Kamis, 10 Juli 2014

#KAMISAN 8 : Perlina - Neng Ai



Kejadian ini terjadi beberapa bulan lalu, saat aku pulang kampung ke suatu daerah sebelah barat Tasikmalaya. Ada satu tradisi di kampungku pada hari tertentu di beberapa bulan tertentu sekitar pukul 11-12 malam, anak-anak laki-laki dan bapak-bapak berpawai obor keliling desa. Dimulai dari gapura yang ada tepat di pintu masuk dan berakhir di kompleks perkuburan warga setempat.

Aku sempat bertanya pada Nini (panggilan untuk nenek) kenapa pawai ini harus diakhiri di perkuburan tua yang menyeramkan itu, kuburan di kampungku terkenal angker, hampir setiap kali mengadakan tradisi pawai obor keliling selalu ada yang kesurupan di daerah itu. Suhu di perkuburan pun sangat dingin, dingin yang mencekam, yang merindingkan bulu-bulu kudukmu, membuat kaku ujung kaki-kakimu dan membuat matamu selalu waspada pada setiap sudut.


"Rek kumaha ge sadaya jelema pasti maot, jadi panghuni kuburan keur ujung kahirupan, kari ngadagoan dinten amal jeung dosa urang dietang. Mantakna pawai obor teh diujungan di kompleks kuburan ujung desa" kata nini.


Dan benar kehidupan manusia berujung pada kematian. Mungkin tradisi ini sebuah penyadaran, untuk kita tetap menjaga apa-apa yang kita buat.

Kuburan di kampungku memang letaknya berbatasan dengan ujung desa, langsung dengan bukit-bukit dan hutan-hutan bambu lembab. Sekitar 1 minggu yang lalu, di sana ditemukan mayat Neng Ai, bunga desa yang terbunuh tragis, mulutnya sobek, tubuhnya penuh luka lebam, beberapa bagian wajahnya rusak akibat siraman air keras. Neng Ai, Kasihan betul Neng Ai, batinku. Padahal selama ini Neng Ai terkenal ramah dan baik, tidak pula memiliki musuh. Nasib buruk menimpanya saat dia memutuskan menikah dengan pejabat desa sebelah, Neng Ai mati dibunuh istri sah lelaki yang menikah sirih dengannya 7 bulan lalu. "Hah, kumaha jadi teringat Neng Ai kieu" aku tersetak dari lamunanku dan bergegas menuju kamar mandi untuk bersiap-siap mengikuti pawai obor nanti malam. Aku merasa ada sesuatu yang memantau setiap gerak-gerikku, sesuatu yang tidak terlihat.

*

Malam itu, udara dingin, wajar saja, sore tadi hujan menguyur bumi sangat deras. Pawai obor baru akan dimulai setelah pembacaan doa pembuka. Cahaya dari obor dan bunyi-bunyi kentongan yang dibawa warga, mengisi malam dingin desa. Kami mulai berjalan berkeliling. Sepanjang jalan aku sendiri sibuk mengabadikan gambar-gambar tradisi desa kami, tak ingin momen ini perlina begitu saja termakan zaman, tergerus waktu.

Setelah dua jam pawai obor, kami mulai memasuki kompleks perkuburan untuk penutupan pawai. Disekeliling kuburan terdapat hutan-hutan bambu lebat, lembab dan tinggi. Perasaanku mulai tak enak, aku memandang sekelilingku, semua masih biasa.

Acara penutupan dimulai, awalnya kami sama-sama berdoa yang dipimpin sesepuh desa, suasana sangat hening. Entah mengapa sedari tadi aku merasa ditatapi. Lalu sayup-sayup terdengar olehku potongan tembang Lingsir Wengi, aku tidak tahu dari mana asalnya. Pelan, tapi menyakitkan telinga.

"Lingsir wengi sliramu tumeking sirno, Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro..."

Aku melihat ke sebelahku, mang ujang masih saja merunduk berdoa, lalu aku memandang sekelilingku, tanpa sengaja mataku menangkap sesuatu di antara rimbun pepohonan bambu, sesuatu yang putih dan melayang. Aku langsung menunduk, jantungku berdetak keras sekali, dalam hati aku tak sudah berdoa, aku sangat takut saat itu. Tidak lama terdengar suara cekikikan wanita, merindingkan bulu kudukku. Aku melihat kembali ke arah mang ujang dan yang lain, mereka seakan tidak terganggu, seperti tidak mendengar apapun. Lalu entah kenapa, aku merasa tubuhku berat. Sangat berat dan panas, aarggghhh..kepalaku begitu sakit. Orang-orang sekelilingku menjauh, mereka membaca doa dan melihat-lihat ke arahku, aku merasa tubuhku semakin panas. Aku kembali mendengar suara cekikikan itu, semakin dekat. Astaga..! Aku mendengarnya dari mulutku, aku dengan tanganku yang bergerak-gerak seolah sedang merapikan rambut, aku merasakan tanganku membelai rambut yang sangat panjang menjuntai seperti berasal dari kepalaku. Sesepuh desa mendekat ke padaku, membacakan doa-doa yang semakin lama semakin membuatku panas. Kepala ini seperti tertusuk ribuan paku beton, sakit, sangat sakit. Lalu terdengar tangisan dan suara menyedihkan seorang wanita.


"Aku teh Neng Ai, pak. Aku teh Neng Ai... huhuhuhu" entah bagaimana suara wanita itu keluar dari mulutku, aku berbicara di luar keinginanku. €Tubuhku saat itu terasa sangat berat.

"Neng Ai, pulanglah, alammu bukan di sini. Jangan ganggu"


"Tolong, saya mau minta tolong. Tolong sampaikan ke ibu neng Ai minta maaf tidak mendengar ibu, tolong bilang ke ibu, neng Ai tidak pernah tenang sebelum ibu maafkan"


Akhirnya sesepuh desa memegang kepalaku. Aku meronta kuat, memaki-maki dan menatapnya tajam, tapi perlahan tubuhku merasa ringan dan pelan-pelan semua berputar, gelap dan semakin gelap.

*

Saat bangun, aku sudah berada di rumah, ramai sekali. Kata nini, aku sudah tertidur selama tiga hari, kadang menangis, tertawa, cekikikan terus menerus, ternyata aku keserupan arwah Neng Ai, ia menempati tubuhku selama tiga hari ini dan tadi sekitar dua jam yang lalu Neng Ai baru saja pergi, setelah ibu--nya datang dan memberikan maaf pada Neng Ai. Malam itu kami mengadakan doa bersama, untuk Neng Ai, agar tidak menganggu lagi.

Inspiresyen: Nightmare Side radio Ardan 105.9FM Bandung, setiap hari kamis dari pukul 22.00-24.00 wib. Bisa streaming lewat gadget kamu loh. Tapi ingat...Jangan prnah dengerin Nightmare Side sendirian, apalagi sama pacar orang. JANGAN! (Puas lo Ndra, Mus, Ky, PUAS LO? )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar