Rabu, 02 Juli 2014

#KAMISAN 7 : Love Game - Ayunan



"Layla, Sayang. Layla, anak ibu yang
paling cantik. Layla, Sayang. Layla,
janganlah Layla bersedih...."

Seorang wanita yang usianya sekitar tiga puluhan, bernyanyi-nyanyi di taman komplek. Pandangan matanya kosong. Ia bernyanyi sambil menyebut-nyebut nama anaknya. Seorang gadis kecil yang kini sudah tiada.

"Laki-laki bangsat! Laki-laki keparat! Kubunuh kau! Kembalikan anakku! Kembalikan anakku!!" tangisnya memecah
senja, begitu kelam.
Beberapa mata menatapnya iba. Kepedihan seorang ibu akan kematian buah hatinya adalah serenade paling pedih.

*

Semoga pasanganku tidak pernah tahu apa yang berkecamuk dalam hatiku sekarang. Semoga dia tidak pernah tahu perasaanku telah membelah. Gadis itu, aku tidak bisa menghindar untuk memikirnya. Dia begitu berbeda dengan yang lain, memperlakukanku sangat lembut. Lelaki mana yang tidak suka kelembutan?

Aku begitu bahagia tiap senja dapat bertemu dengannya, meski kadang pula gelisah saat dia tidak menghampiri taman. Aku takut dia sakit. Takut dia tidak lagi ingin kemari. Takut aku
melukainya, karena itu dia tidak lagi mau bertemu aku.

Jatuh cinta dan bermain dalam cinta itu sangat mudah,
bahkan saat pasanganmu di samping pun kau bisa melakukannya. Sebab isi hati adalah rahasia.

Tapi gadis ini jauh lebih menarik dari dia yang menemani aku
bertahun-tahun. Ya, mungkin kalian pikir aku jahat. Mengkhianati pasanganku untuk seorang gadis yang baru satu bulan ini aku temui.
Namanya Layla. Dia baru pindah dari kota di mana kemacetan adalah jendela. Kota yang kemanapun kau memandang,
hamparan panjang kendaraan akan
terlihat. Debu dan asap adalah isi paru-paru makhluk kota itu. Layla tinggal tak jauh dari tempat tinggalku, taman bermain.

"Video game, A video game that allures me,
You can't block me. You're in
danger right now, join the video game, Love game...."


PERTEMUAN PERTAMA PADA SUATU SORE


Aku terayun-ayun setelah seorang anak lelaki gemuk menaikiku dengan kasar. Kadang dia berdiri dan meloncat-loncat.

Andai aku bisa melemparnya jauh
agar terjungkal mungkin sudah kulakukan. Aku pun terus-terus berdoa agar rantai pengaitku pada tiang lepas, agar
anak ini berhenti menyiksaku.
Aku melirik pasanganku yang diam dan tenang. Dia sangat kaku, tapi dia adalah pasanganku. Tuhan memberi dia untuk menemani hari-hariku.

Ayunanku berhenti, kulihat tangan kecil seorang gadis. Rambutnya panjang hitam diterpa cahaya senja, wanginya serupa permen karet atau wangi permen-permen enak lainnya.

Dia membersihkan aku dengan tangan lembutnya, menyapu-nyapu lembut. Aku merasakan desiran berbeda. Sesekali aku melirik
lagi pada Inka, begitulah kupanggil dia, pasanganku. Aku harap Inka tidak melihat rona-rona merah di serat-serat kayuku saat Layla menyentuh setiap
jengkalnya. Aku jatuh cinta, pada pemainku.

"Aku mengekalkan rasaku dalam senja
Pada warna emas di hamparan hitam rambut
dan aroma tubuh yang luar biasa
Aku jatuh cinta padamu
Bukan aku yang bermain, tapi kau yang
mempermainkanku
Bagaimana benda mati bisa merasa hidup
Kau pemain cinta yang luar biasa
Aku terjerat!"

*

Aku berdoa agar Layla tidak pernah dewasa. Sebelum dia, aku pernah patah hati pada pemainku, juga. Pada seorang gadis manis, berlesung pipi dalam.

Namanya Dhila. Dia gadis lucu, dulu sering bermain di sini, menemani aku, membersihkan serat-serat kayuku yang kadang diinjaki tapak-tapak sepatu
teman-temannya. Paling lucu dari dia adalah gadis manis itu sering membagi gulalinya, membuat aku merasakan cecap manis dan tak jarang tubuhku dikerubutin semut setelahnya. Dhila pergi. Dhila hanya menjadikan aku persinggahan masa kecilnya. Maka, aku harap Layla tidak pernah besar.

*

Hari ini aku menanti Layla, aku sudah tidak sabar ingin berayun-ayun bersamanya, melihat hamparan putih giginya, tawanya yang seakan bisa menetapkan langit tetap biru, dan genggamannya pada rantai-rantai dingin pengaitku.

Tapi hari ini Layla tak datang. Bahkan hari-hari selanjutnya pun tidak, hari selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya. Layla tidak pernah datang.

Sudah satu pekan dari hari terakhir dia bermain di taman ini, meninggalkan bercak darah di kayuku. Aku melirik Inka, tubuhnya sedikit berayun, masih
kaku, bahkan aku tidak bisa melihatnya tersenyum. Sama seperti dia yang tidak bisa melihatku tersenyum. Aku berharap Layla datang.


30 MENIT YANG MEMATAHKAN


"Kasian ya, Bu. Pasti ibunya terpukul
sekali...."

"Ya, jelas lah, Bu. Wong anak perempuan satu-satunya. Pintar, cantik, dan penurut. Saya aja yang baru bertetangga 1
bulan terasa kehilangan Layla.
Apalagi saya belum punya momongan. Sepi
saya dan suami pecah saat Layla di
sana. Dia anak yang baik, pasti diberikan
tempat yang baik pula."

"Iya, Bu. Tapi yang saya enggak habis
pikir, ya, kejadian meninggalnya
Layla. Tragis. Tega betul pelakunya ya,
Bu!"

Aku ingin tidak mempercayai percakapan dua ibu-ibu yang sedang menyuapi anaknya di taman bermain ini, 30 menit yang begitu mematahkanku. Layla meninggal.

Aku kira dia akan baik-baik saja setelah sore kelam itu. Seorang laki-laki dengan perawakan tinggi, berjambang, dengan rambut gondrong dengan mata merah
frustrasi. Ia memberi permen kepada Layla dan mencoba mengajak gadis itu ikut dengannya. Layla sempat menolak. Dia melawan, mencoba berteriak, tapi apa daya gadis kecil itu tak cukup kuat
melawan. Layla dengan pakaian yang dibuka paksa, di bawah tubuh seorang lelaki yang bertelanjang dari pinggang hingga mata kaki. Tubuh Layla didesak-desak oleh tubuh berat itu, terdengar suara Layla kesakitan.

Untuk pertama kali setelah aku berdiri bertahun-tahun sebagai ayunan, aku mengutuk diriku menjadi benda mati. Aku mengutuk posisiku yang menjorok ke dalam. Tidak ada yang bisa melihatnya
menyiksa cintaku.

Layla-ku diperkosa. Setelah puas berayun-ayun dengannya, lelaki itu mencampakkan Layla dari atas tubuhku--dengan ayunan sangat keras. Aku dan Inka adalah saksi bisu, melihat tubuh Layla jatuh berdebum di atas tanah. Kepalanya membentur batu, sedikit bercak
darah tertinggal di serat kayuku.
Laki-laki itu pergi, katanya ini
pembalasan untuk ibu Layla yang
memecatnya. Layla-ku diam, tertidur, dengan darah yang mengaliri kepala. Rambut-rambut hitamnya basah. Sampai beberapa orang menemukannya selepas azan Isya. Itu pertemuan terakhirku dengan Layla yang hidup. Tadinya aku berharap Layla baik-baik saja, tapi harapanku sudah
terjawab. Layla tidak baik-baik
saja dan kini dia sama seperti aku dan Inka, tanpa nyawa, tanpa kehangatan.

Aku masih sering mendengarnya tertawa, setiap malam. Dia masih sering duduk di sini, dengan tawanya yang menyeramkan. Mungkin merindingkan bulu-bulu kudukku, jika ada.

**

2 komentar: