Kamis, 21 November 2013

Lampu Malam

" Lampu-lampu malam; adalah salah satu hal yang juga aku sukai setelah kamu dan hujan. Mata ini selalu manja melihat warna-warna pedar yang membaur kecil-kecil, sesekali mencoba-coba menghitung berapa banyak lampu-lampu kota yang menyebar. Dari lampu-lampu ini tenang memang sangat sederhana, hanya banyak yang tak tau caranya. Lampu-lampu malam pun mengajarkan aku sadar untuk beberapa hal. Iya! " 
 
 Aku terbiasa keluar malam hari, menyetir sendirian hanya untuk menenangkan hati. Menikmati udara dingin malam, tidak dengan buka jendela (cukup berbahaya). Karena malam akan tetap dingin tanpa harus tertepa angin. Dingin dengan sunyi yang kau lewati, sendiri. Kemacetan menghilang, orang-orang satu-satu di jalanan, entah kenapa kesedihan terkesan lebih tajam saat malam datang. 
 
 Lampu-lampu malam ini ramai, tapi mereka memberi kesan kesepian. Seperti ditengah ramai pun tetap suara itu tak ada, berbicara jadi hal yang percuma. Seakan mengatakan orang-orang hanya punya mata tanpa telinga. Kurasa itu monolognya. Iya, seperti kata lampu sekarang manusia memang begitu, ya?. Punya mata melihat kesedihan, kesakitan, penderitaan sesama tapi menutup telinga dari 'permintaan tolong' dan 'tangisan-tangisan berharapan kosong', malah ada yang lebih tega memberi janji yang sama kosong dan dari awal sudah berniat dengan kesadaran penuh untuk tidak menepatinya. Ada juga beberapa manusia merasa dirinya sendiri adalah sesuatu yang lebih pantas kenyang dari pada mereka yang mencari makan sampai harus berjalan kayang. Mati-matian maksudku. 
 
 Lampu malam yang sepi tau? ada bagian kecil hati yang kadang teriris pada tanya yang di lontarkan sendiri, bagaimana nanti? Apa hidup kedepan akan semakin lebih sulit dari ini, bukan sulit yang sejujurnya harus takut kita hadapi. Tapi takut kesibukan dunia membuat kita ikut buta hati. Takut sibuk mencari kenyang sendiri. Tanpa sempat berpikir dan menikmati pikiran yang akur dengan perasaan seperti ini, iya mengunakan hati atau sebutlah saja sedikit keperdulian, bolehlah.
  
 Ada hal yang mungkin beberapa kita tidak sadari, saat dititip tangan oleh Tuhan, bukannya dia menjadikan 'memberi' sebagai salah satu tugas yang harus kita lakoni?. Tapi seringnya hanya berbagi pada saat lebih. Lalu memberi pada saat cukup, bukan pada saat dibutuhkan. Berjabat kita pada satu yang sulit untuk sama-sama merasakan sakit agar pantas menyandang sebutan 'manusia'. Jangan tulikan mata, butakan telinga. Jangan ubah semua pemberian tidak pada harusnya, jangan ubah fungsi mata dan telinga. Mata tetap untuk melihat, telinga tetap untuk mendengar, jangan buta dan tulikan mereka. Jangan mau jadi bagian yang ikut bersikap apatis pada kehidupan dan sekelilingnya. Akan sakit jika tuhan membalas apatis, bagaimana kalau dia mulai menghitung-hitung nafas? Mati kita. Harusnya kita takut pada kelebihan, karena disana waktu Tuhan menguji kemampuan matematika kita. Bisakah berhitung seperti dia? Atau serakah untuk sendawa-sendawa kenyang perut kita.




" Kemenangan, kekenyangan, kenyamanan yang harusnya bukan milikmu (sendiri) itu menyakitkan jika kau mulai belajar mengunakan perasaan. Berbagi adalah cara merayu Tuhan untuk tak bosan memberimu lagi".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar