihnya kemerahan diterpa matahari pagi. Wajahnya mirip aku, sangat mirip. Aku bahkan merasa sedang menyisir rambutku sendiri, mengepang rambutku, dan bicara sendiri pada diriku. Bianca memang mirip aku. Selesai mengepang rambut Bianca, aku menyuapinya sarapan.

"Apa ibu nanti malam pergi lagi seperti biasa?"

"Iya, sayang. Tapi kau akan ditemani mbak Sulis"

"Iya, aku tahu. Setiap malam dia menemaniku sampai ibu pulang pagi bukan?"

"Kenapa Bianca bicara begini lagi, bukannya kau sudah berjanji tidak lagi mengatakan, menanyakan atau mempermasalahkan, masalah ini?"

Dia hanya diam menatapku, tapi setiap kata yang kuucapkan menghasilkan perih dalam hatiku sendiri. Bening hangat mulai memenuhi ruang-ruang kosong mata. Kesepian mencengkramku. Tubuhku kembali melayang. Kudapati diriku dengan seragam merah putih, Tuhan mimpi ini lagi? apa ini. Aku mencubit tanganku sendiri. Sakit. Ini bukan mimpi.

"Bianca!"

"Hai, Fen"

Dari mana aku mengetahui nama gadis itu, bagaimana bisa aku tidak asing dengan wajahnya.

"Sudah selesaikan pekerjaan rumahmu?"

"Belum"

"Lagi-lagi kau tidak mengerjakannya, kau mau dihukum lagi?"

"Aku benci dihukum"

"Kalau begitu salin punyaku sekarang"

"Aku tidak ingin mengerjakan apapun"

"Baiklah, biar aku yang mengerjakannya untukmu"

Senyumku mengembang, tidak terarah. Kadang aku merasakan kehilangan kewarasanku, tapi aku yakin sekali tidak. Tidak berapa lama aku mendapati semua PR ku terisi sempurna, aku mengucapkan terimakasih kepadanya. Bel masuk berbunyi. Kami memasuki kelas. Di sini ramai, tapi aku merasa anak-anak itu seperti tidak bernyawa, mereka bergerak hanya matanya tidak hidup, ke mana pun mereka menatap, ke mana pun mata mereka mengarah, mata itu tidak bergerak. Kuduk kubergidik, ngeri. Kulirik gadis yang tadi mengerjakan pekerjaan rumahku, tatapannya sama dengan yang lain. Aku merasa masuk ke dalam mimpi buruk, mimpi buruk yang berbatasan dengan mimpi-mimpi baik. Aku kembali melayang.

"Kau tak apa?"

"Y..ya. Aku baik-baik saja" jawabku tergagap.

"Bel masuk sudah berbunyi tapi kau masih di sini. Apa kau tidak ada jadwal mengajar?"

Petir itu kembali menyambarku. Aku semakin tidak mengerti kehidupan mana yang benar-benar aku jalani. Aku memandangi sebuah kubikel kecil penuh buku di hadapanku. Mengedarkan pandangan ke setiap sudut, lemari-lemari kaca penuh buku, kubikel-kubikel padat. Lalu kembali tertuju pada meja kerja yang sedang aku tempati. Mataku terfokus pada satu bundel ordner tebal bertuliskan RPP ESL 2004-2005.

"Apa kau tidak punya jadwal mengajar?"

"A..ada"

Aku segera bergegas, mengambil beberapa buku cetak. Berjalan terburu-buru. Menuju kelas yang isi nya murid-murid berseragam putih abu-abu. Aku menarik nafas panjang. Memasuki ruangan.

"Greetings!"

"Good afternoon, Miss Bianca"

"Good afternoon"

Waktu berjalan gamang. Terus berputar, setiap detiknya seperti membawaku berlari ke tempat yang tidak aku tahu, tapi aku tahu. Bisa bayangkan? Kau tidak tahu tapi kau tahu. Bisa bayangkan bagaimana? Semua bergejolak. Aku bergegas keluar setelah menyelesaikan tugas mengajarku. Aku harus pergi mencari apapun yang bisa memberitahuku. Gamang tubuhku kembali merasa melayang. Berputar-putar.

"Bianca, mau makan apa?"

"A..aku, apapun, bu"

"Kamu kenapa?"

"Nggak apa-apa, ayah"

"Dari tadi, kau seperti orang kebingungan"

Aku berada dalam kendaraan roda empat bersama dengan orangtuaku, ayah dan ibu. Kami sedang melakukan perjalanan menuju Bandung, tiga puluh menit sebelum kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang membunuh kedua orangtuaku. Aku sendiri. Kesepian. Ketakutan. Keluarga ibu dan ayah sepakat aku akan diasuh nenek dan kakek dari pihak ibu. Aku menghabiskan tahun-tahunku di sana. Membantu nenek sebagai pemeras susu sapi. Mengubur banyak mimpi.

Aku lega, tahun-tahun penuh mimpiku berakhir. Sampai satu pagi yang lain, semua mimpi itu mencuriku lagi. Aku berada di sebuah altar besar, deretan antrian panjang manusia melewati dan menyalamiku. Pernikahan.

"Aku mencintaimu" bisik pria itu pelan.

"Kau siapa?"

"Hahaha, kau bercanda seperti ini lagi sayang dan ini tidak lucu"

"M..maaf sayang"



***

Suatu sore, Klinik Psikosomatik

"Hari ini bagaimana kondisinya, ada perkembangan?"

"Dia belum sadar dari kondisi katatoniknya, masih sangat labil. Dia selalu membuat sistem proteksi baru dan melawannya sendiri, mempertanyakannya sendiri. Kebingungan di dalam tubuhnya"

"Aku harap nenekku bisa pulih"

Bianca mengelus kepala wanita tua dengan uban penuh di kepala, gurat-gurat keriput waktu menggaris wajahnya, rasanya seperti mengelus kepalanya sendiri.

Mimpi itu masih kembali, tidak pergi. Halusinasi panjang.

Kamis, 05 Juni 2014

MUSIM: BUNGA YANG CEMBURU

Pagi ini aku mendengar bunga menangis. Katanya dia cemburu karena di dalam hatiku tanah lebih subur dan bunga-bunga lebih indah. Lalu aku bilang "tidak, tidak, sama saja" tapi bunga tetap bersedih, tidak percaya. 

"Dalam hatimu bunga tidak pernah gugur"

"Iya" untuk ini aku tidak lagi mampu menghiburnya.

Bunga menangis lagi.

"Tapi bukan berarti karena dalam hatiku bunga tidak gugur artinya kamu tidak menjadi lebih indah"

"Dalam musim di hatimu bungan tidak layu dan kehilangan warna"

Aku tersenyum. Aku sudah tahu yang bunga butuhkan.

"Kau hanya perlu jatuh cinta pada orang yang tepat, bunga. Saat jatuh pada yang tepat dia akan menangkapmu sebelum kau terjerembab. Saat jatuh pada yang tepat makan musim tidak akan mengubah apapun darimu. Kau tidak pernah layu dan kehilangan warna"

Bunga tersenyum saat aku beritahu rahasia kesuburan tanah dalam 

Rabu, 04 Juni 2014

MUSIM: BUNGA-BUNGA YANG TIDAK DIGUGURKAN KEMARAU

Dalam hatiku musim masih menunjukan waktu-waktu untuk terus mencintaimu. Seperti bunga-bunga yang semai dan tak gugur saat kemarau ada. Lalu bagaimana jika setiap musim aku terus berkembang dan memecahkan wadahku tertanam. Aku akan terus mengakar kuat mengingatmu. Berhenti sebentar pun lupa. Mungkin benar kata orang. Waktu mengubah segalanya. Termasuk rasa yang dulu besar dan kini semakin besar.

Musim hari ini menunjukan waktu badai di hatiku. Badai-badai yang lupa pula cara mereda. Badai yang menerbangkan biji-biji buah yang perlahan berubah menjadi pohon-pohon teduh. Badai yang menumbuhkan beribu-ribu pohon cinta yang aku jaga dengan sungguh. Badai yang terduduk sepasang kita dengan puisi yang dilahirkan oleh mata. Kata mati. Rasa hati. Musim terus membawaku dan membawamu untuk kita. Musim tidak berhenti.

Bulan ini kita menambah usia bersama. Usia kebersamaan. Usia yang aku lupa kapan ditumbuhkan. Musim lagi yang menyemainya. Musim yang tidak berlalu. Tidak akan pernah berlalu. Musim yang ada dan hidup dalam kita. Hatimu bagai tanah subur dan aku seperti tumbuhan yang tidak bosan menghibur. Meperindah kita. Terus dan terus menancapkan kuat akar-akarku di tubuhmu. Musim tidak pernah berhenti. Rasaku tidak pernah mati.

Musim menbawa kita pada jarak dan pelukan yang jarang. Tapi ternyata hati lebih kuat untuk tidak terhadang pada apapun penghalang. Musim terus semi. Bunga-bunga terus mekar indah. Warna-warna tidak pernah pudar. Rasa buah tidak ada yang yang hambar. Di musim kita. Semua bisa dinikmati. Musim terus membawa dalam ruang dalam. Menumbuhkan semua yang tumbuh tidak satu pun layu. Musim terus semi.

Minggu, 01 Juni 2014

PEREMPUAN: YANG DEKAT DENGAN KEMATIAN

Langit memerah. Burung-burung gagak berterbangan di atap rumah. Angin berputing. Bumi mendingin, dinginnya menjalari ketakutan. Gelap perlahan menguasai senja. Aku diam, tidak bergerak. Amarah memenuhi merajam-rajam hatiku dengan kerikil kehidupan yang entah.



***

Aku akan membunuhnya, bunda. Aku terduduk di meja makan, sudah beberapa jam aku mencoba tidur tapi kamarku terasa panas mungkin juga hatiku yang panas. Pikiranku melayang jauh. Tadi aku mencoba menenangkan bunda tapi nyatanya aku pun kacau tiada kira. Aku memeluk sebuah gambar yang baru ku buat, gambar yang penuh merah dan hitam. Gambar yang aku gambar dengan sakit hati tajam dan emosi yang meluap-luap. Sampai aku merasa ada sesuatu yang menikamku, bagian tubuh belakangku, menembus ginjal. Sakit menjalar. Tubuhku terasa basah, cairan itu hangat; darah. Mataku memberat. Mungkin tertidur. Mungkin juga hanya memejam. Pelan-pelan tubuhku ringan, melayang. Aku tidur. Udara semakin dingin. Tubuhku pun dingin.

***

Eve tertatih keluar kamar, dipanggilnya nama anaknya. Kenapa pagi ini begitu sepi; batin eve. 'Tyas, Tyas'. Eve mulai mencari ke segala penjuru rumah, didapati anak perempuan kesayangannya telungkup tidak bernyawa di atas meja makan. Tubuhnya penuh tusukan. Jantungnya berdetak beribu kali lebih cepat. Tubuh Eve mematung, nafasnya tertahan. Semua gelap.

***

2 minggu yang lalu keributan terjadi di sekolah. Ah apa yang terjadi dengan mereka, apa buat mereka ini aneh. Kenapa mereka heran dengan kelakuanku. Ada apa? Aku hanya mencekik seekor kucing kecil. Apa itu mengerikan. Kenapa guru-guru sepanik ini, apa ini sesuatu ketidak wajaran? Aku hanya ingin tahu. Ternyata tercekik seperti itu membuat kita kehabisan nafas. Mereka memanggil bunda dan menceritakan tentang ulahku, aku tahu bunda tidak akan marah. Ini biasa kami dapati di rumah. Bahkan aku rasa bunda adalah manusia yang paling dekat dengan kematian, ditampar, dihantam, ditinju atau pun ditunjang tepat di wajah itu hal yang biasa ia dapati. Bahkan pagi tadi, sebuah cengkraman kuat menjadi sarapan pagi untuknya, cengkraman di leher itu seperti hampir mematahkan tulang-tulangnya. Saat detik-detik nafasnya akan hilang, lelaki yang ku panggil ayah melepaskan dan melempar dia seakan dia hanya sebuah onggokan tak berarti. Ia berusaha mengambil nafas dari segala penjuru seperti ikan yang di keluarkan dari air. Mencoba terus bernafas dalam rasa sakitnya. Air mata menderas. Dia menangis, aku menangis. Kami berdua menangis memandangi punggung ayah yang berjalan pergi.

Kepala sekolah menanyakan apa yang terjadi padaku, lucu. Harusnya bunda yang menanyakan apa yang terjadi tadi. Tapi tidak, bunda hanya bisa diam. Sadar tidak akan mendapati jawaban apapun. Seperti sebuah pemakluman timbul dalam hati wanita yang menjadi pemimpin di sekolahku. Aku pun tahu, di kampungku orang-orang sudah tahu yang terjadi dalam keluarga kami. Jadi diam bunda adalah sebuah jawaban yang terbaca. Akhirnya hari ini aku diperbolehkan pulang lebih cepat.

Dalam perjalanan pulang kami sama-sama diam. Aku tahu ngilu masih mencengkram leher bunda. Masih ada ketakutan di matanya. Sesampainya di rumah air matanya menderas. Dia berjalan menuju gudang, mengambil sebuah rotan besar pemukul kasur. Matanya marah. Aku bergidik.

" Bunda, bunda. Maafkan Tyas"

tapi wanita itu terus berjalan mendekat. Dia berubah mengerikan. Dia memukulku dengan rotan besar.

"Anak kurang ajar! Anak setan! Kenapa kau seperti ayahmu. Kenapa kau!"

"Ampun bunda sakit bunda" rotan besar itu bertubi-tubi dipukulkan ke tubuh kecilku. Amarahku membesar, pelan-pelan mengakar.

 " Ayah, aku membencimu "

***

Malam terasa dingin, hujan deras di luar. Perempuan dalam cermin itu diam, tangannya terus menyisir rambut panjangnya secara perlahan, gerakannya selembut daun yang diterbangkan angin, begitu ringan beberapa kali terlihat tidak bernyawa. Kepedihan tergurat jelas di wajahnya, di tubuhnya. Aku tidak tahu siapa dia. Aku yakin itu bukan aku. Tubuh penuh lebam ini bukan tubuhku. Matanya menyala marah. Iya itu tubuhku. Waktu telah mengubahku.

Sebuah tangan kecil menarik ujung baju dasternya, iya menoleh ke bawah dilihatnya seorang anak perempuan kecil dengan crayon gambar, tangan dan tubuhnya penuh luka. Lebam. Matanya sembab.

"Tyas, kamu kenapa nak? Kenapa tubuhmu penuh lebam? Apa ayah memukulmu?"

"Tidak bunda, aku tadi hanya terjatuh"

Gadis perempuan itu berbohong tentang luka-luka yang didapatinya. Luka itu jelas ia dapati tadi siang. Dari sebuah rotan pemukul kasur yang dilibaskan seorang wanita yang melemparkan pertanyaan beberapa menit lalu. Tapi dia tidak mau melukai hati bundanya, cukup keadaan yang sudah melukai otaknya.

Aku tahu ada sesuatu yang sudah merusakmu dari dalam, bunda. Aku tahu tekanan itu pelan-pelan memakanmu. Kamu lebih rapuh dari sebuah kayu lapuk yang dimakanin ribuan rayap. Aku tahu kamu sakit, bunda.

'Bunda, aku lapar'

Wanita itu tersenyum, lembut. Mengajakku ke dapur. Membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa sayuran yang mulai membusuk. Diletakkannya di atas piringku dan piringnya. Lalu dia menuju tempat penyimpanan beras mengambilkan beberapa mug beras untukku dan dia. Ia memakannya dengan tatapan kosong, aku pun memakan makan malamku.

***

Malam itu kami tidur bersisian. Derit kipas angin berdebu cukup menghibur kesepian yang mengisi malam-malam kami.

" Apa kau mencintai ayah, Tyas?"

"Tidak, bunda. Aku takut. Bukankah cinta tidak menakutkan? Bagaimana denganmu? "

"Tidak tahu, aku bahkan tidak ingat apa pernah mencintainya. Bukankah cinta tidak memberimu rasa takut?"

Yang aku tahu, aku dan dia adalah sepasang anak muda yang melakukan kesalahan. Bermodal uang menginap di losmen murahan. Aku dan dia saling merengkuh kenikmatan yang sakit. Mungkin dulu, jauh sebelum aku takut. Aku pernah mencintainya, Tyas. Aku mengandungmu. Lalu aku mengadu pada orangtuaku. Mereka malu. Mereka meminta kami untuk segera menikah. Dia menolak saat aku mengatakan yang dikatakan orangtuaku padanya. Aku pulang dan menyampaikan penolakannya. Orangtuaku murka. Malam itu kami mendatangi rumahnya. Berbicara langsung pada orang tua nya. Bermodal sama-sama ingin menyelamatkan muka. Pernikahan aku dan dia diputuskan mereka, orangtua kami. Malam itu matanya gelap, dia begitu marah. Aku tidak paham kenapa dia menatapku begitu marah. Dia menuruti orangtuanya dengan kemarahan. Dia menikahiku tapi dia begitu membenci pernikahan kami. Setelah hari itu dia berubah, terus berubah.

***

Ibu-ku hidup seperti dalam sebuah naskah cerita yang begitu menderita, yang bertokoh perempuan yang selalu tersiksa dan penuh luka.

Pagi dengan keributan mengerikan, sebuah gelas melayang ke wajah bunda. Jelas aku melihatnya. Seperti biasa, tidak sampai di situ. Ayah terus memukulinya. 30 menit yang lalu, ibu ku meminta sejumlah uang untuk uang sekolahku dan membeli beberapa bahan makanan. Kulkas kami kosong, beras saja yang tersisa dan beberapa sayur yang sudah benar-benar busuk di kulkas. Mungkin itu menyinggungnya. Ayah begitu marah. Memukuli bunda. Ayah menendang perutnya, menyiram secangkir teh yang masih panas ke tubuhnya. Bunda hanya bisa tercekat. Tidak bisa menangis. Tidak juga bersuara. Hanya tatapan kosong penuh luka dan kesakitan yang menganga di dada. Ia memakan kesedihannya.

Setelah ayah pergi aku keluar. Membawa setengah baskom air hangat kuku dan sepotong handuk kecil untuk mengompres luka bunda. Aku mengusap perlahan, setiap usapan itu menyakitkan hatiku. Tapi tidak sedikit pun bunda bergeming. Tidak menangis tidak pula meringis. Diam. Mungkin sakitnya sudah sangat dalam. Air mata itu pun memendam. Kemarahan dalam dadaku mengakar. Menancap kuat. Sangat kuat. Aku menangis.

***

Aku tidak mau makan, bunda. Aku tidak lapar. Tyas berbicara dengan gemetar. Tetapi wanita itu tetap berjalan perlahan ke dapur. Memotong-motong sayuran busuk mencampurnya dengan air panas dan mencampur beras ke dalamnya.

"Makanlah, Tyas" aku menyuruhnya sambil menyuapkan makanan yang sama ke dalam mulutku. Tyas diam, tidak memakannya.

"TYAS!! MAKAN" aku melemparkan piring ke wajahnya. Dia tergugu. Tidak menangis, tidak juga meringis. Aku menendang dan memukulinya. Tyas diam. Aku memecahkan semua piring. Semua yang bisa aku pecahkan. Aku lelah. Aku masuk ke kamarku. Aku bersembunyi di sana. Aku tertidur.

***

Langit memerah. Burung-burung gagak berterbangan di atap rumah. Angin berputing. Bumi menjalarkan dingin yang tidak biasa. Gelap perlahan menguasai senja. Malam sudah datang.

Amarah di dada wanita itu masih ada. Entah pada siapa. Tapi amarah ini benar-benar membuatnya sakit. Dia kesal. Dendamnya yang mengakar seakan sudah pada puncak-puncak lepas. Tidak lagi ada pengendalian diri yang bisa dia lakukan. Tubuhnya panas. Matanya panas. Air mata nya menderas. Dia bisa menangis lagi. Perlahan ia keluar menuju dapur. Jalan terseok-seok. Tanpa tenaga dan perut laparnya.

"Laki-laki bangsat. Kenapa tega kau minum darahku?" Pertanyaan dilontarkan ntah pada siapa.

Sesampainya di dapur dia duduk. Diam. Tidak mengerjakan apapun. Perutnya lapar. Dia sangat lapar. Sangat sakit pula di hatinya. Digenggamnya sebuah pisau dapur tajam. Genggaman yang kuat, seakan tidak akan pernah melepaskan pisau itu. Perlahan dia berjalan menuju meja makan. Di meja itu terduduk seseorang. Seseorang yang diam dan tidak tahu kedatangannya. Amarahnya kembali hidup.

"Anak setan, ini semua karena kau. Jika kau tidak ada saat itu. Jika kau mati dalam kandunganku. Aku dan Anakku tidak akan menderita" batinnya mengila.

Sebuah tusukan tepat menembus ginjal, dicabutnya dan ditusukan lagi. Dicabutnya dan ditusukannya lagi. Gadis kecil itu diam. Tidak menangis, tidak juga meringis. Rasa panas yang menjalari tubuhnya tadi perlahan berubah dingin. Matanya berat. Rasanya melayang. Tyas kecil tertidur di atas goresan gambar merah hitam yang baru saja digambarnya. Darah masih mengalir deras, pelan-pelan tubuhnya dingin. Eve hanya memandangnya dengan tatapan kosong. Lalu kembali ke kamar dan tidur. Sampai hari menghantarnya pada sebuah pagi dengan keterkejutan yang luar biasa.