Minggu, 01 Juni 2014

PEREMPUAN: YANG DEKAT DENGAN KEMATIAN

Langit memerah. Burung-burung gagak berterbangan di atap rumah. Angin berputing. Bumi mendingin, dinginnya menjalari ketakutan. Gelap perlahan menguasai senja. Aku diam, tidak bergerak. Amarah memenuhi merajam-rajam hatiku dengan kerikil kehidupan yang entah.



***

Aku akan membunuhnya, bunda. Aku terduduk di meja makan, sudah beberapa jam aku mencoba tidur tapi kamarku terasa panas mungkin juga hatiku yang panas. Pikiranku melayang jauh. Tadi aku mencoba menenangkan bunda tapi nyatanya aku pun kacau tiada kira. Aku memeluk sebuah gambar yang baru ku buat, gambar yang penuh merah dan hitam. Gambar yang aku gambar dengan sakit hati tajam dan emosi yang meluap-luap. Sampai aku merasa ada sesuatu yang menikamku, bagian tubuh belakangku, menembus ginjal. Sakit menjalar. Tubuhku terasa basah, cairan itu hangat; darah. Mataku memberat. Mungkin tertidur. Mungkin juga hanya memejam. Pelan-pelan tubuhku ringan, melayang. Aku tidur. Udara semakin dingin. Tubuhku pun dingin.

***

Eve tertatih keluar kamar, dipanggilnya nama anaknya. Kenapa pagi ini begitu sepi; batin eve. 'Tyas, Tyas'. Eve mulai mencari ke segala penjuru rumah, didapati anak perempuan kesayangannya telungkup tidak bernyawa di atas meja makan. Tubuhnya penuh tusukan. Jantungnya berdetak beribu kali lebih cepat. Tubuh Eve mematung, nafasnya tertahan. Semua gelap.

***

2 minggu yang lalu keributan terjadi di sekolah. Ah apa yang terjadi dengan mereka, apa buat mereka ini aneh. Kenapa mereka heran dengan kelakuanku. Ada apa? Aku hanya mencekik seekor kucing kecil. Apa itu mengerikan. Kenapa guru-guru sepanik ini, apa ini sesuatu ketidak wajaran? Aku hanya ingin tahu. Ternyata tercekik seperti itu membuat kita kehabisan nafas. Mereka memanggil bunda dan menceritakan tentang ulahku, aku tahu bunda tidak akan marah. Ini biasa kami dapati di rumah. Bahkan aku rasa bunda adalah manusia yang paling dekat dengan kematian, ditampar, dihantam, ditinju atau pun ditunjang tepat di wajah itu hal yang biasa ia dapati. Bahkan pagi tadi, sebuah cengkraman kuat menjadi sarapan pagi untuknya, cengkraman di leher itu seperti hampir mematahkan tulang-tulangnya. Saat detik-detik nafasnya akan hilang, lelaki yang ku panggil ayah melepaskan dan melempar dia seakan dia hanya sebuah onggokan tak berarti. Ia berusaha mengambil nafas dari segala penjuru seperti ikan yang di keluarkan dari air. Mencoba terus bernafas dalam rasa sakitnya. Air mata menderas. Dia menangis, aku menangis. Kami berdua menangis memandangi punggung ayah yang berjalan pergi.

Kepala sekolah menanyakan apa yang terjadi padaku, lucu. Harusnya bunda yang menanyakan apa yang terjadi tadi. Tapi tidak, bunda hanya bisa diam. Sadar tidak akan mendapati jawaban apapun. Seperti sebuah pemakluman timbul dalam hati wanita yang menjadi pemimpin di sekolahku. Aku pun tahu, di kampungku orang-orang sudah tahu yang terjadi dalam keluarga kami. Jadi diam bunda adalah sebuah jawaban yang terbaca. Akhirnya hari ini aku diperbolehkan pulang lebih cepat.

Dalam perjalanan pulang kami sama-sama diam. Aku tahu ngilu masih mencengkram leher bunda. Masih ada ketakutan di matanya. Sesampainya di rumah air matanya menderas. Dia berjalan menuju gudang, mengambil sebuah rotan besar pemukul kasur. Matanya marah. Aku bergidik.

" Bunda, bunda. Maafkan Tyas"

tapi wanita itu terus berjalan mendekat. Dia berubah mengerikan. Dia memukulku dengan rotan besar.

"Anak kurang ajar! Anak setan! Kenapa kau seperti ayahmu. Kenapa kau!"

"Ampun bunda sakit bunda" rotan besar itu bertubi-tubi dipukulkan ke tubuh kecilku. Amarahku membesar, pelan-pelan mengakar.

 " Ayah, aku membencimu "

***

Malam terasa dingin, hujan deras di luar. Perempuan dalam cermin itu diam, tangannya terus menyisir rambut panjangnya secara perlahan, gerakannya selembut daun yang diterbangkan angin, begitu ringan beberapa kali terlihat tidak bernyawa. Kepedihan tergurat jelas di wajahnya, di tubuhnya. Aku tidak tahu siapa dia. Aku yakin itu bukan aku. Tubuh penuh lebam ini bukan tubuhku. Matanya menyala marah. Iya itu tubuhku. Waktu telah mengubahku.

Sebuah tangan kecil menarik ujung baju dasternya, iya menoleh ke bawah dilihatnya seorang anak perempuan kecil dengan crayon gambar, tangan dan tubuhnya penuh luka. Lebam. Matanya sembab.

"Tyas, kamu kenapa nak? Kenapa tubuhmu penuh lebam? Apa ayah memukulmu?"

"Tidak bunda, aku tadi hanya terjatuh"

Gadis perempuan itu berbohong tentang luka-luka yang didapatinya. Luka itu jelas ia dapati tadi siang. Dari sebuah rotan pemukul kasur yang dilibaskan seorang wanita yang melemparkan pertanyaan beberapa menit lalu. Tapi dia tidak mau melukai hati bundanya, cukup keadaan yang sudah melukai otaknya.

Aku tahu ada sesuatu yang sudah merusakmu dari dalam, bunda. Aku tahu tekanan itu pelan-pelan memakanmu. Kamu lebih rapuh dari sebuah kayu lapuk yang dimakanin ribuan rayap. Aku tahu kamu sakit, bunda.

'Bunda, aku lapar'

Wanita itu tersenyum, lembut. Mengajakku ke dapur. Membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa sayuran yang mulai membusuk. Diletakkannya di atas piringku dan piringnya. Lalu dia menuju tempat penyimpanan beras mengambilkan beberapa mug beras untukku dan dia. Ia memakannya dengan tatapan kosong, aku pun memakan makan malamku.

***

Malam itu kami tidur bersisian. Derit kipas angin berdebu cukup menghibur kesepian yang mengisi malam-malam kami.

" Apa kau mencintai ayah, Tyas?"

"Tidak, bunda. Aku takut. Bukankah cinta tidak menakutkan? Bagaimana denganmu? "

"Tidak tahu, aku bahkan tidak ingat apa pernah mencintainya. Bukankah cinta tidak memberimu rasa takut?"

Yang aku tahu, aku dan dia adalah sepasang anak muda yang melakukan kesalahan. Bermodal uang menginap di losmen murahan. Aku dan dia saling merengkuh kenikmatan yang sakit. Mungkin dulu, jauh sebelum aku takut. Aku pernah mencintainya, Tyas. Aku mengandungmu. Lalu aku mengadu pada orangtuaku. Mereka malu. Mereka meminta kami untuk segera menikah. Dia menolak saat aku mengatakan yang dikatakan orangtuaku padanya. Aku pulang dan menyampaikan penolakannya. Orangtuaku murka. Malam itu kami mendatangi rumahnya. Berbicara langsung pada orang tua nya. Bermodal sama-sama ingin menyelamatkan muka. Pernikahan aku dan dia diputuskan mereka, orangtua kami. Malam itu matanya gelap, dia begitu marah. Aku tidak paham kenapa dia menatapku begitu marah. Dia menuruti orangtuanya dengan kemarahan. Dia menikahiku tapi dia begitu membenci pernikahan kami. Setelah hari itu dia berubah, terus berubah.

***

Ibu-ku hidup seperti dalam sebuah naskah cerita yang begitu menderita, yang bertokoh perempuan yang selalu tersiksa dan penuh luka.

Pagi dengan keributan mengerikan, sebuah gelas melayang ke wajah bunda. Jelas aku melihatnya. Seperti biasa, tidak sampai di situ. Ayah terus memukulinya. 30 menit yang lalu, ibu ku meminta sejumlah uang untuk uang sekolahku dan membeli beberapa bahan makanan. Kulkas kami kosong, beras saja yang tersisa dan beberapa sayur yang sudah benar-benar busuk di kulkas. Mungkin itu menyinggungnya. Ayah begitu marah. Memukuli bunda. Ayah menendang perutnya, menyiram secangkir teh yang masih panas ke tubuhnya. Bunda hanya bisa tercekat. Tidak bisa menangis. Tidak juga bersuara. Hanya tatapan kosong penuh luka dan kesakitan yang menganga di dada. Ia memakan kesedihannya.

Setelah ayah pergi aku keluar. Membawa setengah baskom air hangat kuku dan sepotong handuk kecil untuk mengompres luka bunda. Aku mengusap perlahan, setiap usapan itu menyakitkan hatiku. Tapi tidak sedikit pun bunda bergeming. Tidak menangis tidak pula meringis. Diam. Mungkin sakitnya sudah sangat dalam. Air mata itu pun memendam. Kemarahan dalam dadaku mengakar. Menancap kuat. Sangat kuat. Aku menangis.

***

Aku tidak mau makan, bunda. Aku tidak lapar. Tyas berbicara dengan gemetar. Tetapi wanita itu tetap berjalan perlahan ke dapur. Memotong-motong sayuran busuk mencampurnya dengan air panas dan mencampur beras ke dalamnya.

"Makanlah, Tyas" aku menyuruhnya sambil menyuapkan makanan yang sama ke dalam mulutku. Tyas diam, tidak memakannya.

"TYAS!! MAKAN" aku melemparkan piring ke wajahnya. Dia tergugu. Tidak menangis, tidak juga meringis. Aku menendang dan memukulinya. Tyas diam. Aku memecahkan semua piring. Semua yang bisa aku pecahkan. Aku lelah. Aku masuk ke kamarku. Aku bersembunyi di sana. Aku tertidur.

***

Langit memerah. Burung-burung gagak berterbangan di atap rumah. Angin berputing. Bumi menjalarkan dingin yang tidak biasa. Gelap perlahan menguasai senja. Malam sudah datang.

Amarah di dada wanita itu masih ada. Entah pada siapa. Tapi amarah ini benar-benar membuatnya sakit. Dia kesal. Dendamnya yang mengakar seakan sudah pada puncak-puncak lepas. Tidak lagi ada pengendalian diri yang bisa dia lakukan. Tubuhnya panas. Matanya panas. Air mata nya menderas. Dia bisa menangis lagi. Perlahan ia keluar menuju dapur. Jalan terseok-seok. Tanpa tenaga dan perut laparnya.

"Laki-laki bangsat. Kenapa tega kau minum darahku?" Pertanyaan dilontarkan ntah pada siapa.

Sesampainya di dapur dia duduk. Diam. Tidak mengerjakan apapun. Perutnya lapar. Dia sangat lapar. Sangat sakit pula di hatinya. Digenggamnya sebuah pisau dapur tajam. Genggaman yang kuat, seakan tidak akan pernah melepaskan pisau itu. Perlahan dia berjalan menuju meja makan. Di meja itu terduduk seseorang. Seseorang yang diam dan tidak tahu kedatangannya. Amarahnya kembali hidup.

"Anak setan, ini semua karena kau. Jika kau tidak ada saat itu. Jika kau mati dalam kandunganku. Aku dan Anakku tidak akan menderita" batinnya mengila.

Sebuah tusukan tepat menembus ginjal, dicabutnya dan ditusukan lagi. Dicabutnya dan ditusukannya lagi. Gadis kecil itu diam. Tidak menangis, tidak juga meringis. Rasa panas yang menjalari tubuhnya tadi perlahan berubah dingin. Matanya berat. Rasanya melayang. Tyas kecil tertidur di atas goresan gambar merah hitam yang baru saja digambarnya. Darah masih mengalir deras, pelan-pelan tubuhnya dingin. Eve hanya memandangnya dengan tatapan kosong. Lalu kembali ke kamar dan tidur. Sampai hari menghantarnya pada sebuah pagi dengan keterkejutan yang luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar