Rabu, 30 Oktober 2013

Pojok Sepi

Tuhan.. Mencintai terkadang sebuah kesalahan. Mungkin aku si lumpuh ini hambatan untuk dia berjalan, mungkin aku si bisu ini tak punya mulut dengan kata-kata yang menenangkan. Tapi aku bisa mendengar,melihat, merasa. Berdoa untukmu dari dalam.

Minggu, 27 Oktober 2013

Badut Taman Kota


" Dini hari ditemukan lelaki terkapar tak bernyawa. Tubuhnya disorot para pencari berita. Di tangannya terpatri tatto bentuk hati tepat di urat nadi " . Mati!
 Pasar malam belakang taman kota, seorang badut kehilangan harga dirinya. Ingin menangis, tapi uang membayarnya sebagai mesin penghasil gelak tawa.
 Kembali ke setengah jam silam. Dandanan tebal sembunyi wajah, aroma gulali, balon warna warni dan musik berisik, tapi justru matanya yang terusik. Pendengarannya serasa mati, badut itu sedang menghibur sepasang kekasih. Tawa sekitar pelan-pelan meredup, mata si badut panas berkedut, tulang-tulangnya gemetar. Rindu dalam dadanya mendekap maju. Dia ingat wanita pujaannya, kesayangannya. Taman hiburan terasa semakin kaku. Bisu!. Sepasang kekasih tadi masih asyik sibuk bermain rasa, digenggam mesra. Kontras!
 Mereka berlalu, badut duduk di kursi taman. Membuka ulang kotak masuk pesan di handphonenya. Tertera pesan dari kekasih hatinya, pacar pertamanya.

*Ibu* "Nak, sesudah belajar kelompok langsung pulang. Lalui jalan yang ramai. Ibu antar risoles dulu ke taman kota buat arisan bu Ratna , cari tambahan buat obat bapak. Mungkin agak sedikit malam pulangnya, hati-hati".

•Badut taman kota wajahmu dipenuhi topeng bahagia penutup duka.
•Badut taman kota kau penghasil tawa, menghibur mereka lepas dari lara.
•Badut taman kota, kemiskinan buat cerita ini tanpa perlu rekayasa tentang kesakitan hatimu tiada tara.
•Lalu siapa yang menghibur nanti saat duka dan harga dirimu yang dimatikan paksa?
•Akhirnya kau memilih menatto tanganmu dengan bentuk hati terpatri di urat nadi.

Jumat, 25 Oktober 2013

Menunggu

 Sebut saja dia gadis tanpa nama, karena sampai hari ini aku memang tidak pernah tau siapa namanya.
 Aku selalu bertemu dia di taman dekat sekolah, entah dia bersekolah di sekolah yang sama denganku, entah dari sekolah lain disekitar sini. Dia selalu terlihat mengunakan rok abu-abu dengan atasan yang terbalut jaket. Sampai hari ini aku tidak pernah tau siapa namanya, dan apa yang membuatnya menunggu ditaman itu. Yang aku tau wajahnya cukup manis, hanya dia tak pernah tersenyum sekalipun pada apapun yang melintas di hadapannya, seakan waktu berputar diantara peraduan otaknya. Dia hanya duduk berjam-jam, makan sesuatu dari kotak yang dia bawa, menyuap pelan. Terkadang mengerikan, tp sering buat aku penasaran. Dengan dia yang demikian. Sering kali aku ingin menyapa untuk sekedar bertukar nama. Tapi tidak, dia benar-benar seperti tidak perduli akan sekitar. Sibuk dengan entah apa didalam ingatan.
 Aku sempat berpikir dia ini gadis patah hati yang sedang menikmati sakit seakan cerita FTV remaja, tapi adakala nya aku pun dapat merasakan "larut" dalam pikirannya. Kenangan! Mungkin itu yang sedang ia nikmati, awalnya aku kira hanya beberapa hari dia begini. Tapi setelah aku sadari. Dia cukup serius bermain ingatan, hampir 1 bulan dia duduk disini, pulang, pergi dan datang kemari lagi.
 Entah bodoh atau apa, rasa penasaran ku membuat aku mengikutinya. Duduk disalah satu kursi taman itu, tidak dekat. Tapi cukup untuk melihat apa yang dikerjakannya. Ah..wajahnya datar, tapi jelas ada kesedihan yang dalam, tapi sering kali juga kudapati dia tersenyum tanpa beban. semakin membuatku berkelebat dengan tanda tanya, ada apa dengannya.

 Hari ini di jam yang sama, pukul 15.00 wib. Sepulang sekolah ku dapati lagi gadis itu duduk manis di kursi-kursi taman. Sore ini langit mendung, tampak akan turun hujan. Tapi aku tau dia tidak akan pergi meninggalkan tempat ini sebelum senja hilang. Ya.. dia memang tidak akan kebasahan, kursi-kursi taman ini memiliki atap. Bisa dikatakan mirip dengan halte pemberhentian, iya benar.. Pemberhentian kenangan untuk gadis tanpa nama.
 Aku ragu antara memilih pergi atau tetap ikut menunggu dengannya, ikut larut dalam entah apa antara kami. Akhirnya aku memilih tetap disini, bermain dengan ketidak jelasan penantian. Setengah jam dari aku ikut menunggu, hujan benar turun. Sedikit membasahiku. Tapi ada rasa yang aneh juga dalam diri, apa mungkin aku sudah benar-benar terbawa melodi. Aku teringat beberapa kenangan, dan kembali ku buang. Aku sedikit tau, salah satu yang membuatnya betah disini adalah memori yang terputar lagi.
Hari ini perjuanganku sedikit membuahkan hasil, gadis tanpa nama menoleh ke arahku. Kali ini dia seakan tau, aku duduk disini ini mencari tau. Jelas, aku ikut menunggu hujan dan tak pergi tadi saat mendung datang.
 Dia melihatku, tidak aneh. Itu anehnya kenapa dia tidak merasa aneh melihat orang duduk di taman berhari-hari, berjam-jam. Sedangkan buatku dia aneh. Aku bingung, antara ingin mulai pembicaraan atau tetap diam, sampai kapan?. Akhirnya aku mencoba, melambaikan tangan untuknya "hai.. Kamu. Boleh aku duduk disitu? Atap tempatku bocor. Aku sedikit kebasahan" kataku jujur. Dia membalas dengan gerakan tangan seperti memanggilku kesana, kata-kata ku memang jujur, tapi sedikit bodoh. Jika menunggu dibawah atap kursi aku kebasahan, menyebrang tempatnya pun demikian. Semoga dia tidak sadar.
 Aku berlari, mendatangi gadis itu. Sesampai disana aku langsung mengusap-usap tubuhku. Sedikit dingin!. "Hai aku Ruuni" ku ulurkan tanganku, dia mengulurkan tangannya sebagai jawaban sambil tersenyum. "Sedang apa menunggu apa" katanya lagi. Demi tuhan apa dia tak sadar pertanyaan itu lebih pantas jika ku todong padanya. Aku harus jawab apa. Aku tak tau apa yang harus kukatakan

. " Enggak..cuma suka duduk disini " kataku tanpa berpikir.

" Kamu sendiri? "

" Menunggu "

 Hanya itu yang terucapnya. Aku ingin bertanya lebih tapi takut menganggunya yang sedang sibuk dengan menunggu yang tak ku tau. Aku memilih diam dan tersenyum, tanpa menlanjutkan pembicaraan. Dalam hati sekantong tanya merekah lagi, apa yang ia tunggu?.
 Pukul 16.30 wib sudah 1 jam aku duduk bersebelahan dengan gadis tanpa nama. Dengan pembicaraan yang terhenti 60 menit lalu juga, seadaanya. Aku memulai lagi,

" Kamu sekolah disini juga? "

" Enggak... aku sekolah ditempat lain "

" Aku sering lihat kamu kemari, menunggu apa? "

"Sudah lama ya? Kamu mau tanya itu hahahaha"

Dia ternyata tidak semengerikan dugaanku, dia bisa tertawa. Membuat aku sedikit tenang dan ikut tertawa juga. Sampai akhirnya dia melanjutkan kata-katanya.

" Aku menunggu, hanya menunggu. Hujan datang, senja hilang, mengabadikan kenangan, mengulang, setelah gelap aku pulang. Suatu hari dia datang dan aku masih menunggu, aku menunggu. Dulu dia memangku ku disini, mungkin dia lupa aku gadis yang sama. Jadi aku disini sebagai pengingatnya, aku masih mau makan di taman, aku tidak suka tidur siang dengan segala kebosanan "

" Dia? " Tanyaku dalam hati, belum sempat aku menanyakannya dia sudah dulu bicara.

" Aku pulang dulu, sampai bertemu besok lagi "

" Iya, hati-hati. Aku juga kembali "

 Pembicaraanku terpotong disana, Sudah waktunya kami pulang, dalam perjalanan aku terdiam panjang, pertanyaan yang mengantung sama seperti jawabann. Sekantong tanya  tak sempatku keluarkan. Mungkin lain waktu, setelah kami lebih akrab. Tentu!


•Senja hilang, aku kembali pulang
•Petang datang, aku kembali hilang
•Aku ini apa sayang?
•Alang-alang tanpa bayang, Kesepian menggerayang.

              •BERSAMBUNG•


Malam yang kesal


 Aku marah bukan tanpa alasan, tapi untuk sebuah tamparan yang berkali-kali "ibu" berikan. Aku lelah jadi boneka. Aku lelah harus jadi barang rekayasa, pakai ini pakai itu. Aku ingin pakai yang kumiliki, jadi dan berdiri dengan tangan sendiri. Harga aku si cacat ini!
 Apa aku terlihat manja? Apa aku terlihat seperti gadis-gadis boneka yang menyebalkan di etalase mall? Aku tidak!. Aku memilih dengan buku-buku dan sketsa-sketsa gaun-gaunku. Aku memilih menjahit dan mengambar pola-pola baju. Aku bekerja walau sudah kau cukupi apa saja, aku bekerja untuk tau rasa seberapa susah kau!. Tapi? Kau lakukan apa? Memaksaku tanpa mau tau aku, tanpa tau bebanku, merasa aku bahagia tanpa ada waktu mengurusiku? Merasa aku bahagia tanpa tau rasanya jadi aku,

Ada waktu untuk sisir rambutku ibu? Tentu tidak pekerjaanmu menunggu :)

Kamis, 24 Oktober 2013

Pluviophile

Merasakan ketenangan saat rintik menyentuh setiap jengkal pori. Hujan itu ajaib melipat gandakan kebahagiaan dan menernak kesedihan. Kita dalam meresap di keduanya, sedih dan bahagia yang disesap bersamaan. :)

Pojok Sepi

siang

"Plaaakkk"

Kenapa? Kamu mau nya apa?

"Aku bosan, kan sudah aku bilang"

Seorang gadis sesegukan, sepi menampar ganas wajahnya. Kebosanan penantian mulai menganggu, tapi hati terpaku. Kembali memutuskan menunggu.

Rabu, 23 Oktober 2013

Negeri Seribu Mati

 Selamat pagi negeri seribu mati, jarang terlihat pelagi disini, Seringnya polisi berpangkat kecil ditembaki, Aktivis HAM yang diracuni dan juga tentang pengingat sejarah yang dipukuli. Disini juga ada kisah bunda putri yang lebih di tanggapi petinggi dari pada mengurus kami, anak pertiwi.
 Setiap pagi kami tidak cuma hirup asap polusi tapi juga asap korupsi. "masih butuh perumpamaan ternyata kita memang belum merdeka hanya puisi yang membebaskan diri, seolah ibu pertiwi masih tanah suci yang dimakan rakyat sendiri bukan ekspor-impor sana sini?"

 Wiji thukul pun habis sudah kiasan, anak istri di introgasi setelah lihat namanya di tv.
"Waktu aku jadi buronan politik
karena bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik
namaku diumumkan di koran-koran
rumahku digrebek --biniku diteror
dipanggil Koramil diinterogasi diintimidasi
(anakku --4 th-- melihatnya!)
masihkah kau membutuhkan perumpamaan
untuk mengatakan: AKU TIDAK MERDEKA" - Wiji thukul.


 Sempurna bumi kami saat ini, sempurna untuk tempat bunuh diri, mati sendiri, atau dibunuh tanpa bukti. Sempurna untuk menahan lapar dan makan nasi basi. Juga sempurna untuk minum limbah industri.

Tidak Ada Judul Untuk Ini

  Aku begitu tersipu, dalam semua doa hati ini tersenyum malu-malu, Tuan. Aku ingin menyapamu. Dengar? Kau dengar sapaan ku? Tadi dalam sujud itu aku menyapamu, pada Tuhanku, aku mengadu betapa hati ini tak boleh menyebut kata rindu. Aku menyapamu lewat tulisan kalbu, aksara yang kau pikir debu. Tak terlihat di matamu aku menahan amarah yang begitu besar. Sangat besar luar biasa besar pada jarak yang membelenggu. Tak tahan ingin aku berteriak rindu, tak bisa. Hati menahan, tak perlu ucapkan kata itu untuk kau tau. Cukup rasakan bagaimana bahu ini mencoba bersandar, bagaimana tulang-tulang ini menunggu gemetar, mencari kepastian cerita aku dan kau. Ntah dimana ,jalan-jalan yang tertapak dulu. Aku melewatinya tapi semua tak tampak sama?. Mengapa tanpamu dunia rasanya berbeda?. Ada apa dengan mata ku?. Ada apa dengan aku. Aku menunggu di tempat yang ku sebut pojok sepi, disana ku lukis wajahmu dengan tinta yang ku campur air mata hati, siapapun tak mau melihatnya. Lukisan itu terlalu hadirkan duka. Bagaimana setiap hari ku aduk kopi untukmu dan ku sedu sendiri, seakan kau yang menghabiskan seperti dulu, bagaimana untuk menjaga semua mawar yang kau beri dan dirimu pergi saat ini tak disisi, menuntut ilmu menambah isi.
 Kau tau bagaimana aku menahan untuk tidak menangis saat kau menelpon ku setiap bagun pagi atau tidur malam hari?. Bagaimana aku buang semua bantal dan kasur dari kamar ini?. Ruang batu kosong, hampa.
  Tak ada kau tak ada aku. Seperti itu yang ku rasa, ntah naif atau terlalu jatuh cinta. Aku selalu berduka saat kau tak ada, hari dan senyum ku seperti nya tercipta hanya untuk menyambut bahu dan tubuh mu yang ku cinta, Aku tak bisa
 berkata. Aku diam-diam cerita pada temanku, malam. Asap kopi dan rokok beradu satu dalam paru-paru si gadis yang menangis bisu, menatap televisi tanpa suara. Mulut saja yang bergerak tak terdengar apapun, seakan semua kata ikut tertelan dalam kesedihan yang melandaku. Aku rapuh sangat luar biasa rapuh!
 Cita-cita kita yang terlalu tinggi membuat kita saat ini harus saling sendiri, tuhan amini hubungan kami, (Ku mohon).

23 oktober 2013


  • Semakin malam semakin larut
  • di dadaku pelan-pelan berdenyut
  • Ada sesuatu yang terlalu terpaut
  • Rindu ini yang entah kapan tersambut


Aku rindu kau menemaniku, pagi, siang, petang, malam. Memeluk ringkih tubuh yang tertatih, semakin larut semakin aku membaut, semua penantian termetamorfosa romansa kalut. Lagu bermelankoli dengan sepi-sepi. Seakan hari esok tak ada lagi, dan lirik ini berakhir dengan "aku rindu bersandar padamu. Seperti semua waktu yang kumiliki dulu".

NO RAIN NO RAINBOW

... No Rain
... No Rainbow
 Tanpa hujan tak ada pelangi. Tanpa sulit, kau tak tau rasanya mudah. Tanpa sahabat? (Jangan bayangkan itu), Kau tau punya apapun, tak punya pahit tak punya manis, mengerikan!. Hujan sangat menyayangi pelangi, dia rela menangis hanya untuk dapat melihatnya melukis lazuardi.

... No Rain
... No Rainbow
 Setelah aku berhenti, pelangi adalah ganti. Menenangkan hati-hati yang sedang menikmati melankoli. Tanah basah, rumput basah, garis warna-warni dan secangkir kopi.Indah!
 
... No rain
... No Rainbow
 Setelah aku berhenti dunia ku mohon jangan menangis lagi, ku tinggalkan pelangi, jadikan warna dalam puisi. Aku mencintainya dan rela mati. Abadikan kisahku dalam bait-bait hati.

... No rain
... No rainbow
 Hujan dan pelangi sahabat tanpa batas hati, tanpa batas hari. Seberapa jauh aku pergi semakin dekat aku kembali.