Senin, 01 Desember 2014

Setelah 3

Dulu kataku sebaik-baiknya pergi adalah pulang. Tapi hari setelah 3 sebaik-baiknya pulang adalah tetap buta pada kenyataan.

Seberat-beratnya pengakuan adalah ketiadaan kau, yang tepat sebulan kurang satu hari lalu pergi. Aku semacam pulang berjudi dengan kekuatan sendiri. Bisa tabah melihat tempat tidurmu benar-benar kosong, atau aku justru meraung sepatah-patahnya aku. Jejak pertama masih kuat, masih seperti tabah entah beberapa jejak lalu nanti. Harap-harap tak patah. Setelah 3 segala harapku telah kubur, bersama tutup matamu. Tapi percayalah, mimpi yang terbelakang sudah disusun dan diucap lantang padamu akan dipenuhi. Pantang, ayah, pantang, tidak kau ajar aku mundur dalam perang, bahkan dalam nasib sendiri, pantang.

Setelah 3 esok, kuatku tumbuh dari hal yang kukuatkan sendiri. Yakinlah.

Rabu, 05 November 2014

November: 3 Menjelang 4

Hai, laki-laki, kabarnya kau pergi meninggalkan gadis kecil yang tak beribu 22 tahun ini? Kabarnya kau pergi memenuhi buku nasib, atau surat gores takdir? Maaf tak bisa mengantarmu, ayah.

Aku ingin pulang, sangat ingin pulang, membawamu ke tanah sulawesi kita, membawamu ke tempat ibu, tempat impian, tempat dia menyatu dengan bumi dan menjadi bagian dari banyak sekali tumbuhan. Setelah mati kita memang hidup lagi, aku percaya, tubuh kita menjadi bagian dari tumbuhan menjadi bagian dari gemuk-gemuk cacing, beranak pinak dan bertambah banyak. Aku ingin sekali pulang, ayah. Ingin, tapi kau tak mau menunggu, atau barangkali kau mau, tapi Tuhan tak sabar ingin bersamamu.

Engkau, ayah. Diciptakan dari tanah dan kembali ke tanah. Kau pulang ke rumah istrimu yang menunggu 22 tahun lalu. Pulang ke rumah dekat ladang, tanah hijau. Jawa tak lagi tempat, kuperjuangkan rumah untukmu. Sulawesi.


Ayah, bagaimana rasanya tak lagi merasa sakit? Lega? Bahagia? Sedih tak? kau lihat gadismu yang tak beribu kini pun tak berayah? Tapi sekarang aku lebih kuat, jauh-jauh sangat kuat. Hampir tak pecah, jika Tuhan tak kehendak, hampir tak goyah, jika Tuhan tak kehendak, hampir tak merasakan pedih, jika Tuhan tak kehendak.

Ayah, oh, Ayah tak pernah kau nyanyikan aku "nina bobo" kau titipkan namaku sebagai hujan, untuk menyirami kalian.

Ayah, oh, ayah, tak pernah kau peluk aku lama, tak pernah kau lihat mataku dalam. Kau bicara mengawang, melihat pada segala arah tapi tidak padaku, tahu aku tahu, tahu sekali aku, itu pedih, melihat gadismu besar sendirian, itu pedih, tahu aku tahu.

Melihat mata yang serupa istri yang kau cinta yang meninggalkanmu beban seorang gadis yang tak tahu harus kau apakan. Tahu aku tahu, pedih, saat namaku mengingatkanmu pada kesedihan.

Tak lagi ada kuat tabahmu oh puisi sapardi, hujanku lebih badai, hujan gadis kecil yang novembernya duka. Tak ada, oh tak ada sapardi. Hujanku bukan November rainnya Gun N Rose, bukan pula air mata Ibrahim sebelum menyembelih Ismail. Hujanku badai, badai yang kuat. Tak menghancurkan, tapi menebar bibit hidup baru, menyemai biji, menebar serbuk-serbuk sari.

Ayah, jalanlah. Aku menyusul nanti saat penuh sudah janjiku.

Rabu, 03 September 2014

Tuan Domba Jantan : Rindu Di Siang Terik Dengan Gerimis Tipis

Selamat siang, Tuan Domba Jantan yang Saya Cinta.

Dari tempat yang jauh siang terik dengan gerimis tipis ini saya ingin menyampaikan tentang kerinduan saya padamu, merindukan melihatmu, diam-diam seperti apa-apa yang sudah setahun ini saya lakukan. Mendatangimu di kota sebelah tempat saya tinggal. Bermacet-macet hanya untuk melihatmu sebentar tanpa menyapa, mencari-cari keberadaan kamu, yang sangat jarang bisa saya temui, kota itu terlampau luas untuk kemampuan ingatan saya menghapal jalan yang terbatas. Dan juga keterbatasan informasi tentangmu dan keberadaanmu. Jadi saya akan terus menerus melihat linikala untuk mengetahui kamu di mana, mencari tempat itu dengan segala keterbatasan penguasaan saya pada ibukota, lucu.

Dari tempat yang jauh ini, baru saja saya meneriaki namamu ke luas lautan, tapi tetap berharap kamu tidak mendengarnya. Sudah pasti saya akan salah tingkah setengah mati jika sampai kamu mengetahui perasaan aneh ini.


Beberapa waktu lalu hampir setiap malam saya menunggu kamu menyapa, iya, waktumu selalu larut, karena siang pun saya habiskan untuk bekerja di sini. Tapi jika kamu mengajak saya bicara, segala waktu seakan memang sudah harusnya tersedia. Saya seperti memiliki kewajiban untuk hati saya menyediakan waktu untuk memuaskannya, bertukar-tambah denganmu.


Tuan Domba jantan, nona kalajengking ini sangat merindukanmu dengan sungguh. Sudah lama aku tidak merapal nama seseorang lelaki lain selain ayah dan orang yang sangat menyakiti saya. Sekarang ada rapalan nama baru dalam doa, namamu. Nama yang setiap saya menyebutnya membuat dada saya bergejolak, membuat jiwa saya jatuh pada sesuatu yang nyaman tanpa tahu dari mana asalnya. Perasaan ini terjaga baik. Bahkan saat kamu belum tersentuh.

Beberapa malam saya sedikit cemburu. Namun kembali saya tahu akan keterbatasan saya, kita, ah mungkin ya hanya saya. Saya cemburu pada perempuan yang menemanimu beberapa waktu. Juga pada perempuan yang Kamu jadikan puisi. Tapi segala itu tidak pernah bisa membuat saya peduli untuk menjauhi apa yang tidak saya jangkau. Saya tetap mencintaimu sungguh-sungguh.

Kamu seseorang yang bisa membuang luka lama yang teramat jauh. Luka yang tidak tahu bagaimana hitamnya. Saya tidak paham kekuatan apa yang membawa saya tenggelam ke palung jauh, dasar mencintaimu. Saya tidak paham seberapa besar ombak menyeret saya dan menguasai saya dalam segalamu. Saya tidak paham bagaimana semua saya basah akan segala yang saya inginkan. Saya ingin mencintaimu. Entah berbalas atau tidak. Karena jatuh cinta bukan perkara tuntas. Cinta adalah sesuatu yang tidak selesai, seperti saya pada kamu. Ya, saya tidak pernah selesai. Tidak mau usai.


Tuan Domba Jantan, apa semalam kamu tidur cepat? Apa mimpimu. Tadi malam saya tidur tanpa mimpi apapun, padahal saya berharap bermimpi kamu. Bisa melihat dua bongkah telur bulat di pipi lucumu, senyummu, segalamu. Karena saat ini saya sedang berada di tempat yang jauh dan sedang kesulitan untuk menuntaskan rindu yang tak tuntas tadi padamu.

Nanti, saat saya pulang. Izinkan saya berlama-lama gugup di hadapanmu, ya. Izinkan saya duduk dengan berganti-ganti posisi setiap detiknya, izinkan tangan-tangan saya basah, izinkan pipi saya memerah, izinkan mata saya menatap malu-malu. Izinkan saya, menyimpan rasa dengan berhadapan dengan kamu yang saya cinta.

Di siang terik yang gerimis ini, saya berdoa untuk bisa terus menjatuhkan diri saya dengan baik pada cintamu yang rahasia.


Tertanda: Nona kalajengking yang berdiam diri di Pluto.

Rabu, 06 Agustus 2014

Tuan Domba Jantan

Mungkin saya termasuk orang yang sangat mengagumi isi kepala seseorang. Seperti saat ini, saya benar-benar senang mencintai isi kepala kamu.


Saya merasa gak sabar ingin kembali membuka lembar-lembar buku yang isinya berasal dari kepala kamu.


Saya sedang menunggu, bahkan saya sering menunggu kamu ada di linimasa untuk melihat, saat ini cuaca di kepalamu seperti apa. Dan semua yang kamu buat, untuk saya menyenangkan.


Tadi pagi saya bicara dengan seorang teman yang juga kamu kenal. Dia membahas kisah cintanya yang bertarung dengan jarak dan saya bercerita tentang kamu. Walau saya tidak menyebut namamu.

Saya bercerita tentang bagaimana seseorang yang awalnya tidak saya kenal bisa membuat saya jatuh dalam satu perasaan yang baik. Membuat kesedihan yang memenuhi kepala dan rongga dada merasa tidak lagi betah berada di sana.

Bagaimana menyenangkannya perasaan saya melihat kamu melintas, atau membaca nama kamu di apa-apa yang saya temui.


Jadi saat ini kamu semacam endorfin buat saya, dan saya semacam putri malu, yang malu-malu tapi kadang sengaja menyentuhkan diri untuk dilihat kamu.

Tuan domba jantan dari planet Mars, Hujan yang gerai sedang menuliskan kamu di saat hujan sedang derai. Dengan secangkir kopi yang biasanya kamu sebut-sebut setiap pagi.


Pernah satu kali saya melihat kamu langsung tanpa batas, di satu tempat yang ramai dan kamu yang sedang sangat lalai.

Hormone dewa bahagia mendadak mengalir kuat, kelenjar pituatuitary saya menghasilkannya dengan hebat.

Bertindak seperti morphine, bahkan 200 kali lipat lebih hebat. Saat ini kamu seperti zat penghilang rasa sakit terbaik, yang entah bagaimana bisa begitu berfungsi di dalam sini.

Kamu bisa membuat saya berhenti menulis tentang sesuatu yang setiap saya menorehnya selalu menghasilkan petir dalam dada dan hujan yang mengalir dari dua bola mata.




Tertanda,
Nona kalajengking yang berdiam diri di pluto.

Senin, 04 Agustus 2014

Dear Tuanblablabladariplanetmars

Dear Tuanblablabladariplanetmars,


" Ada yang lucu. Saya menyukaimu dan sudah sangat lama, dari awal membacamu. Sampai akhirnya melihat kamu menyebut nama saya... "


Jadi gini, jauh sebelum hari di mana kamu mulai membalas mengikuti saya, saya cukup dan cukup lama menunggu untuk bisa kamu pedulikan. Bukan kepedulian yang seperti "bla..bla..bla"

Saya cuma pengen dibalas sama kamu dan saya senang. Tapi hari di mana kamu ngikutin saya, itu hari di mana saya benar-benar gugup, benar-benar caper, benar-benar sengaja keluar setelah ada kamu.


Saya sering ngelonjak girang, saat enggak sengaja liat kamu muncul setelah 'bla..bla..bla' saya. Mungkin saat ini saya semacam anak kecil yang menyukai teman kecilnya dan malu untuk melakukan apa-apa saat dia sedang ada.

Saya sering gugup ngehapus balasan pesan yang saya akan balas ke kamu berulang-ulang. Mungkin kamu juga gak tahu gugupnya saya waktu kamu 'bla..bla..bla'. Saya bener-bener sedang 'bla..bla..bla' sama kamu, ya sangat sangat menyukaimu. Saya merasakan semua dari lembar-lembar yang saya baca, lembar-lembar yang asalnya dari kepalamu. Dan semua isi kepala kamu membuat saya 'bla..bla'


Hey..hey..tenang aja, saya cukup diam untuk tidak bertidak berlebihan atau buat kamu jengah. Saya janji..!


Saya senang, buat saya kamu benar-benar menyenangkan. Mungkin aneh, tapi orang jatuh suka, jatuh cinta, memang dengan cara yang rupa-rupa dan tidak serupa. Jangan kira ini terlalu cepat. Jangan kira saya mulai begini saat kamu mulai ada dan bisa melihat saya. Ini sudah sangat lama, saya diam sangat lama. Sebelum akhirnya 'bla..bla..bla'


Bahagia ya, kamu. Saya cukup bahagia dengan begini, mikirin kamu atau 'bla..bla..bla-in' kamu dari sini. Saya bisa nyimpan ini dan jatuh dengan baik-baik dalam perasaan yang saya tahu sendiri.



Tertanda,
Nona Kalajengkingyangberdiamdiridipluto


*


PS: Makasih sudah buat saya bahagia disaat kesedihan sempat lama memenuhi kepala dan rongga-rongga dada.

PPS: Saya sedang menyicil bahagia


Kamis, 31 Juli 2014

Dik MeL

Teruntuk kamu, seorang yang sudah aku anggap belahan diriku (bukan jiwa, untuk kamu aku ndak mau terlalu puitis) aku tahu saat ini kamu sedang mati rasa, tidak begitu sakit, dan sudah mulai terbiasa. Aku senang kamu mendengarku, dik mel. Tertawalah dik Mel, aku pun ngeli menulis tulisan ini. Tapi saat ini aku sedang ingin mengadu, lewat surat ini.

Aku sedang merasakan kebas. Tidak mati rasa tapi kebas. Kabar baiknya baru saja aku menangis. Tidak lama hanya sebentar. Dada kusesak, ada beberapa bagian yang terasa patah. Tidak tahu, di mana. Ada rasa sakit yang tiba-tiba berlipat ganda. Ada patah hati untuk hal yang kurahasiakan.

Aku membaca puisimu. Dan sialnya luka ini terbuka pada dadaku, aku marah. Maaf sebagai kakak yang tidak terlampau kuat menjagamu. Sehingga kamu harus mengulang sesuatu yang harusnya sudah kuwanti-wanti. Maaf kalau sakitmu menjadi. Tapi aku tahu, ini sudah sembuh. Ini sudah membaik, hanya sesal ini tumbuh kembali setelah membaca Diary digitalmu. Aku membayangkan senyum lebarmu terasa asin karena air matamu sendiri. Senyum anak gajah yang manis, semarah apapun sesakit apapun. Tetap jadi anak gajah yang tersenyum. Cepat (benar-benar) sembuh hatimu, dik Mel.


*brb ambil baskom*

Rabu, 30 Juli 2014

Mau Tidur Lagi

Aku duduk dengan secangkir kopi pahit di depanku. Dengan rasa yang tidak kalah pahit pula. Aku memandangi isi cangkirku, hitam kelam. Seperti rahasia yang di simpan dalam lorong-lorong gelap panjang. Seperti kau, yang sedang menutupi banyak hal.

Aku mencoba menenangkan getar-getirku. Mencoba menganggap ini bukan apa-apa. Kenyataannya aku patah hati. Dan kau lagi-lagi tidak peduli.

Banyak pesan di akun media sosial yang mencoba menghiburkan. Menganggu-ganggu agar pipiku geli dan tertarik-tarik untuk tersenyum.

Cuma bisa sebentar...

Selebihnya aku gila menunggumu. Aku menyesap kopiku, rasanya pahit. Tidak ada gula dan sedikit campuran garam seperti biasa. Iya ini hanya kopi dengan air panas, yang sangat panas. Mendidih semacam hatiku, mungkin.

Pahit belum cukup meredam. Walau aroma kopi sudah sedikit membuat hatiku tenang. Wanita tidak bisa tenang secepat dia gamang, memang.

Berjalan...

Menuju kamar mandi. Kaki-kaki kulemah. Aku malas. Aku ingin menyiram tubuhku dengan air dingin. Atau mungkin merendam kepalaku dalam bak sampai lagi-lagi kehabisan nafas.

Bukan, bukan bunuh diri.
Hanya ingin berhenti bernafas sebentar atau anggaplah ini latihan menjadi ikan.

Di depan pintu kamar mandi, aku terlalu malas membukannya. Menyebalkan.

Aku berbalik arah, berjalan lebih cepat menuju kamar. Kembali mencari pesanmu. Berharap melihat kabarmu. Masih tidak ada.

aku kembali pada tumpukan kapas besar. Aku mau tidur saja.

...

Aku terbangun dengan tidak baik-baik saja. Ada rasa berat memukul kepalaku, seperti habis kejatuhan godam raksasa. Aku mencari kamu dan pesanmu. Tidak ada.

Mungkin kau lupa atau sedang terlalu sibuk. Pagi ini aku mencoba tidak begitu peduli. Tapi justru jadinya aku mengirim pesan padamu bertubi-tubi.

Aku bangun dengan jengkel, berjalan menuju dapur. Mengambil gelas, dan mencari kotak kopi. Aku sedang ingin menambah pahit dalam dada. Getar-getar menyebalkan

Aku, Di Bawah Meja Kopimu

Kesedihan dalam dadaku sedang memuncak. Semacam bom waktu atau apapun yang meledak lainnya.

Udara menipis setiap kali ingatan memutar ke arahmu. Air mata mengenang, berkali-kali kuseka dan dia mengenang lagi.

Semacam kekecewaan bertubi-tubi, tentang kamu yang tidak pernah sadar akan kehilangan aku yang bersembunyi di bawah meja kopimu.


Aku dekat, di bawahmu. Bersembunyi di dekatmu. Berharap mendengar kehilanganmu tentang keberadaanku yang tidak terlihat.
Tapi yang terdengar justru ketidak pedulian. Kamu tidak peduli, bahkan tidak sadar kalau bangku depanmu kosong.

Bangku yang aku duduki tadi, saat kamu memalingkan wajah beberapa detik. Aku bersembunyi di kolong meja. Diam, menunggu. Aku tertidur, menunggu kepeduliamu. Lalu saat bangun kamu tidak lagi duduk di situ.

Aku yang gila mencarimu ke semua penjuru. Kamu tidak di situ. Aku mencarimu terus. Kamu tidak ada. Kamu meninggalkan aku, yang bersembunyi di dekatmu.

Kamu pulang lebih dulu, tanpa sadar kalau aku tidak ada bersamamu seperti saat kita pergi.

Aku diam...

Aku kembali masuk ke bawah meja kopi tempatku sembunyi tadi. Aku menunggumu lagi. Mengulang kekecewaanku lagi. Menghantam hatiku sendiri. Membiru lebamkan tubuhku. Aku melukai hatiku berkali-kali.

Waktu kehilangan cara mengusirku dari menunggumu. Sampai akhirnya aku tidak menemukan apapun. Aku diam...

Aku masih bersembunyi di dekatmu. Masih berharap mendengar kepedulianmu. Lama-lama aku kesal. Mencoba menghapus namamu, tapi tidak menghapusmu. Mencoba menghapus namamu. Bukan mengahapus rasaku.

Aku masih bersembunyi. Kali ini di balik punggungmu.

Selasa, 29 Juli 2014

Pikir Sendiri Judulnya

Mungkin kau tidak berpikir sebelum mulai menamparku. Aku bisa saja membalasmu, tapi aku diam. Bukan tidak bisa atau tidak mau, apalagi tidak tega. Dalam kamus hidupku hampir tidak ada kata tidak tega untuk berlaku buruk. Aku bukan seseorang yang berprilaku baik-baik amat, atau si pintar ngomong yang suka ngobral omongan yang sok benar. Hanya aku memilih diam, menyimpan dendamku dalam-dalam dan menghajarmu ribuan kali lipat dari tamparan ini. Tapi mungkin bisa jadi aku akan menjadi pemaaf yang baik, dan itu sangat jarang.

Harusnya kau berpikir sebelum mencari gara-gara dengan seorang pendendam yang baik sepertiku, tapi aku rasa otakmu terlalu tumpul. Kau pun pintar berpura-pura setelah segala kesalahanmu. Bodohnya kau kepura-puraanmu terlalu tipis untuk menutupinya dari mataku. Bedanya kita aku seseorang yang tidak bisa berpura-pura manis untuk membenci. Saat benci aku benci.

Sekarang perasaanku gamang, bukan memikirkanmu. Tapi memikirkan diriku. Aku tidak suka sakit hati. Aku lebih senang melihat kau yang sakit, dengan kepala pecah atau usus memburai. Atau jika aku bisa membunuhmu, akan aku sumpal mulutmu dengan rambut-rambut di kepala dan kemaluanmu, sampai kau mati kehabisan nafas dengan mata melotot.

Kenapa?

Karena agar kau tahu bagaimana sesak dadaku malam ini menahan marah dan mengumpati semua manusia di depanku. Agar kau tahu rasanya kehilangan nafas di udara bebas. Agar kau paham bagaimana geram gertak grahamku menahan ringam.

Aku tidak suka dibuat marah. Aku tidak suka. 

Senin, 28 Juli 2014

Kebas

Aku sedang baik-baiknya tidak begitu banyam meracau. Aku sedang dalam kondisi yang begitu baik, tidak begitu muak dan tidak begitu senang. Aku sedang sangat luarbiasa dengan diam dan rasa-rasa hambar dalam dada. Bukan mati rasa. Tapi kebas sementara.

Aku sedang sehat-sehatnya, sedang merasa tidak begitu rindu. Sedang gampangnya teralihkan dengan semua hal. Aku bisa tidak begitu memikirkanmu. Aku sedang dalam kondisi luarbiasa, tida begitu memusingkan semua hal yang biasanya membuat kepalaku berputar keras sekali.

Aku sedang dalam musim yang begitu tenang, tidak hujan, tidak panas, tidak kekeringan, tidak kebasahan. Bunga-bunga harum, tapi tidak pula sangat menyengat. Aku sedang dalam kondisi luarbiasa.

Aku seperti habis beku, tidak mencair. Tapi kebas. Tidak mati rasa. Hanya kebas sementara. Seperti kesemutan. Tidak bisa membedakan rasa. Begitu banyak geli. Hanya kebas. Aku sedang dalam kondisi menyenangkan. Hanya kebas.

Aku sedang dalam kondisi luarbiasa. Bukan mati rasa. Hanya kebas sementara. Selebihnya aku masih mencintaimu. Nanti-nanti. Aku sedang kebas saat ini. Selebihnya aku masih merindukanmu. Nanti-nanti. Tapi ya sekarang aku sedang kebas.

Aku masih mencintaimu. Nanti-nanti. Aku sedang kebas. Mungkin terlalu banyak dingin. Tapi aku tidak berharap panas atau hangat. Aku sedang dalam kondisi yang baik. Aku masih mencintaimu. Nanti-nanti. Tapi saat ini aku sedang kebas, sementara. Bukan mati rasa.

Sabtu, 26 Juli 2014

Parah

Akui saja, kalau mulutmu sendiri tidak bisa menjaga rahasiamu. Akui saja kalau kau tidak lagi bisa berahasia apa-apa dariku. Seperti aku dengan mulut diamku tapi justru mata yang mulai jalang menceritakan rahasia-rahasia hatiku yang jatuh cinta setiap hari padamu.

Aku menyusun rapi bait-bait yang anggaplah ini puisi atau surat-surat murahan yang sering kamu temu masa sekolah dulu. Bukan, ini bukan surat cinta. Ini sesuatu.

Semacam aku sering salah tingkah saat memikirkanmu. Mengangkat telponmu pun masih sering aku berdandan dulu.

Semacam aku bingung, tanganku terus mau menoreh entah apa-apa. Semacam aku ingin mengirimkan begitu banyak pesan. Aku ingin terus kau baca, aku ingin terus kau baca.

Semacam ingin menampar-namparmu setiap waktu. Aku rindu! Ingat aku!

Semacam aku tidak lagi bisa menguasai kewarasanku. Semacam kau begitu menyebalkan, semacam siang ini terlalu penuh rindu. Atau rindu selalu tidak kenal waktu saat berkaitan denganmu.

aku ingin jadi pakaian yang nanti kau pakai setiap hari. Aku ingin menjadi kulit yang menutupi setiap jengkalmu, aku ingin menjadi sesuatu yang entah apapun. Aku kacau lagi. Aku menulis sesuatu yang tak tentu lagi. Aku merindukanmu. Parah.

Sabtu, 19 Juli 2014

Kamu, Semesta Yang Aku Ciptakan Memenuhi Ruang-RuangKu

"Kamu satu dari banyak hal yang aku kekalkan dalam kepalaku. Sesuatu yang aku cari sesudah bangun dan sebelum tidurku. Seseorang yang selalu mendapatkan kabarku terlalu pagi, sebelum aku pergi, bahkan sebelum aku mandi, bahkan sebelum aku bangkit dari tempat tidurku, bahkan sebelum aku memulai apapun. Seseorang yang aku puja dengan massa yang memenuhi ruang-ruang kepala.."

Kamu seseuatu yang tidak pernah sama, sesuatu yang menyebalkan. Juga sesuatu yang membuat aku jatuh cinta, tertawa, bahagia, menangis, merindu dan jutaan rasa lain yang tidak bisa aku sebutkan satu-satu. Kamu sebagian besar diri yang aku jaga, bahkan dari pikiran-pikiran buruk yang akan melukai, dari tutur yang tidak sengaja bisa membuat kita bertikai dan menyakitkan hati.

"Kamu sesuatu yang tidak mudah. Kamu sesuatu yang mudah. Kamu segalanya..."

Kamu bahagia yang terdalam dan bahagia terluar. Kamu terlihat mata dan terasa hati. Meninggalkan detak-debar dalam dada. Kamu serupa mesin waktu yang bisa membawaku keseluruh massa, membuat aku mengingat semuanya, memutar-mutar aku di dalamnya, bersamamu. Kamu rangkaian kata yang tidak terhingga angka, kubaca dengan lantang sayang. Kamu terus menjadi sesuatu yang memenuhi semestaku. Kamu pusat titik rindu dan aku merotasimu.

Bisa terbayangkan bagaimana aku menganggapmu? Aku saja suka kacau mencoba-coba menerka seberapa dalam kedalaman perasaan yang ada dalam bongkahan daging yang dihimpit tulang-tulang rusukku. Aku gagal dalam menghitung jumlah. Dan aku malas untuk mengulanginya, aku mencintaimu dengan bertambah setiap harinya.

"Kamu, semesta yang kuciptakan memenuhi semua, dalam ruang-ruangku.."

Jumat, 18 Juli 2014

Cerpen Seno Gumira: Sepotong Senja Untuk Pacarku

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.

Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.

“Catat nomernya! Catat nomernya!”

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.

“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.

“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.

Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.

Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”

Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.

Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.

Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.

“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”

Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….

Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.

Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…

Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.

Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

–Cerpen Pililihan Kompas 1993

Rabu, 16 Juli 2014

Surat Benci Untuk Kalian

Dicintai kalian? Biasa saja. Apa yang luar biasa dari kalian? Kalian cuma orang-orang bodoh yang tertawa dengan lelucon yang sama berkali-kali, yang menangis dan marah saat salah satu tersakiti, yang terus dia di grup whatsapp dan melihat last seen satu sama lain.

Kalian biasa saja, tidak ada lebihnya, kekurangan penuh di mana-mana, sering menyebalkan, tidak pernah tepat waktu, bebal. Kalian biasa saja, tapi untukku ini sudah sempurna. Ada orang-orang yang bisa selalu membuat aku marah dan mengulang rindu berkali-kali ya kalian. Ada orang-orang yang membuat aku mengingat proses yang dulu juga aku jalani ya kalian. Ada orang-orang gila yang menggoceh tengah malam sendirian, bahkan si gila Dhika berbicara dan menetap terus di grup whatsapp pertama mengoceh tanpa ada yang mendengar. Si gila melda berhujan-hujan demi pulsa. Si gila gayung yang siap sedia setelah perang selesai. Si gila nini yang sekarang sibuk dan selalu dirindukan (gombal), si gila yani, ummi, yang entahlah... mungkin kotak tertawa memang benar-benar ada, manusia ini selalu konyol. Lalu bayu "we miss you" ini udah perwakilan kecil dari semua rindu kami yang entah harus gimana numpahinnya, makasih menjadi orang yang tetap tenang saat yang lain kebakaran. Aku sayang kalian, mungkin, ya sedikit.

Jadi kita pernah hujan-hujanan di dalam sana, mendengar cerita-cerita yang entah apa. Melontarkan kata-kata yang lebih kasar dari apapun untuk ditertawakan, berharap hp ummi error setiap kita semua lagi pada ngomong kotor.

Kita pernah berantem dan baikan, salutnya ya kita enggak pernah pergi. Aku bahkan pernah ngambek sama Dhika dan ngusir dia karena nggak pernah ngomong tapi dia enggak mau "kalau mau kick, gpp" cuma itu katanya.

Ummi, kita pernah telponan dan nangis-nangisan tengah malam, yes? Makasih udah jadi penenang dalam sakit-sakit yang sering muncul tiba-tiba.

Melda, entahlah. Ada banyak aku di dalam kamu, enggak keseluruhan, cuma cara mencintai kita sama (ummi bilang). Bedanya kamu masih bisa seperti ini dan aku yang sekarang sudah terlalu angkuh untuk mengakui, aku mengeraskan diri dan jika patah, patahannya pun sering mencapkan serpihan-serpihan sakit yang kacau. Ada banyak aku di kamu, dari cara kita mencintai. Aku harap kamu juga menemukan pelabuhan tanpa berpindah-pindah seperti aku, nanti.

Nini, cemungudh eah neng. Aku teh sayang pisan ke kamu. Secapek apapun semangat jangan kendor, makan dijaga, jangan lupa shalat dan doa. Dan jangan lupa ngabarin keadaan kamu. Seneng ya sama kerjaannya. Mudah rezeki :*

Gayung, yung rumah tetangga ke bakar dua minggu lalu, lu kemana?
"Maaf kak, tadi habis nimba pake besekan sayur yang bolong-bolong"
WESBIASYAAAA

Bayu, hallo tuan penyair. Inget dulu kita duel? Tapi endingnya aku jadi pasangan Yani Anisha malam itu dan kamu eng ing eng, sama ucup. Kamu kemana? Kami kangen kamu, kamu tahu sekarang sejak enggak ada kamu, aku enggak bisa puasa marah-marah soalnya si gayung nimba pake besek, kan dulu kamu yang suka ngademin kita, kamu kayak pohon bay, dilempar pake batu selalu membalas dengan buah walau kadang rantingnya sekalian. Hahahaha "we miss you"

Makasih kalian, aku bangga dicintai orang-orang yang enggak pernah mau melangkah pergi "se-bangsat-apa" berulah, tetap ada yang paham dan anggap "ah, biasa ini mah. Ah, entar juga adem sendiri" sampai tua ya.

Jumat, 11 Juli 2014

Sketsa Mimpi : #1



Rumah kayu sederhana, di tengah hutan atau di salah satu sudut kota kecil yang asing untuk kita, itu adalah mimpi yang pernah aku ucapkan, iya bukan? Aku ingin tinggal di tempat yang jauh dari kesibukan kita sekarang. Nanti saat kita mulai menua, tidak terlalu tua, tapi mungkin di usia sekitar awal empat puluhan. Aku ingin menghabiskan waktu denganmu, mengingat Tuhan, menghargai waktu. Bahkan aku berharap tinggal di tempat yang tidak ada listrik, bergelap-gelap berdua dalam doa, tidak perlu ada Tv, cukup suara kita, aku ingin penghujung waktu benar-benar mengisi hidupku denganmu. Mengganti hari-hari kita yang pernah dicuri kesibukan.

"Aku ingin tinggal di rumah kayu sederhana"

"Apa pun maumu"

"Aku ingin denganmu saja"

"Aku pun begitu"

Percakapan singkat yang manis. Aku rasa berbuka puasa dengan membaca pesan-pesanmu sudah sangat mengisi energiku, aku tidak tahu di antara kita siapa yang beruntung mendapatkan siapa, yang jelas kita berdua beruntung karena saling memiliki.

Ratus ribu jutaan sketsa mimpi yang terucap tak pernah putus aku aamiin--kan, kau tahu setinggi apa aku sandarkan cita-cita dan pengharapan pada pundakmu? Sangat tinggi. Aku yakin kau sangat kokoh untuk menampung mimpi-mimpiku. Mungkin aku seperti mesin reproduksi mimpi dan kau kenyataan yang berwujud, bisa kupeluk, dan menampar-namparku untuk terus mewujudkan semuanya. Aku ingin denganmu, dalam setiap doa ucap itu tak putus kupinta.

Aku ingin menikmati udara pagi, berjalan tanpa alas kaki, menyium aroma mawar pagi hari, memasak sayur-sayuran yang kita tanam di halaman belakang, berternak itik, ayam dan ikan. Sebulan sekali kita ke kota dengan mobil pick up untuk membeli perlengkapan rumah, perjalanan jauh dan tua yang menyenangkan. Sepanjang jalan menikmati lagu-lagu kini yang akan berubah jadi lagu-lagu nostalgia nanti. Menyambut senja bersama terpaan hangat aroma dandelion yang sederhana, Selepas makan malam, kita akan duduk di beranda, menelpon anak-cucu kita, menanyakan kabar mereka, melihat bintang, hujan, atau apapun yang diturunkan Tuhan untuk kita nikmati, mengisi dan terus mengisi. manis--sangat--manis.

Malam hari, menjelang tidur aku akan memelukmu erat, dengan balutan selimut hangat. Tertawa-tawa tentang apa-apa yang konyol, bercerita tentang hari-hari pernah sibuk yang membosankan. Merencanakan bangun pagi dan berjalan-jalan untuk kesehatan, menanyakan besok kau mau makan apa? Dan seperti yang sudah aku tahu, kau pasti akan menjawab, sambal goreng telur puyuh atau ayam goreng dan semua makanan yang bersambal. Sebelum tidur kita akan berdoa, untuk terus melihat satu sama lain sampai pagi datang dan datang dan datang mengulang hari, mengulang apapun yang terjadi denganmu, sampai kita benar-benar pergi pada perjalanan jauh yang lain.

Kamis, 10 Juli 2014

#KAMISAN 8 : Perlina - Neng Ai



Kejadian ini terjadi beberapa bulan lalu, saat aku pulang kampung ke suatu daerah sebelah barat Tasikmalaya. Ada satu tradisi di kampungku pada hari tertentu di beberapa bulan tertentu sekitar pukul 11-12 malam, anak-anak laki-laki dan bapak-bapak berpawai obor keliling desa. Dimulai dari gapura yang ada tepat di pintu masuk dan berakhir di kompleks perkuburan warga setempat.

Aku sempat bertanya pada Nini (panggilan untuk nenek) kenapa pawai ini harus diakhiri di perkuburan tua yang menyeramkan itu, kuburan di kampungku terkenal angker, hampir setiap kali mengadakan tradisi pawai obor keliling selalu ada yang kesurupan di daerah itu. Suhu di perkuburan pun sangat dingin, dingin yang mencekam, yang merindingkan bulu-bulu kudukmu, membuat kaku ujung kaki-kakimu dan membuat matamu selalu waspada pada setiap sudut.


"Rek kumaha ge sadaya jelema pasti maot, jadi panghuni kuburan keur ujung kahirupan, kari ngadagoan dinten amal jeung dosa urang dietang. Mantakna pawai obor teh diujungan di kompleks kuburan ujung desa" kata nini.


Dan benar kehidupan manusia berujung pada kematian. Mungkin tradisi ini sebuah penyadaran, untuk kita tetap menjaga apa-apa yang kita buat.

Kuburan di kampungku memang letaknya berbatasan dengan ujung desa, langsung dengan bukit-bukit dan hutan-hutan bambu lembab. Sekitar 1 minggu yang lalu, di sana ditemukan mayat Neng Ai, bunga desa yang terbunuh tragis, mulutnya sobek, tubuhnya penuh luka lebam, beberapa bagian wajahnya rusak akibat siraman air keras. Neng Ai, Kasihan betul Neng Ai, batinku. Padahal selama ini Neng Ai terkenal ramah dan baik, tidak pula memiliki musuh. Nasib buruk menimpanya saat dia memutuskan menikah dengan pejabat desa sebelah, Neng Ai mati dibunuh istri sah lelaki yang menikah sirih dengannya 7 bulan lalu. "Hah, kumaha jadi teringat Neng Ai kieu" aku tersetak dari lamunanku dan bergegas menuju kamar mandi untuk bersiap-siap mengikuti pawai obor nanti malam. Aku merasa ada sesuatu yang memantau setiap gerak-gerikku, sesuatu yang tidak terlihat.

*

Malam itu, udara dingin, wajar saja, sore tadi hujan menguyur bumi sangat deras. Pawai obor baru akan dimulai setelah pembacaan doa pembuka. Cahaya dari obor dan bunyi-bunyi kentongan yang dibawa warga, mengisi malam dingin desa. Kami mulai berjalan berkeliling. Sepanjang jalan aku sendiri sibuk mengabadikan gambar-gambar tradisi desa kami, tak ingin momen ini perlina begitu saja termakan zaman, tergerus waktu.

Setelah dua jam pawai obor, kami mulai memasuki kompleks perkuburan untuk penutupan pawai. Disekeliling kuburan terdapat hutan-hutan bambu lebat, lembab dan tinggi. Perasaanku mulai tak enak, aku memandang sekelilingku, semua masih biasa.

Acara penutupan dimulai, awalnya kami sama-sama berdoa yang dipimpin sesepuh desa, suasana sangat hening. Entah mengapa sedari tadi aku merasa ditatapi. Lalu sayup-sayup terdengar olehku potongan tembang Lingsir Wengi, aku tidak tahu dari mana asalnya. Pelan, tapi menyakitkan telinga.

"Lingsir wengi sliramu tumeking sirno, Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro..."

Aku melihat ke sebelahku, mang ujang masih saja merunduk berdoa, lalu aku memandang sekelilingku, tanpa sengaja mataku menangkap sesuatu di antara rimbun pepohonan bambu, sesuatu yang putih dan melayang. Aku langsung menunduk, jantungku berdetak keras sekali, dalam hati aku tak sudah berdoa, aku sangat takut saat itu. Tidak lama terdengar suara cekikikan wanita, merindingkan bulu kudukku. Aku melihat kembali ke arah mang ujang dan yang lain, mereka seakan tidak terganggu, seperti tidak mendengar apapun. Lalu entah kenapa, aku merasa tubuhku berat. Sangat berat dan panas, aarggghhh..kepalaku begitu sakit. Orang-orang sekelilingku menjauh, mereka membaca doa dan melihat-lihat ke arahku, aku merasa tubuhku semakin panas. Aku kembali mendengar suara cekikikan itu, semakin dekat. Astaga..! Aku mendengarnya dari mulutku, aku dengan tanganku yang bergerak-gerak seolah sedang merapikan rambut, aku merasakan tanganku membelai rambut yang sangat panjang menjuntai seperti berasal dari kepalaku. Sesepuh desa mendekat ke padaku, membacakan doa-doa yang semakin lama semakin membuatku panas. Kepala ini seperti tertusuk ribuan paku beton, sakit, sangat sakit. Lalu terdengar tangisan dan suara menyedihkan seorang wanita.


"Aku teh Neng Ai, pak. Aku teh Neng Ai... huhuhuhu" entah bagaimana suara wanita itu keluar dari mulutku, aku berbicara di luar keinginanku. €Tubuhku saat itu terasa sangat berat.

"Neng Ai, pulanglah, alammu bukan di sini. Jangan ganggu"


"Tolong, saya mau minta tolong. Tolong sampaikan ke ibu neng Ai minta maaf tidak mendengar ibu, tolong bilang ke ibu, neng Ai tidak pernah tenang sebelum ibu maafkan"


Akhirnya sesepuh desa memegang kepalaku. Aku meronta kuat, memaki-maki dan menatapnya tajam, tapi perlahan tubuhku merasa ringan dan pelan-pelan semua berputar, gelap dan semakin gelap.

*

Saat bangun, aku sudah berada di rumah, ramai sekali. Kata nini, aku sudah tertidur selama tiga hari, kadang menangis, tertawa, cekikikan terus menerus, ternyata aku keserupan arwah Neng Ai, ia menempati tubuhku selama tiga hari ini dan tadi sekitar dua jam yang lalu Neng Ai baru saja pergi, setelah ibu--nya datang dan memberikan maaf pada Neng Ai. Malam itu kami mengadakan doa bersama, untuk Neng Ai, agar tidak menganggu lagi.

Inspiresyen: Nightmare Side radio Ardan 105.9FM Bandung, setiap hari kamis dari pukul 22.00-24.00 wib. Bisa streaming lewat gadget kamu loh. Tapi ingat...Jangan prnah dengerin Nightmare Side sendirian, apalagi sama pacar orang. JANGAN! (Puas lo Ndra, Mus, Ky, PUAS LO? )

Minggu, 06 Juli 2014

Siluman Amoeba Dan Gelitik Rindu--Nya

"Iya, seperti ini lah perjalanan, duduk berjam-jam di dalam kendaraan beroda empat lalu membayangkan kamu yang ada di sampingku"

Saat mengembara pun aku masih berpikir tentangmu, aku rasa dari awal pertemuan kita debar ini tak pernah reda, kata teman-temanku usia kita sudah melebihi cicilan kredit sepeda motor, mesin cuci dan alat-alat apapun yang mereka sama kan tapi jelas beda ini kan kredit cinta sebelum naik pelaminan (Aamiin) sepanjang jalan ini aku berharap mengenggam tanganmu, tapi yang aku genggam sedari tadi hanya tanganku, kamu tak ada di sini, tapi hangatmu tak pernah lepas bahkan setelah beribu-ribu kali aku mandi, mengosok-gosok tubuh dengan sabun, pembersih lantai atau pemutih pakaian, tidak pernah hangatmu tidak pernah lepas.


"HUBUNGAN JARAK JAUH YANG MENDADAK SETELAH SEBELUMNYA LIMA LANGKAH ITU TAK HENTI-HENTINYA AKU KUTUK"


Kadang ada rasa senang, katanya saat hubungan ini diuji artinya semakin banyak susah senangnya artinya lagi semakin tidak gampang untuk saling melepas genggamannya, tapi tidak jarang juga aku mencaci-caci (dalam hati) pasangan yang tanpa sengaja bermanis-manis di depanku, dan saat kesadaran kembali. Aku pun sering seperti itu denganmu bukan? Dan mungkin ini juga yang dirasakan orang-orang yang tanpa pasangan atau sedang berjauhan dengan pasangannya dulu. Ternyata karma itu berputar sama, atau lebih pedih karena hati yang rasa beda-beda. Tapi setidaknya dari sini nanti aku bisa belajar mulai menjaga perasaan orang lain.


"JADI AKU MEMBUAT TULISAN KACAU INI SEBAGAI PENENANG HATI YANG RINDU SEDANG MELEBAR--MELEBUR DALAM DADA"


Rindu mendadak terlalu lebar terlalu penuh, dan mulutku mendadak terlalu malas untuk berbicara dengan teman-teman seperjalananku, sedari tadi aku mendengar mereka dengan telinga tembus, istilah guru-guru SMA zaman dulu saat anak-anak tidak menyimak pelajarannya "masuk kiri keluar kanan" aku tidak bisa menyimak satu pun obrolan teman-temanku, jari-jariku gatal mengirim pesan dan menekan-nekan nomermu. Tapi aku takut itu membuatmu harus berpikir lebih, ada sesuatu yang tidak beres di perjalananku, maka dari itu aku melanjutkan torehan kacau ini.


"RINDU BANGSAT SEJADI-JADI NYA SAAT JARAK MEMBELAH DIRI SEPERTI AMOEBA DAN MENIMBULKAN GELITIK-GELITIK RINDU, TAK KARU"


Kalian tahu amoeba? Makhluk kecil yang bisa membelah diri, ya itu lah kecilnya yang aku tahu. Tapi sialnya JARAK ini SI SETAN SERBA BISA, dia menjelma menjadi siluman amoeba, membelah sesukanya dan berternak rindu dalam hatiku, ujung-ujungnya mata semai airmata. Sial!


"GELITIK RINDU--GELITIK RINDU
BAGAIMANA KAU BISA LUCU
PADAHAL SANGAT MENYEBALKAN
MEMBUAT TERTAWA DAN MENANGIS
DALAM SATU WAKTU
GELITIK RINDU--GELITIK RINDU
COBA SURUH SI SETAN SERBA BISA
MENJELMA MENJADI PELUKAN
AGAR AKU BERHENTI MENGUTUKIMU"

Rabu, 02 Juli 2014

#KAMISAN 7 : Love Game - Ayunan



"Layla, Sayang. Layla, anak ibu yang
paling cantik. Layla, Sayang. Layla,
janganlah Layla bersedih...."

Seorang wanita yang usianya sekitar tiga puluhan, bernyanyi-nyanyi di taman komplek. Pandangan matanya kosong. Ia bernyanyi sambil menyebut-nyebut nama anaknya. Seorang gadis kecil yang kini sudah tiada.

"Laki-laki bangsat! Laki-laki keparat! Kubunuh kau! Kembalikan anakku! Kembalikan anakku!!" tangisnya memecah
senja, begitu kelam.
Beberapa mata menatapnya iba. Kepedihan seorang ibu akan kematian buah hatinya adalah serenade paling pedih.

*

Semoga pasanganku tidak pernah tahu apa yang berkecamuk dalam hatiku sekarang. Semoga dia tidak pernah tahu perasaanku telah membelah. Gadis itu, aku tidak bisa menghindar untuk memikirnya. Dia begitu berbeda dengan yang lain, memperlakukanku sangat lembut. Lelaki mana yang tidak suka kelembutan?

Aku begitu bahagia tiap senja dapat bertemu dengannya, meski kadang pula gelisah saat dia tidak menghampiri taman. Aku takut dia sakit. Takut dia tidak lagi ingin kemari. Takut aku
melukainya, karena itu dia tidak lagi mau bertemu aku.

Jatuh cinta dan bermain dalam cinta itu sangat mudah,
bahkan saat pasanganmu di samping pun kau bisa melakukannya. Sebab isi hati adalah rahasia.

Tapi gadis ini jauh lebih menarik dari dia yang menemani aku
bertahun-tahun. Ya, mungkin kalian pikir aku jahat. Mengkhianati pasanganku untuk seorang gadis yang baru satu bulan ini aku temui.
Namanya Layla. Dia baru pindah dari kota di mana kemacetan adalah jendela. Kota yang kemanapun kau memandang,
hamparan panjang kendaraan akan
terlihat. Debu dan asap adalah isi paru-paru makhluk kota itu. Layla tinggal tak jauh dari tempat tinggalku, taman bermain.

"Video game, A video game that allures me,
You can't block me. You're in
danger right now, join the video game, Love game...."


PERTEMUAN PERTAMA PADA SUATU SORE


Aku terayun-ayun setelah seorang anak lelaki gemuk menaikiku dengan kasar. Kadang dia berdiri dan meloncat-loncat.

Andai aku bisa melemparnya jauh
agar terjungkal mungkin sudah kulakukan. Aku pun terus-terus berdoa agar rantai pengaitku pada tiang lepas, agar
anak ini berhenti menyiksaku.
Aku melirik pasanganku yang diam dan tenang. Dia sangat kaku, tapi dia adalah pasanganku. Tuhan memberi dia untuk menemani hari-hariku.

Ayunanku berhenti, kulihat tangan kecil seorang gadis. Rambutnya panjang hitam diterpa cahaya senja, wanginya serupa permen karet atau wangi permen-permen enak lainnya.

Dia membersihkan aku dengan tangan lembutnya, menyapu-nyapu lembut. Aku merasakan desiran berbeda. Sesekali aku melirik
lagi pada Inka, begitulah kupanggil dia, pasanganku. Aku harap Inka tidak melihat rona-rona merah di serat-serat kayuku saat Layla menyentuh setiap
jengkalnya. Aku jatuh cinta, pada pemainku.

"Aku mengekalkan rasaku dalam senja
Pada warna emas di hamparan hitam rambut
dan aroma tubuh yang luar biasa
Aku jatuh cinta padamu
Bukan aku yang bermain, tapi kau yang
mempermainkanku
Bagaimana benda mati bisa merasa hidup
Kau pemain cinta yang luar biasa
Aku terjerat!"

*

Aku berdoa agar Layla tidak pernah dewasa. Sebelum dia, aku pernah patah hati pada pemainku, juga. Pada seorang gadis manis, berlesung pipi dalam.

Namanya Dhila. Dia gadis lucu, dulu sering bermain di sini, menemani aku, membersihkan serat-serat kayuku yang kadang diinjaki tapak-tapak sepatu
teman-temannya. Paling lucu dari dia adalah gadis manis itu sering membagi gulalinya, membuat aku merasakan cecap manis dan tak jarang tubuhku dikerubutin semut setelahnya. Dhila pergi. Dhila hanya menjadikan aku persinggahan masa kecilnya. Maka, aku harap Layla tidak pernah besar.

*

Hari ini aku menanti Layla, aku sudah tidak sabar ingin berayun-ayun bersamanya, melihat hamparan putih giginya, tawanya yang seakan bisa menetapkan langit tetap biru, dan genggamannya pada rantai-rantai dingin pengaitku.

Tapi hari ini Layla tak datang. Bahkan hari-hari selanjutnya pun tidak, hari selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya. Layla tidak pernah datang.

Sudah satu pekan dari hari terakhir dia bermain di taman ini, meninggalkan bercak darah di kayuku. Aku melirik Inka, tubuhnya sedikit berayun, masih
kaku, bahkan aku tidak bisa melihatnya tersenyum. Sama seperti dia yang tidak bisa melihatku tersenyum. Aku berharap Layla datang.


30 MENIT YANG MEMATAHKAN


"Kasian ya, Bu. Pasti ibunya terpukul
sekali...."

"Ya, jelas lah, Bu. Wong anak perempuan satu-satunya. Pintar, cantik, dan penurut. Saya aja yang baru bertetangga 1
bulan terasa kehilangan Layla.
Apalagi saya belum punya momongan. Sepi
saya dan suami pecah saat Layla di
sana. Dia anak yang baik, pasti diberikan
tempat yang baik pula."

"Iya, Bu. Tapi yang saya enggak habis
pikir, ya, kejadian meninggalnya
Layla. Tragis. Tega betul pelakunya ya,
Bu!"

Aku ingin tidak mempercayai percakapan dua ibu-ibu yang sedang menyuapi anaknya di taman bermain ini, 30 menit yang begitu mematahkanku. Layla meninggal.

Aku kira dia akan baik-baik saja setelah sore kelam itu. Seorang laki-laki dengan perawakan tinggi, berjambang, dengan rambut gondrong dengan mata merah
frustrasi. Ia memberi permen kepada Layla dan mencoba mengajak gadis itu ikut dengannya. Layla sempat menolak. Dia melawan, mencoba berteriak, tapi apa daya gadis kecil itu tak cukup kuat
melawan. Layla dengan pakaian yang dibuka paksa, di bawah tubuh seorang lelaki yang bertelanjang dari pinggang hingga mata kaki. Tubuh Layla didesak-desak oleh tubuh berat itu, terdengar suara Layla kesakitan.

Untuk pertama kali setelah aku berdiri bertahun-tahun sebagai ayunan, aku mengutuk diriku menjadi benda mati. Aku mengutuk posisiku yang menjorok ke dalam. Tidak ada yang bisa melihatnya
menyiksa cintaku.

Layla-ku diperkosa. Setelah puas berayun-ayun dengannya, lelaki itu mencampakkan Layla dari atas tubuhku--dengan ayunan sangat keras. Aku dan Inka adalah saksi bisu, melihat tubuh Layla jatuh berdebum di atas tanah. Kepalanya membentur batu, sedikit bercak
darah tertinggal di serat kayuku.
Laki-laki itu pergi, katanya ini
pembalasan untuk ibu Layla yang
memecatnya. Layla-ku diam, tertidur, dengan darah yang mengaliri kepala. Rambut-rambut hitamnya basah. Sampai beberapa orang menemukannya selepas azan Isya. Itu pertemuan terakhirku dengan Layla yang hidup. Tadinya aku berharap Layla baik-baik saja, tapi harapanku sudah
terjawab. Layla tidak baik-baik
saja dan kini dia sama seperti aku dan Inka, tanpa nyawa, tanpa kehangatan.

Aku masih sering mendengarnya tertawa, setiap malam. Dia masih sering duduk di sini, dengan tawanya yang menyeramkan. Mungkin merindingkan bulu-bulu kudukku, jika ada.

**

Sabtu, 28 Juni 2014

Fiksi Mini : Negara Hantu

AKU. Jatuh cinta ini mengangguku. Saat tanganmu justru meraba dada bukan hati.

HARUS. "Cepat pergi..!! Sebelum hujan ini membuatmu jadi batu", kata ibu.

MAWAR. "Bibirnya merah, dia sering pula kena marah suami, jika pulang tak bawa banyak uang"

TAKUT. "Bu, aku takut jika bapak gendut jadi presiden", "Tidak apa, nak. Arwah bapak akan melindungi kita, dan balas dendam pada penculiknya"

NEGARA HANTU. "Uang pajak ini buat apa bu?", "Untuk beli sajen buat hantu, nak"

PENCULIK. Aku benci orang gendut berkantong banyak itu. Mungkin di salah satu kantongnya ada kewarasan ayahku.

DEJAVU. "Sepertinya aku pernah melihatmu?", "iya, aku renkarnasi nenekmu"

BAHAGIA. Setelah menyakiti hati ibu, aku tidak perlu lagi melakukan apa-apa. Aku membatu.

TIDUR. "Selamat tidur, sayang", seorang wanita dengan uban penuh di kepala mengecup kening batu nisan tua.

LUPA. Kebanyakan bernyanyi "Lumpuhkanlah ingatanku" nenek jadi pikun.

MAKAN. "Bu, kenapa bapak itu gendut?"
"Karena dia banyak makan, nak"
"Aku juga banyak makan, bu"
"Kau makan banyak untuk dimakannya, nak"

PELANGI. "Hijau artinya jalan terus, kuning artinya hati-hati, kalau merah di kota ini artinya terobos"

DORAEMON. Menghilang, pintu ke mana saja diburu para pelaku LDR.

RUMPUT. Ibu menyiram rumput tetangga, seminggu tiga kali, setiap ayah shift malam.

PAGAR. Pagar mengeluh, dia tidak mau lagi jadi pagar. Sekarang tanaman sangar liar, katanya.

Rabu, 25 Juni 2014

#KAMISAN 6 : Martabak Telur - Wanita Simpanan

Mungkin kau belum pernah melihat aku sekacau ini, tapi yakinlah ini bukan kali pertama, kedua atau ketiga, ini adalah sesuatu yang berkali-kali aku alami, dulu dia yang sebelummu sudah mengetahui betul perangaiku. Aku lebih suka menikmati daging itu segar-segar, dari pada martabak telur petak kecil yang tidak pernah bisa aku sukai, bodohnya kau, kau selalu memberi aku makanan yang kau sukai tanpa peduli aku menikmatinya atau tidak.

Pagi ini, sialnya kau membiarkan aku sangat kacau, aku bermalas-malasan seharian sebagai simpanan yang selalu kau banggakan di depan teman-temanmu yang bermata sama cabul denganmu setiap memandangku, aku tahu kalian lelaki berbirahi binatang yang tidak akan puas walau kepuasan di bumi ini habis. Aku bermondar mandir berharap kau menuruti mau ku. Aku memandang-mandang ke arahmu, tapi kau sedang sibuk berbincang dengan rekan-rekan bisnismu itu. Memuakkan!. Harusnya kau tahu aku sudah lapar dan jenuh menunggumu, botak gemuk.

***

"Dia cantik bukan?", lelaki berperut buncit dengan kepala yang hampir botak, ya kau. Berbicara pada temanmu yang lagi-lagi memandangi aku dengan nafsu binatangnya.

"Sangat cantik, apa aku bisa menyentuhnya?"

"Tidak, dia hanya milikku..hahaha", kau tergelak puas. Aku jijik. Kau tau aku selalu mandi setiap kau selesai menyentuhku, setiap aku selesai memenuhi semua kepuasanmu. Bahkan jika bisa aku mandi setiap satu sentuhanmu mendarat di tubuhku, akan aku lakukan.

"Kau yakin tidak apa-apa menyimpannya di sini? Bagaimana jika istri dan anakmu tiba-tiba kembali dari luar negeri dan mendapatinya di sini"

"Biarlah, aku mencintainya, aku sangat senang melihatnya di rumahku. Menemani aku, walau terkadang perangainya tak menentu. Aku rasa dia bosan jadi simpanan"

"Hahahaha, bahkan macan betina pun tak rela dimadu, apalagi wanita-wanita kita"

"Hahahahaha, kau benar"

***

Tawa kalian mengelegar, dan aku semakin bosan. Ah menjijikan. Lelaki-lelaki tua cabul, jika aku punya kesempatan menumbuhkan taring dan cakarku lain waktu, akan kucabik-cabik daging segarmu lalu kusisakan sedikit daging untuk istrimu, agar dia bisa membuat martabak telur dan mengunyahmu juga karena telah menduakannya.


Ps: wahai lelaki-lelaki di seluruh penjuru bumi, jangan coba-coba memadu wanita-wanitamu kalau ndak pengen jadi martabak telor. ( ˘˘̯) 

Kamis, 19 Juni 2014

Aku Pungguk, Kamu Kue Bulan Dadar Yang Aku Rindu



Aku pungguk, kamu bulan. Aku pungguk yang bermimpi meraih bulan. Kenyataannya menaiki jenjang tertinggi pun pungguk tetap tidak bisa terbang meraih bulan. Pungguk cuma bisa duduk di atas sebatang pohon asam, memandang bulan yang seperti kue dadar, berharap jatuh ke tangannya dan menelannya bulat-bulat dalam perut. Manusia pasti pernah berharap, dan disetiap harapan kekecewaan bukan harga langka, pasti ada. Lalu saat kebahagiaanmu patah, kamu bisa apa selain merindu--nya utuh? Seperti aku sekarang. Ada sesuatu yang aku sebut saja 'RAHASIA' aku memimpikannya setiap waktu, mendoakannya, berharap dan ingin. Tapi pungguk tidak bisa terbang dan batang asam pun tak bisa sama rata dengan bulan, memanjat setinggi apapun tak bisa. Jadi aku menunggu, merindu, pungguk merindukan bulan. Semakin lama waktu berjalan semakin sadar aku ditampar waktu, setiap tik tok jam seperti menuduh-nuduhku.

"Kau pungguk, bisa tidak bercermin di air bersih. Liat siapa kamu apa bentukmu, mana sayapmu? Berani-beraninya bermimpi bulan jatuh ketanganmu"

Aku berjalan menuju air bersih, di sana terpatul rupa--ku. Ah, iya. Aku pungguk, tak punya sayap. Mungkin sekarang yang harus aku lakukan mencari batang asam yang cukup tinggi, yang lebih tinggi lagi dari yang kunaiki tadi atau pohon aren? Atau? Kalian tahu apalagi yang cukup tinggi menyamai bulan? Mimpi? Cuma mimpi yang bisa menyamai bulan. Iya, benar. Aku pungguk, kamu bulan.


#nowplaying Ada band--Haruskah ku mati karenamu ( (╥﹏╥) )

Selasa, 17 Juni 2014

#KAMISAN 5: Wishy Washy Atau Fleksibel?

Wishy washy mungkin cukup asing kedengarannya ya? Sama, tapi saya nggak kaget kalau tema-tema seperti ini dijadikan tantangan dari mami (teh nia) untuk peserta kamisan, karena mami memang salah satu kerumitan tiada tara yang hidup di dunia. Saat saya menulis ini pun saya masih dalam keadaan mencari-cari kebenaran cinta sejati (halah!) 

Secara definisi, arti dari Wishy Washy adalah "Lacking in strength of character or purpose; ineffective; weak in willpower. A dosser. Also a bit Flippy Floppy, Topsy Turvy even" (urbandictionary.com). Atau kalau diterjemahkan seperti, sesuatu yang lemah atas keyakinan sesuatu, plin plan, ya secara gampangnya wishy washy ini kita sebut si plin plan ya, lemah mempertahankan apa-apa yang dia yakini. Menurut salah satu artikel yang ditulis oleh Ubaydillah, AN dalam sebuah situs www.e-psikologi.com disebutkan antara lain :

Secara teori, plin-plan itu sering diartikan sebagai indecisiveness. Ini adalah ketidakmampuan kita dalam menentukan keputusan atau bersikap dengan alasan-alasan yang sangat tidak kuat. Orang plin-plan itu adalah orang yang gampang melakukan bongkar-pasang rencana, keputusan atau penyikapan.

Ciri-ciri orang plin plan:

1. Apa yang dikatakan berbeda dengan perbuatannya.

2. Sikapnya cepat berubah-ubah seketika pada waktu itu juga.

3. Mencari alasan-alasan, tetapi sangat berkesan menutupi sesuatu hal dibelakangnya.

4.Tidak mempunyai arah tujuan yang jelas, artinya mudah dipengaruhi oleh sugesti ataupun stimilus yang ada.

Si plin-plan ini dipahami sebagai lawan dari kepercayaan-diri (self-confidence) atau pede. Dalam teori kompetensi, ada sejumlah istilah yang pengertianya kira-kira sama dengan kepercayaan-diri ini.

Beberapa istilah itu antara lain adalah:

1. Decisiveness

2. Ego strength

3. Independence

4.Strong-self concept

5.Willing to take responsibility

Nah! Dari semua penjelasan di atas yang banyak sedikitnya saya kutip sana sini, saya nyimpulin kalau si wishy washy ini adalah orang yang rasa percaya dirinya kurang, sehingga gampang berubah arah dan terpengaruh apa-apa yang ada di sekitarnya.


Lalu, apa bedanya dengan FLEKSIBEL? Menurut Musashi dalam "The Book of Five Ring" yang dikutip oleh Ubaydillah mengatakan : fleksibel itu digambarkan seperti watak air. Musashi menjelaskannya dengan istilah ordered flexibility. Fleksibel di sini diartikan sebagai kapasitas untuk tetap menjadi diri sendiri dalam keadaan tetap bisa beradaptasi dengan lingkungan atau orang lain. Jadi dengan kata lain ya, si fleksibel ini manusia karet yang nggak mengubah apa yang ada dalam dirinya tapi bisa ikut beradaptasi dengan lingkungannya, tanpa harus melumer. Fleksibel ini jenis kekuatan yang sangat baik. Mempertahankan pendiriannya, tetapi juga pintar mengaplikasikannya dengan lingkungan. Tidak berbenturan dengan sekitar, tidak juga mengubah dirinya menjadi yang tidak dia inginkan, dapat beradaptasi, cepat tanggap dalam keadaan darurat sekalipun, tanpa kehilangan kendali merupakan ketrampilan yang signifikan dalam mencapai tujuan. Dengan bersikap fleksibel, kita mudah beradaptasi dengan lingkungan apapun dan dengan siapapun. Untuk menjadi fleksibel pun kita tidak harus merombak prinsip, kepribadian, tata rambut, maskara dan sebagainya (halah).




sumber

Kamis, 12 Juni 2014

#KAMISAN 4 : Halusinasi - Bianca

Dunia ini membuat aku melayang, tidak bisa kujabarkan satu per satu, sekumpulan perasaan yang tidak tergambar. Aku merasa ruh ku tertidur, bahkan disaat aku bangun. Aku berada dibanyak tempat, kadang di saat bersamaan. Bunga tidur atau kekosongan pikiran? Halusinasi atau delusi. Semua berbatas garis tipis yang tidak terlihat. Tapi kau jelas tahu, semua berbatas, semua terbatas. Atau aku rasa ini hanya sekedar penghayatan batin? suatu perasaan yang tidak bisa aku tangkap, pecah lalu membuat aku melayang lagi. Begitu seterusnya. Kadang suatu pagi aku terbangun dengan perasaan yang menyenangkan. Begitu menenangkan, tersenyum dan mimpi membawaku terbang. Bayangan itu berubah ke segmen berbeda.


***

Pagi ini, aku terbangun dan menemukan orang-orang yang sudah lama ingin kutemui, nenek dan kakek. Kami berbincang banyak tentang hari-hari selama tidak saling melihat. Mereka menceritakan banyak hal menyenangkan, ada juga beberapa yang membuatku sedih. Seperti sakit-sakit renta yang hanya mereka hadapi berdua. Orangtuaku, di mana mereka? Kenapa tidak menjenguk nenek? Aku bertanya. Lalu nenek dan kakek menjawab, kata mereka orangtuaku sudah 2 tahun meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Bagaimana aku bisa tidak mengingatnya.

Aku melakukan banyak hal seharian bersama nenek dan kakek. Berkebun, memasak, memijat mereka. Mimpi itu datang saat aku menyisir rambut nenek dengan uban penuh di kepala, rambut itu perlahan menghitam, tubuhnya mengecil, kerut-kerut waktu pada wajahnya menghilang. semua terjadi perlahan, semua melayang, semua berputar.

"Ibu, sudah selesai mengepang rambutku? Ibu kenapa melamun lagi. Aku akan terlambat ke sekolah, bu"

"I..iya"

Aku kembali mengepang rambutnya. Putri kecilku, Bianca. Matanya lincah, bibir tipisnya tidak pernah diam, kulit putihnya kemerahan diterpa matahari pagi. Wajahnya mirip aku, sangat mirip. Aku bahkan merasa sedang menyisir rambutku sendiri, mengepang rambutku, dan bicara sendiri pada diriku. Bianca memang mirip aku. Selesai mengepang rambut Bianca, aku menyuapinya sarapan.

"Apa ibu nanti malam pergi lagi seperti biasa?"

"Iya, sayang. Tapi kau akan ditemani mbak Sulis"

"Iya, aku tahu. Setiap malam dia menemaniku sampai ibu pulang pagi bukan?"

"Kenapa Bianca bicara begini lagi, bukannya kau sudah berjanji tidak lagi mengatakan, menanyakan atau mempermasalahkan, masalah ini?"

Dia hanya diam menatapku, tapi setiap kata yang kuucapkan menghasilkan perih dalam hatiku sendiri. Bening hangat mulai memenuhi ruang-ruang kosong mata. Kesepian mencengkramku. Tubuhku kembali melayang. Kudapati diriku dengan seragam merah putih, Tuhan mimpi ini lagi? apa ini. Aku mencubit tanganku sendiri. Sakit. Ini bukan mimpi.

"Bianca!"

"Hai, Fen"

Dari mana aku mengetahui nama gadis itu, bagaimana bisa aku tidak asing dengan wajahnya.

"Sudah selesaikan pekerjaan rumahmu?"

"Belum"

"Lagi-lagi kau tidak mengerjakannya, kau mau dihukum lagi?"

"Aku benci dihukum"

"Kalau begitu salin punyaku sekarang"

"Aku tidak ingin mengerjakan apapun"

"Baiklah, biar aku yang mengerjakannya untukmu"

Senyumku mengembang, tidak terarah. Kadang aku merasakan kehilangan kewarasanku, tapi aku yakin sekali tidak. Tidak berapa lama aku mendapati semua PR ku terisi sempurna, aku mengucapkan terimakasih kepadanya. Bel masuk berbunyi. Kami memasuki kelas. Di sini ramai, tapi aku merasa anak-anak itu seperti tidak bernyawa, mereka bergerak hanya matanya tidak hidup, ke mana pun mereka menatap, ke mana pun mata mereka mengarah, mata itu tidak bergerak. Kuduk kubergidik, ngeri. Kulirik gadis yang tadi mengerjakan pekerjaan rumahku, tatapannya sama dengan yang lain. Aku merasa masuk ke dalam mimpi buruk, mimpi buruk yang berbatasan dengan mimpi-mimpi baik. Aku kembali melayang.

"Kau tak apa?"

"Y..ya. Aku baik-baik saja" jawabku tergagap.

"Bel masuk sudah berbunyi tapi kau masih di sini. Apa kau tidak ada jadwal mengajar?"

Petir itu kembali menyambarku. Aku semakin tidak mengerti kehidupan mana yang benar-benar aku jalani. Aku memandangi sebuah kubikel kecil penuh buku di hadapanku. Mengedarkan pandangan ke setiap sudut, lemari-lemari kaca penuh buku, kubikel-kubikel padat. Lalu kembali tertuju pada meja kerja yang sedang aku tempati. Mataku terfokus pada satu bundel ordner tebal bertuliskan RPP ESL 2004-2005.

"Apa kau tidak punya jadwal mengajar?"

"A..ada"

Aku segera bergegas, mengambil beberapa buku cetak. Berjalan terburu-buru. Menuju kelas yang isi nya murid-murid berseragam putih abu-abu. Aku menarik nafas panjang. Memasuki ruangan.

"Greetings!"

"Good afternoon, Miss Bianca"

"Good afternoon"

Waktu berjalan gamang. Terus berputar, setiap detiknya seperti membawaku berlari ke tempat yang tidak aku tahu, tapi aku tahu. Bisa bayangkan? Kau tidak tahu tapi kau tahu. Bisa bayangkan bagaimana? Semua bergejolak. Aku bergegas keluar setelah menyelesaikan tugas mengajarku. Aku harus pergi mencari apapun yang bisa memberitahuku. Gamang tubuhku kembali merasa melayang. Berputar-putar.

"Bianca, mau makan apa?"

"A..aku, apapun, bu"

"Kamu kenapa?"

"Nggak apa-apa, ayah"

"Dari tadi, kau seperti orang kebingungan"

Aku berada dalam kendaraan roda empat bersama dengan orangtuaku, ayah dan ibu. Kami sedang melakukan perjalanan menuju Bandung, tiga puluh menit sebelum kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang membunuh kedua orangtuaku. Aku sendiri. Kesepian. Ketakutan. Keluarga ibu dan ayah sepakat aku akan diasuh nenek dan kakek dari pihak ibu. Aku menghabiskan tahun-tahunku di sana. Membantu nenek sebagai pemeras susu sapi. Mengubur banyak mimpi.

Aku lega, tahun-tahun penuh mimpiku berakhir. Sampai satu pagi yang lain, semua mimpi itu mencuriku lagi. Aku berada di sebuah altar besar, deretan antrian panjang manusia melewati dan menyalamiku. Pernikahan.

"Aku mencintaimu" bisik pria itu pelan.

"Kau siapa?"

"Hahaha, kau bercanda seperti ini lagi sayang dan ini tidak lucu"

"M..maaf sayang"



***

Suatu sore, Klinik Psikosomatik

"Hari ini bagaimana kondisinya, ada perkembangan?"

"Dia belum sadar dari kondisi katatoniknya, masih sangat labil. Dia selalu membuat sistem proteksi baru dan melawannya sendiri, mempertanyakannya sendiri. Kebingungan di dalam tubuhnya"

"Aku harap nenekku bisa pulih"

Bianca mengelus kepala wanita tua dengan uban penuh di kepala, gurat-gurat keriput waktu menggaris wajahnya, rasanya seperti mengelus kepalanya sendiri.

Mimpi itu masih kembali, tidak pergi. Halusinasi panjang.

Kamis, 05 Juni 2014

MUSIM: BUNGA YANG CEMBURU

Pagi ini aku mendengar bunga menangis. Katanya dia cemburu karena di dalam hatiku tanah lebih subur dan bunga-bunga lebih indah. Lalu aku bilang "tidak, tidak, sama saja" tapi bunga tetap bersedih, tidak percaya. 

"Dalam hatimu bunga tidak pernah gugur"

"Iya" untuk ini aku tidak lagi mampu menghiburnya.

Bunga menangis lagi.

"Tapi bukan berarti karena dalam hatiku bunga tidak gugur artinya kamu tidak menjadi lebih indah"

"Dalam musim di hatimu bungan tidak layu dan kehilangan warna"

Aku tersenyum. Aku sudah tahu yang bunga butuhkan.

"Kau hanya perlu jatuh cinta pada orang yang tepat, bunga. Saat jatuh pada yang tepat dia akan menangkapmu sebelum kau terjerembab. Saat jatuh pada yang tepat makan musim tidak akan mengubah apapun darimu. Kau tidak pernah layu dan kehilangan warna"

Bunga tersenyum saat aku beritahu rahasia kesuburan tanah dalam 

Rabu, 04 Juni 2014

MUSIM: BUNGA-BUNGA YANG TIDAK DIGUGURKAN KEMARAU

Dalam hatiku musim masih menunjukan waktu-waktu untuk terus mencintaimu. Seperti bunga-bunga yang semai dan tak gugur saat kemarau ada. Lalu bagaimana jika setiap musim aku terus berkembang dan memecahkan wadahku tertanam. Aku akan terus mengakar kuat mengingatmu. Berhenti sebentar pun lupa. Mungkin benar kata orang. Waktu mengubah segalanya. Termasuk rasa yang dulu besar dan kini semakin besar.

Musim hari ini menunjukan waktu badai di hatiku. Badai-badai yang lupa pula cara mereda. Badai yang menerbangkan biji-biji buah yang perlahan berubah menjadi pohon-pohon teduh. Badai yang menumbuhkan beribu-ribu pohon cinta yang aku jaga dengan sungguh. Badai yang terduduk sepasang kita dengan puisi yang dilahirkan oleh mata. Kata mati. Rasa hati. Musim terus membawaku dan membawamu untuk kita. Musim tidak berhenti.

Bulan ini kita menambah usia bersama. Usia kebersamaan. Usia yang aku lupa kapan ditumbuhkan. Musim lagi yang menyemainya. Musim yang tidak berlalu. Tidak akan pernah berlalu. Musim yang ada dan hidup dalam kita. Hatimu bagai tanah subur dan aku seperti tumbuhan yang tidak bosan menghibur. Meperindah kita. Terus dan terus menancapkan kuat akar-akarku di tubuhmu. Musim tidak pernah berhenti. Rasaku tidak pernah mati.

Musim menbawa kita pada jarak dan pelukan yang jarang. Tapi ternyata hati lebih kuat untuk tidak terhadang pada apapun penghalang. Musim terus semi. Bunga-bunga terus mekar indah. Warna-warna tidak pernah pudar. Rasa buah tidak ada yang yang hambar. Di musim kita. Semua bisa dinikmati. Musim terus membawa dalam ruang dalam. Menumbuhkan semua yang tumbuh tidak satu pun layu. Musim terus semi.

Minggu, 01 Juni 2014

PEREMPUAN: YANG DEKAT DENGAN KEMATIAN

Langit memerah. Burung-burung gagak berterbangan di atap rumah. Angin berputing. Bumi mendingin, dinginnya menjalari ketakutan. Gelap perlahan menguasai senja. Aku diam, tidak bergerak. Amarah memenuhi merajam-rajam hatiku dengan kerikil kehidupan yang entah.



***

Aku akan membunuhnya, bunda. Aku terduduk di meja makan, sudah beberapa jam aku mencoba tidur tapi kamarku terasa panas mungkin juga hatiku yang panas. Pikiranku melayang jauh. Tadi aku mencoba menenangkan bunda tapi nyatanya aku pun kacau tiada kira. Aku memeluk sebuah gambar yang baru ku buat, gambar yang penuh merah dan hitam. Gambar yang aku gambar dengan sakit hati tajam dan emosi yang meluap-luap. Sampai aku merasa ada sesuatu yang menikamku, bagian tubuh belakangku, menembus ginjal. Sakit menjalar. Tubuhku terasa basah, cairan itu hangat; darah. Mataku memberat. Mungkin tertidur. Mungkin juga hanya memejam. Pelan-pelan tubuhku ringan, melayang. Aku tidur. Udara semakin dingin. Tubuhku pun dingin.

***

Eve tertatih keluar kamar, dipanggilnya nama anaknya. Kenapa pagi ini begitu sepi; batin eve. 'Tyas, Tyas'. Eve mulai mencari ke segala penjuru rumah, didapati anak perempuan kesayangannya telungkup tidak bernyawa di atas meja makan. Tubuhnya penuh tusukan. Jantungnya berdetak beribu kali lebih cepat. Tubuh Eve mematung, nafasnya tertahan. Semua gelap.

***

2 minggu yang lalu keributan terjadi di sekolah. Ah apa yang terjadi dengan mereka, apa buat mereka ini aneh. Kenapa mereka heran dengan kelakuanku. Ada apa? Aku hanya mencekik seekor kucing kecil. Apa itu mengerikan. Kenapa guru-guru sepanik ini, apa ini sesuatu ketidak wajaran? Aku hanya ingin tahu. Ternyata tercekik seperti itu membuat kita kehabisan nafas. Mereka memanggil bunda dan menceritakan tentang ulahku, aku tahu bunda tidak akan marah. Ini biasa kami dapati di rumah. Bahkan aku rasa bunda adalah manusia yang paling dekat dengan kematian, ditampar, dihantam, ditinju atau pun ditunjang tepat di wajah itu hal yang biasa ia dapati. Bahkan pagi tadi, sebuah cengkraman kuat menjadi sarapan pagi untuknya, cengkraman di leher itu seperti hampir mematahkan tulang-tulangnya. Saat detik-detik nafasnya akan hilang, lelaki yang ku panggil ayah melepaskan dan melempar dia seakan dia hanya sebuah onggokan tak berarti. Ia berusaha mengambil nafas dari segala penjuru seperti ikan yang di keluarkan dari air. Mencoba terus bernafas dalam rasa sakitnya. Air mata menderas. Dia menangis, aku menangis. Kami berdua menangis memandangi punggung ayah yang berjalan pergi.

Kepala sekolah menanyakan apa yang terjadi padaku, lucu. Harusnya bunda yang menanyakan apa yang terjadi tadi. Tapi tidak, bunda hanya bisa diam. Sadar tidak akan mendapati jawaban apapun. Seperti sebuah pemakluman timbul dalam hati wanita yang menjadi pemimpin di sekolahku. Aku pun tahu, di kampungku orang-orang sudah tahu yang terjadi dalam keluarga kami. Jadi diam bunda adalah sebuah jawaban yang terbaca. Akhirnya hari ini aku diperbolehkan pulang lebih cepat.

Dalam perjalanan pulang kami sama-sama diam. Aku tahu ngilu masih mencengkram leher bunda. Masih ada ketakutan di matanya. Sesampainya di rumah air matanya menderas. Dia berjalan menuju gudang, mengambil sebuah rotan besar pemukul kasur. Matanya marah. Aku bergidik.

" Bunda, bunda. Maafkan Tyas"

tapi wanita itu terus berjalan mendekat. Dia berubah mengerikan. Dia memukulku dengan rotan besar.

"Anak kurang ajar! Anak setan! Kenapa kau seperti ayahmu. Kenapa kau!"

"Ampun bunda sakit bunda" rotan besar itu bertubi-tubi dipukulkan ke tubuh kecilku. Amarahku membesar, pelan-pelan mengakar.

 " Ayah, aku membencimu "

***

Malam terasa dingin, hujan deras di luar. Perempuan dalam cermin itu diam, tangannya terus menyisir rambut panjangnya secara perlahan, gerakannya selembut daun yang diterbangkan angin, begitu ringan beberapa kali terlihat tidak bernyawa. Kepedihan tergurat jelas di wajahnya, di tubuhnya. Aku tidak tahu siapa dia. Aku yakin itu bukan aku. Tubuh penuh lebam ini bukan tubuhku. Matanya menyala marah. Iya itu tubuhku. Waktu telah mengubahku.

Sebuah tangan kecil menarik ujung baju dasternya, iya menoleh ke bawah dilihatnya seorang anak perempuan kecil dengan crayon gambar, tangan dan tubuhnya penuh luka. Lebam. Matanya sembab.

"Tyas, kamu kenapa nak? Kenapa tubuhmu penuh lebam? Apa ayah memukulmu?"

"Tidak bunda, aku tadi hanya terjatuh"

Gadis perempuan itu berbohong tentang luka-luka yang didapatinya. Luka itu jelas ia dapati tadi siang. Dari sebuah rotan pemukul kasur yang dilibaskan seorang wanita yang melemparkan pertanyaan beberapa menit lalu. Tapi dia tidak mau melukai hati bundanya, cukup keadaan yang sudah melukai otaknya.

Aku tahu ada sesuatu yang sudah merusakmu dari dalam, bunda. Aku tahu tekanan itu pelan-pelan memakanmu. Kamu lebih rapuh dari sebuah kayu lapuk yang dimakanin ribuan rayap. Aku tahu kamu sakit, bunda.

'Bunda, aku lapar'

Wanita itu tersenyum, lembut. Mengajakku ke dapur. Membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa sayuran yang mulai membusuk. Diletakkannya di atas piringku dan piringnya. Lalu dia menuju tempat penyimpanan beras mengambilkan beberapa mug beras untukku dan dia. Ia memakannya dengan tatapan kosong, aku pun memakan makan malamku.

***

Malam itu kami tidur bersisian. Derit kipas angin berdebu cukup menghibur kesepian yang mengisi malam-malam kami.

" Apa kau mencintai ayah, Tyas?"

"Tidak, bunda. Aku takut. Bukankah cinta tidak menakutkan? Bagaimana denganmu? "

"Tidak tahu, aku bahkan tidak ingat apa pernah mencintainya. Bukankah cinta tidak memberimu rasa takut?"

Yang aku tahu, aku dan dia adalah sepasang anak muda yang melakukan kesalahan. Bermodal uang menginap di losmen murahan. Aku dan dia saling merengkuh kenikmatan yang sakit. Mungkin dulu, jauh sebelum aku takut. Aku pernah mencintainya, Tyas. Aku mengandungmu. Lalu aku mengadu pada orangtuaku. Mereka malu. Mereka meminta kami untuk segera menikah. Dia menolak saat aku mengatakan yang dikatakan orangtuaku padanya. Aku pulang dan menyampaikan penolakannya. Orangtuaku murka. Malam itu kami mendatangi rumahnya. Berbicara langsung pada orang tua nya. Bermodal sama-sama ingin menyelamatkan muka. Pernikahan aku dan dia diputuskan mereka, orangtua kami. Malam itu matanya gelap, dia begitu marah. Aku tidak paham kenapa dia menatapku begitu marah. Dia menuruti orangtuanya dengan kemarahan. Dia menikahiku tapi dia begitu membenci pernikahan kami. Setelah hari itu dia berubah, terus berubah.

***

Ibu-ku hidup seperti dalam sebuah naskah cerita yang begitu menderita, yang bertokoh perempuan yang selalu tersiksa dan penuh luka.

Pagi dengan keributan mengerikan, sebuah gelas melayang ke wajah bunda. Jelas aku melihatnya. Seperti biasa, tidak sampai di situ. Ayah terus memukulinya. 30 menit yang lalu, ibu ku meminta sejumlah uang untuk uang sekolahku dan membeli beberapa bahan makanan. Kulkas kami kosong, beras saja yang tersisa dan beberapa sayur yang sudah benar-benar busuk di kulkas. Mungkin itu menyinggungnya. Ayah begitu marah. Memukuli bunda. Ayah menendang perutnya, menyiram secangkir teh yang masih panas ke tubuhnya. Bunda hanya bisa tercekat. Tidak bisa menangis. Tidak juga bersuara. Hanya tatapan kosong penuh luka dan kesakitan yang menganga di dada. Ia memakan kesedihannya.

Setelah ayah pergi aku keluar. Membawa setengah baskom air hangat kuku dan sepotong handuk kecil untuk mengompres luka bunda. Aku mengusap perlahan, setiap usapan itu menyakitkan hatiku. Tapi tidak sedikit pun bunda bergeming. Tidak menangis tidak pula meringis. Diam. Mungkin sakitnya sudah sangat dalam. Air mata itu pun memendam. Kemarahan dalam dadaku mengakar. Menancap kuat. Sangat kuat. Aku menangis.

***

Aku tidak mau makan, bunda. Aku tidak lapar. Tyas berbicara dengan gemetar. Tetapi wanita itu tetap berjalan perlahan ke dapur. Memotong-motong sayuran busuk mencampurnya dengan air panas dan mencampur beras ke dalamnya.

"Makanlah, Tyas" aku menyuruhnya sambil menyuapkan makanan yang sama ke dalam mulutku. Tyas diam, tidak memakannya.

"TYAS!! MAKAN" aku melemparkan piring ke wajahnya. Dia tergugu. Tidak menangis, tidak juga meringis. Aku menendang dan memukulinya. Tyas diam. Aku memecahkan semua piring. Semua yang bisa aku pecahkan. Aku lelah. Aku masuk ke kamarku. Aku bersembunyi di sana. Aku tertidur.

***

Langit memerah. Burung-burung gagak berterbangan di atap rumah. Angin berputing. Bumi menjalarkan dingin yang tidak biasa. Gelap perlahan menguasai senja. Malam sudah datang.

Amarah di dada wanita itu masih ada. Entah pada siapa. Tapi amarah ini benar-benar membuatnya sakit. Dia kesal. Dendamnya yang mengakar seakan sudah pada puncak-puncak lepas. Tidak lagi ada pengendalian diri yang bisa dia lakukan. Tubuhnya panas. Matanya panas. Air mata nya menderas. Dia bisa menangis lagi. Perlahan ia keluar menuju dapur. Jalan terseok-seok. Tanpa tenaga dan perut laparnya.

"Laki-laki bangsat. Kenapa tega kau minum darahku?" Pertanyaan dilontarkan ntah pada siapa.

Sesampainya di dapur dia duduk. Diam. Tidak mengerjakan apapun. Perutnya lapar. Dia sangat lapar. Sangat sakit pula di hatinya. Digenggamnya sebuah pisau dapur tajam. Genggaman yang kuat, seakan tidak akan pernah melepaskan pisau itu. Perlahan dia berjalan menuju meja makan. Di meja itu terduduk seseorang. Seseorang yang diam dan tidak tahu kedatangannya. Amarahnya kembali hidup.

"Anak setan, ini semua karena kau. Jika kau tidak ada saat itu. Jika kau mati dalam kandunganku. Aku dan Anakku tidak akan menderita" batinnya mengila.

Sebuah tusukan tepat menembus ginjal, dicabutnya dan ditusukan lagi. Dicabutnya dan ditusukannya lagi. Gadis kecil itu diam. Tidak menangis, tidak juga meringis. Rasa panas yang menjalari tubuhnya tadi perlahan berubah dingin. Matanya berat. Rasanya melayang. Tyas kecil tertidur di atas goresan gambar merah hitam yang baru saja digambarnya. Darah masih mengalir deras, pelan-pelan tubuhnya dingin. Eve hanya memandangnya dengan tatapan kosong. Lalu kembali ke kamar dan tidur. Sampai hari menghantarnya pada sebuah pagi dengan keterkejutan yang luar biasa.

Sabtu, 17 Mei 2014

13

Aku mengisi 1 toples besar dengan 13 bibir. Bibir yang sangat aku sukai. Toples besar penuh bibir. Aku menaruhnya di kamarku, menciumnya sebelum aku tidur, melumatnya pelan dan meletakkannya kembali ke dalam.

***

Tahu bagaimana hidup membuatmu gila dengan kekaguman yang berlebihan pada seorang pria namun sedikitpun dia tidak menyadarinya. Lalu bibirmu tidak mampu bicara sedikit apapun tentang hatimu? Rasa sial. Aku begitu mengangguminya bibirnya, matanya, segalanya. Tapi bibir itu selalu membuat aku candu untuk mengecupnya, walau tidak pernah terjadi di alam nyata setidaknya aku mengecupnya selalu di dalam mimpiku, pikiranku, hatiku. Bibirnya adalah sesuatu yang selalu bisa membuat mataku tidak lepas menatap setiap apa yang terucapnya, aku begitu ingin bibir itu.

Dua hari yang lalu aku menuliskan surat cinta untuknya. Surat cinta yang tidak terbaca itu sudah benar-benar membuatku marah, aku kesal. Aku menangis gila di kamarku, aku ingin bibir itu ada di kamarku, aku ingin bisa melumatnya setiap aku mau untuk melepas canduku. Aku mau bibirmu, Ras. Rasya Surya, lelaki yang menjadi obsesiku dari massa SMP, 13 tahun lalu. Dia bukan kakak kelasku, dia juga bukan teman yang bersekolah denganku. Dia guru pkl di sekolahku. Aku begitu mau. Aku begitu ingin bibir itu.

Hari ini aku menelpon ke rumahnya, namun suara wanita itu lagi yang mengangkatnya. Aku membanting keras teleponku. Aku kesal, aku mau mendengar suara dari bibir itu. Aku mau. Lusa aku putuskan untuk mencarinya 'persetan kau sudah beristri, aku mau bibirmu, bibir yang 13 tahun lalu membuatku layu setiap kau tersenyum'.

Hari ini, hari di mana aku mendatangi sekolah tempat Rasya mengajar, tapi dia belum terlihat. Aku menunggu dengan senjata laras panjangku di balik pohon depan sekolah tempatnya bekerja 'aku akan mengambil bibirmu'

***

Akhirnya keinginanku lepas, hatiku bebas. Aku memiliki bibirmu, Ras. Bibir yang selalu buatku mau, buatku candu. Akhirnya aku bisa melumatnya setiap waktu. Ku letakkan 13 bibir dalam 1 toples besar di kamarku. Bibir tipis dengan senyum lebar, bibir tipis yang diam, bibir tipis yang membentuk huruf o, bibir tipis yang melekung ke bawah, bibir tipis yang aku mau. Aku dapat 13 bibirmu.

Ku letakkan toples itu di kamarku, bersanding dengan 13 toples potongan tubuhnya yang lain. Aku pun bisa memilikinya. Aku pun bisa. Ku buka tas ku dan mengambil kamera berlensa tele yang tadi membantuku mendapatkan bibirmu, ku kecup senjata laras panjangku itu 'terimakasih membantuku mendapatkan yang ku mau'

*ku simpan kembali kameraku ke dalam lemari

CINTA PERTAMA

Namanya Sheilla, apa yang dia lakukan di bawah langit sore di tengah ilalang tanah lapang belakang komplek rumahnya? Menunggu doa nya dikabulkan Tuhan, bertemu cinta massa kecilnya yang masih terus tumbuh sampai dia besar.

***

Aku ingin sekali melihatnya lagi, di sini di tempat di mana kami bermain dulu waktu kecil. Mencari ulat di gulungan-gulungan daun pisang untuk memancing ikan, di telaga. Memasuk kan kupu-kupu kecil ke dalam toples besar, bermain matahari sampai kepala panas. Aku ingin sekali melihatmu kembali muncul di sini, di tempat ini di kota ini, Rudi.

Pangeran kecilku, aku rasa aku jatuh cinta pada pangeran kecilku. Pangeran yang bermain bersamaku 21 tahun yang lalu. Aku rasa aku benar-benar jatuh cinta padanya sampai hari di mana perpisahan kami datang. Aku sering bertanya sendiri. Kenapa kamu harus meninggalkan kota saat kita kelas 3 SD, padahal kamu pernah bilang kamu suka guru keterampilan kita yang sering memuji gambar rumah-rumah buatanmu dan dia bilang suatu hari nanti kamu akan menjadi seorang arsitek besar dan mungkin akan memiliki nama sebesar Achmad Noeman. Tapi kenapa kamu pindah? Iya. Aku tahu kamu ikut ayahmu dan aku masih terus mengingatmu diumurku yang ke 21. Lebih nya lagi aku merindukanmu.

Sore di hari yang lain, langit mendung tapi masih saja di penuhi layang-layang. Beberapa ibu-ibu meneriaki anaknya untuk segera pulang, karena hujan akan segera turun dan tanah lapang tentu bukan tempat yang baik untuk berteduh. Sheilla duduk di sebuah meja batu sudut tanah lapang, menatap langit-langit dan berbicara pada angin

'aku merindukanya, aku ingin melihatnya di sini'

Di hari yang lain jika dia mendatangi tanah lapang dia akan terus mengucapkan hal yang sama, terus dan terus.

' Aku tahu kamu tidak lupa padaku, aku tahu kamu mengingatku seperti aku mengingatmu, tapi jika suatu hari nanti kita bertemu lagi dan kamu tidak mengingatku, maka aku berjanji di hari itu aku akan melupakanmu'

***

Pagi di negara lain, seorang laki-laki sedang memandang foto gadis dan anak laki-laki kecil. Gadis itu berambut pendek, bermata tidak bisa diam. Anak laki-laki itu berkulit gelap, dan bertahi lalat besar di batang dan cuping hidungnya.

'Andai dulu aku pergi di zaman alat komunikasi sudah seperti sekarang, mungkin sampai hari ini aku tidak perlu menerka-nerka apa kamu masih mengingatku juga. Aku merindukanmu, sheilla'

***

Sunny, Sunny...
Apa kabarmu? Kabarku bai-baik saja.
Sunny, Sunny...
Begitu banyak cerita tak habis tentangmu.
Sunny, Sunny...
Salamku untukmu, Dari hati yang terdalam..
Kau tak sempat, tanyakan aku. Cinta kah aku padamu.

BCL - Sunny (cinta pertama)

GULAI PAKU

Buatku tidak ada yang lebih enak dari gulai paku buatan emak. Entah bagaimana cara emak membuatnya, gulai paku nya selalu bisa membuat selera makanku meninggi, apalagi jika sudah dilawan dengan ikan asin. Siang ini sepulang sekolah aroma gulai paku memenuhi dapur. Alahmak! perutku memberontak seketika. Ku buka tudung saji tapi kosong yang ku dapati, ku buka lemari makan tidak ada apa-apa pula di sana.
Ah, emak aku rindu. Tidak terasa dua tahun sudah berlalu sejak kepergianmu ke negeri orang, beberapa waktu aku masih sering mencium aroma gulai paku di rumah kita.
' Apa di tempatmu sekarang ada dapur dan tungku untuk memasak mak? '
 Bukankah kau bilang dulu hanya pergi sebentar ke luar negeri untuk membawa pulang uang sekolah dan beras yang melimpah untuk makan kita. Kenapa sampai sekarang kau tak pulang, tak pula berkabar.

Di siang yang lain, aroma gulai paku mulai menyebar. Lagi-lagi aku mencarinya di bawah tudung dan lemari makan. Lagi-lagi pula tak ada isi apapun di sana, sudah satu minggu kejadian ini berulang ' mak aku lapar, mak '

Gulai paku buatan emak selalu tercium setiap siang akhir-akhir ini. Tapi siang ini emak benar-benar pulang setelah dua tahun pergi. Emak pulang membawa keramaian.

'Wah emak berhasil. Kata emak kalau dia pulang orang-orang akan menyambutnya dengan keramaian. Kata emak saat dia sudah kaya orang-orang tidak akan acuh lagi pada kami. Emak sukses membawa keramaian kerumah kami seperti mau nya sebelum pergi'

mobil jenazah parkir di depan rumah kami. Aroma gulai paku berganti aroma kesedihan yang tidak lagi aku pahami. Tubuhku kaku, sekaku tubuh emak. Tubuhku dingin, sama dinginnya dengan tubuh emak. Akhirnya emak pulang.

' Sudah seminggu aku mati kelaparan dan mereka tidak ada yang tahu, mak. Mereka acuh pada perutku' teriakan ku kacau.

Aroma gulai paku yang tercium seminggu ini adalah tanda ke pulangan emak. Emak pulang menjemputku bersama orang-orang yang tidak pernah melihat kami dulu. Siang ini aroma bunga membasahi rumah baru kami, kami juga diberi pakaian baru oleh orang-orang itu. Mereka juga mendoakan kami dengan baik. Siang ini aku dan emak bersama lagi. Emak pulang tapi tanpa sempat memasak gulai paku kesukaanku.

Jumat, 16 Mei 2014

TEH MANIS

Aku mengenggamnya. Tangannya hangat, aku selalu mengenggamnya tangannya erat. Anya duduk di bawah pohon jambu yang rindang, bunga-bunga jambu luruh. 'Mungkin itu seperti bulu matamu yang setiap hari jatuh karena rindu-rinduku' Anya berbicara pada seseorang bertangan hangat dengan genggaman erat itu. 'Kamu tahu aku sangat merindukanmu? Aku memikirkanmu setiap saat ' lanjutnya.

Menunggu senja di bawah pohon jambu dengan sebotol teh manis yang dibuatnya sendiri sering ia lakukan saat rindu memenuhi rongga dadanya. Selalu dengan seseorang bertangan hangat yang memiliki genggam yang erat. Anya meminum teh manisnya 'Rindu akan manis setelah aku meminum ini' yakin nya.

'Teh manis untuk rindu yang sadis, kita jauh sayang. Aku mengenggam tanganku sendiri dan merasakan hangatmu, aku memaniskan bibirku dengan teh manis ini sebagai ganti bibirmu yang aku tahu sia-sia. Aku bersandar ke batang jambu seakan sedang bertopang pada punggung kuatmu. Tapi bunga-bunga jambu ini membuatku sadar itu bukan bulu matamu. Aku sendiri, delusi. Yang nyata saat ini adalah rinduku yang meruah riuh selebihnya aku sedang menunggumu'

Anya bicara sendiri, dia menangis sesegukan meresapi setiap kata yang keluar dari mulutnya. Jika itu puisi, itu adalah puisi yang perih untuk hatinya. Dia merindukan lelakinya, lelaki yang saat ini sedang jauh. Lelaki yang sedang mengejar impian untuk membahagiakan cita-cita.

 'Jarak membantaiku dengan rindu, kamu tahu?' Suara Anya kembali terdengar, lirih. Tapi cukup besar untuk didengar telinga lelaki di belakangnya.

 Handphone Anya berdering, pesan masuk.

'ya aku tahu sayang, aku pun dibantai rindu saat kita jauh. Boleh aku minta teh manis yang kamu bilang peganti bibirku? Aku haus, nih. Baru nyampe, kamu kalau mau peluk aku, aku ada di belakangmu... hahahaha'

Anya berbalik, hujan turun dengan gemuruh di dada. Pesan singkat tadi seperti tarian hujan yang memancing kedua awan hitam matanya untuk segera basah.

' Lelakiku tersenyum, manis sekali. Tangannya hangat, genggamannya erat'